Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri Soekarno
Reformasi sudah berjalan hampir dua dekade, namun masih saja ada teror yang belum terungkap. Sejarah kelam intimidasi berulang, bahkan menjadi utang. Belum terungkap kasus terbunuhnya aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, kini kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, belum juga menunjukkan titik terang.
Tepat setahun yang lalu, 11 April 2017, Novel disiram air keras usai menunaikan salat Subuh dekat rumahnya di Jakarta. Kedua matanya mengalami luka paling parah sehingga dia harus dirujuk ke Singapura untuk menjalani serangkaian operasi. Sampai kini, matanya belum pulih kembali.
Upayanya mencari titik terang bagi penglihatannya tetap berlanjut, sejalan dengan ikhtiar menemukan pelaku teror terhadap dirinya. Setahun berlalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya sudah melakukan pemeriksaan puluhan saksi hingga membuat sketsa dua wajah yang diduga sebagai pelaku pada 24 November 2017. Bahkan, Polda Metro Jaya membuka jalur khusus nomor 081398844474 untuk menampung informasi apa pun terkait pelaku penyerangan Novel (Kompas, 12/2/2018). Jalur yang dibuka sejak 24 November 2017 menerima sedikitnya 1.400 laporan melalui sambungan telepon atau layanan pesan singkat. Sayang, hanya 200 laporan yang bisa ditindaklanjuti meskipun tidak berarti banyak untuk mengungkap kasus. Sampai kini, polisi belum memiliki petunjuk yang cukup kuat untuk mengungkap pelaku.
Desakan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari kalangan masyarakat sipil pun makin menguat. Salah satunya dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, yang gencar menyuarakan agar kekerasan terhadap Novel Baswedan diungkap sampai tuntas. Presiden Joko Widodo pun menaruh perhatian serius atas hal ini dan memerintahkan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengusut tuntas.
Begitu gencarnya dorongan tersebut muncul karena masyarakat sipil belajar dari kasus penganiayaan penggiat Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun, pada Kamis (8/7/2010) pukul 03.45. Ketika itu, Tama dipukuli di di Jalan Duren Tiga Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan disabet dengan senjata tajam sehingga kepalanya terluka. Sampai kini, pelakunya belum terungkap. Padahal, ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberi perhatian yang serius terhadap kasus ini.
Gambaran utuh
Proses panjang pengungkapan kematian Munir dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, tahun 2004, mencerminkan keahlian penyidik mengumpulkan kepingan-kepingan petunjuk dan menyusunnya menjadi gambaran utuh kasus tersebut. Sejumlah orang pun kemudian dibawa ke meja hijau dan ada yang dihukum penjara.
Dalam pengungkapan kematian Munir, keberadaan TGPF ternyata mampu berperan membantu polisi. Meski kemudian dokumen TGPF tersebut kini tak tahu di mana rimbanya.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Choirul Anam berpendapat senada. Menurutnya, ada persoalan di luar teknis hukum sehingga kasus ini susah diselesaikan, meskipun untuk menemukan pelaku lapangan. Menurut Choirul, pengungkapan kasus Novel membutuhkan dukungan semua pihak dan menjadi ujian atas komitmen bersama dalam memberantas korupsi.
Philippa Webb dan Kirsten Roberts dalam kajian berjudul Effective Parliamentary Oversight of Human Rights: A Framework for Designing and Determining Effectiveness menyampaikan, negara menjadi penjamin utama terpenuhinya HAM rakyatnya, termasuk mencari solusi dan penyelesaian ketika hal itu dilanggar.
Komnas HAM juga akan turun ke lapangan untuk membantu mempercepat penyelidikan kasus Novel Baswedan. Semua pihak, termasuk Novel, akan dimintai keterangan oleh tim khusus yang dibentuk oleh Komnas HAM Februari lalu (Kompas, 10/3/2018). Tim khusus dari Komnas HAM akan memastikan proses hukum yang dialami oleh Novel berjalan sesuai dengan prinsip HAM, hukum yang adil, dan mengungkap hambatan yang dialami selama ini. Sejumlah tokoh masyarakat sipil, selain dari Komnas HAM, mengisi tim tersebut. Mereka, antara lain, Franz Magnis-Suseno (pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Abdul Munir Mulkhan (akademisi), Alissa Wahid (Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian), dan Bivitri Susanti (pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera).
Semua ini merupakan ikhtiar bersama dalam mengungkap pelaku kekerasan terhadap Novel. Kita berharap, solidaritas masyarakat sipil mengungkap kasus kekerasan terhadap Novel memperkuat soliditas bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Sejarah akan mencatatnya.