Pelibatan Aktif Militer Membuka Peluang Terjadinya Pelanggaran HAM
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan Tentara Nasional Indonesia untuk terlibat aktif dalam penanggulangan terorisme dianggap tidak sesuai dengan peran dan fungsinya. Keterlibatan tentara dalam pemberantasan terorisme dinilai bisa menjadi celah terjadinya kejahatan kemanusiaan. Peran TNI dalam pemberantasan terorisme sebaiknya tetap sesuai koridor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Sejumlah elemen masyarakat sipil mengaku khawatir terkait dengan surat rekomendasi Panglima TNI kepada Pansus RUU Antiterorisme DPR yang menyatakan agar revisi UU Antiterorisme mengatur keterlibatan aktif TNI dalam penanggulangan terorisme.
Direktur Imparsial Al Araf di Jakarta, Selasa (23/1), menyatakan, surat ini memperlihatkan keinginan TNI untuk terlibat aktif dalam penanggulangan terorisme melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Kontras, Imparsial, Setara Institute, dan Indonesia Corruption Watch, mengaku khawatir munculnya peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia jika TNI terlibat aktif dalam pemberantasan terorisme.
Al Araf berpendapat, rekomendasi ini tidak perlu dilakukan karena UU TNI telah mengatur peran TNI dalam operasi militer non-perang, termasuk penanggulangan aksi terorisme. Ia berujar, peran tersebut sesuai dengan penegasan bahwa TNI adalah instrumen pertahanan negara dan harus dalam kendali sipil, dalam hal ini presiden.
”Fungsi militer adalah pertahanan, bukan penegak hukum. Sesuai dengan UU TNI, posisi TNI adalah sebagai perbantuan, bukan berperan dalam pencegahan, penindakan, dan pemulihan aksi terorisme. Hal ini merupakan ranah kerja kepolisian,” ujarnya.
Al Araf berargumen, jika RUU disahkan dengan merealisasikan rekomendasi Panglima TNI, akan berakibat pada berkurangnya supremasi sipil atas militer dalam penanggulangan terorisme karena TNI tidak perlu lagi menunggu keputusan dari presiden selaku pemilik perintah tertinggi atas militer.
”Hal ini tentu bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil,” ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menyatakan, adanya upaya TNI untuk terlibat dalam upaya penanggulangan terorisme tidak sesuai dengan peran dan fungsi TNI. Semestinya, TNI merupakan alat negara untuk memastikan kedaulatan tidak jatuh ke tangan asing.
Yati khawatir, jika RUU disahkan sesuai dengan permintaan surat dari Panglima, peran TNI akan masuk ke dalam ranah penegakan hukum, aspek yang telah menjadi tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia.
”Negara ini sudah hampir 20 tahun dari reformasi, era yang mengedepankan profesionalitas TNI dan menolak adanya dwifungsi ABRI (sekarang TNI). Jika disahkan, ini akan mengganggu nilai-nilai dan prinsip demokrasi,” ujarnya.
Kecenderungan ini, menurut Yati, terlihat dari saran definisi terorisme yang terlampir di dalam surat rekomendasi Panglima TNI ini.
Saran ini berbunyi: Terorisme adalah kejahatan terhadap negara yang mengancam ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, keamanan negara, dan keselamatan segenap bangsa yang memiliki tujuan politik dan/atau motif lainnya, yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok terorganisasi, bersifat nasional dan/atau internasional.
”Definisi ini terlalu karet karena subyektifitas yang terjadi jika tindak pidana terorisme berganti menjadi kejahatan negara. Jangan sampai orang atau kelompok yang menyampaikan pendapat, kritis terhadap pemerintah, dianggap sebgaai penggaggu kedaulatan negara,” ujarnya.
Selain kebebasan berekspresi, Yati menanggapi peran TNI yang menjadi eksekutor selain Polri. Jika saran ini direalisasikan, akan ada celah bagi TNI untuk melakukan tindakan yang melanggar HAM. Pelanggaran ini terjadi karena sistem hukum peradilan militer masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang masih memisahkan peradilan militer dengan sipil dalam hal tindak pidana.
Yati menjelaskan, saat ini pihak militer hanya terikat pada peradilan militer. Pada titik tertentu, hal ini menjadi sangat subyektif karena semua yang ada dalam peradilan tersebut adalah militer. Sipil, kata Yeti, tidak punya akses untuk menggugat peradilan tersebut sehingga obyektivitasnya dipertanyakan.
”Obyektivitas ini juga terkait dengan profesionalisme dan akuntabilitas militer. Revisi UU Peradilan Miilter yang dimandatkan dalam UU TNI No 34 Tahun 2004 harus segera disahkan untuk persamaan di muka hukum. Ini dilakukan untuk mendorong adanya akuntabilitas dan tanggung jawab dari militer yang melakukan tindak pidana,” tuturnya.
Mandat ini tercantum dalam Pasal 62 Ayat (2) UU TNI yang menyatakan, prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Namun, jika dilihat dari Pasal 74, selama UU peradilan militer yang baru belum dibentuk dan diberlakukan, maka peradilan militer masih tunduk kepada UU sebelumnya.
Eskalasi
Dihubungi terpisah, Ketua Badan Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan, fungsi Polri sebagai penegak hukum dalam menanggulangi terorisme masih bisa dilaksanakan dengan baik.
”Saat ini penangkapan telah memperkecil ruang, rehabilitasi yang bersifat preventif juga berjalan dengan baik. Artinya, kepolisian telah melakukan fungsinya,” papar Muradi. Ia berargumen, TNI seharusnya tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan pada UU TNI.
Peran TNI, kata Muradi, bisa diklasifikasikan sesuai dengan motif kelompok organisasi itu sendiri, apakah bentuk kebencian terhadap pihak tertentu atau upaya untuk merusak keutuhan dan kedaulatan negara.
Tidak hanya motif, Muradi menjelaskan, level organisasi juga menjadi patokan dalam peran TNI, apakah masih dalam skala nasional ataukah masuk ke dalam organisasi internasional yang merongrong kedaulatan.
”Peran TNI bisa masuk melalui eskalasinya dan ini bisa diatur dalam teknis pelaksanaannya. Jadi, peran TNI tidak perlu dijelaskan dalam undang-undang yang sifatnya umum karena tindak pidana terorisme memiliki kelas yang berbeda-beda. Jika telah masuk kepada upaya mengancam kedaulatan, di sana baru TNI bisa masuk,” ujarnya. (DD12)