Langkah Politik Persatuan Jokowi
“Republik Indonesia bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik kelompok suku tertentu, bukan milik sesuatu golongan adat istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke,” – Presiden Soekarno.
Tiga bulan menjelang pendaftaran pemilu presiden 2019, seluruh manuver tokoh politik menjadi perhatian publik. Tak terkecuali langkah Presiden Joko Widodo yang dipastikan menjadi calon petahana. Pertemuan personal baik formal ataupun informal telah dilakukan Jokowi sejak Januari lalu.
Jokowi mengajak sejumlah pimpinan partai politik (parpol) koalisi untuk mendampinginya. Mereka adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang menemani Presiden Jokowi meresmikan kereta bandara dari Stasiun BNI City di Jakarta, ke Bandara Soekarno-Hatta di Kota Tangerang, Banten, 2 Januari lalu; lalu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menemani presiden meninjau proyek mass rapid transit (MRT) di Jakarta, 7 Maret lalu; kemudian Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy atau Romy, yang ikut satu pesawat dengan Presiden menghadiri pernikahan cucu KH Maimun Zubair di Pondok Pesantren al-Ghadier, Cirebon, Jawa Barat, 11 Maret lalu; dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto yang berolahraga pagi dengan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, 24 Maret lalu.
Selain bersama elite politik, Presiden Jokowi juga tetap bersilaturahmi dengan tokoh parpol yang belum menentukan sikap dalam Pemilu 2019. Pertemuan itu di antaranya, dilakukan dengan mengundang makan siang Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 20 Februari lalu.
Pada 10 Maret, giliran Presiden Jokowi menghadiri pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Sentul, Jawa Barat. Sekitar sebulan kemudian, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bertemu beberapa kali dengan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Meski banyak pihak menganggap pertemuannya berkaitan dengan Pemilu 2019, tetapi Luhut menolak anggapan itu. Lalu, pekan lalu, Jokowi juga telah bertemu dengan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera.
Terakhir, langkah Jokowi sempat mengundang tanya ketika menerima Persaudaraan Alumni 212 di Istana Kepresidenan Bogor, 22 April lalu. Agenda itu tidak hanya memunculkan keheranan bagi simpatisan Persaudaraan Alumni 212, tetapi juga sejumlah relawan Jokowi mempertanyakan karena sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, kelompok itu gencar mengkritik pemerintah.
“Saya sampaikan kepada relawan, semua ini rakyat kita,” ujar Jokowi soal pertemuan itu.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pariera dalam acara Satu Meja bertajuk "Langkah Politik Jokowi" yang disiarkan di Kompas TV, Senin (30/4/2018), mengatakan, pertemuan Presiden Jokowi dengan sejumlah kalangan, baik yang mendukung atau menentangnya, menunjukkan posisinya sebagai pemimpin semua kalangan. Dialog yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, itu, juga menghadirkan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Bukan halangan dialog
Burhanuddin mengatakan, upaya Jokowi bertemu kelompok oposisi merupakan pesan kepada publik bahwa perbedaan pandangan bukan halangan untuk bertemu dan berdialog.
“Sekarang seolah kita terbelah karena berbeda pilihan. Masyarakat perlu belajar dari elite politik yang tetap bisa bersama,” ujar Burhanuddin.
Langkah politik Presiden Jokowi dengan sejumlah tokoh pun terus berlanjut. Hinca mengungkapkan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan bertemu dengan Jokowi. Menurut Hinca, mereka akan membahas persoalan bangsa dan negara.
Terkait bursa bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi, Andreas menekankan, pihaknya masih menunggu pesaing resmi pada Pemilu 2019. Andreas menambahkan, seluruh parpol koalisi memiliki komitmen yang sama untuk memenangkan Jokowi sebagai presiden periode 2019-2024. Atas dasar itu, kriteria bakal calon wapres dikedepankan adalah tokoh politik yang bisa bekerja sama dengan Jokowi, memiliki elektabilitas tinggi, serta memiliki kompetensi fungsional.
Dalam survei Litbang Kompas, akhir April lalu, menunjukkan elektabilitas Jokowi berada di angka 55,9 persen. Tingkat elektabilitas itu terus naik sejak Oktober 2015. Sementara itu, tingkat kepuasan secara umum terhadap kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencapai 72,2 persen.
Dari sisi elektabilitas, sejumlah tokoh yang dianggap layak mendampingi Jokowi dalam Pemilu 2019 ialah Jusuf Kalla (15,7 persen), Prabowo (8,8 persen), Gatot Nurmantyo (5,3 persen), Susi Pudjiastuti (4,8 persen), serta Mahfud MD (3,8 persen).
Menurut Burhanuddin, pemilihan cawapres Jokowi dari parpol tidak akan mudah. Bagaimana pun, peta Pemilu 2019 bisa menjadi satu paket dengan Pemilu 2024 sehingga cawapres yang mendampingi Jokowi akan memiliki keuntungan politik untuk kontestasi berikutnya.
Oleh karena itu, lanjut Burhanuddin, untuk menjamin kelanggengan koalisi, maka Jokowi perlu mencari cawapres dari luar parpol yang dapat diterima oleh seluruh parpol pendukung.
Masih ada peluang
Berkait posisi cawapres, sejumlah parpol optimistis masih memiliki peluang. Bara menuturkan, segala kemungkinan masih dapat terjadi dalam tiga bulan jelang pendaftaran pasangan capres dan cawapres pada 4-10 Agustus mendatang. Berbagai pendapat dari tokoh senior PAN, tambahnya, menjadi masukan Rapat Kerja Nasional PAN setelah Idul Fitri, Juni 2018.
Adapun Partai Demokrat, kata Hinca, memiliki tiga modal Pemilu 2019, yakni 10 persen suara Pemilu 2014 (setara 12 juta pemilih), pengaruh Yudhoyono, dan tokoh pemimpin muda potensial Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
“Kehadiran opsi pasangan ketiga bisa meredam konflik dibandingkan hanya ada dua pasangan calon,” kata Hinca.
Dalam sikap optimistis ini pula, hendaknya para elite politik berkompetisi dengan mengimplementasikan isi pidato Presiden Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdakaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Indonesia adalah bangsa yang bersatu dalam keberagaman.