JAKARTA, KOMPAS — Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo disebut sebagai pihak yang menjanjikan imbalan kepada tiga pejabat Bakamla dalam korupsi pengadaan satelit pemantau di Bakamla pada 2016. Janji Arie itu diungkap dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksamana Pertama Bambang Udoyo.
Oditur (jaksa penuntut umum) Brigadir Jenderal Rachmad mengungkapkan hal itu dalam sidang yang dipimpin Brigadir Jenderal Deddy Suryanto di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, di Cakung, Jakarta Timur, Rabu (1/11). Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan, Rachmad mengemukakan, Bambang telah menerima imbalan sekitar Rp 1 miliar untuk meloloskan PT Melati Technofo Indonesia sebagai pemenang lelang. Imbalan itu sesuai dengan janji Arie kepada Bambang.
Rachmad mengungkapkan, janji imbalan uang itu disampaikan Arie secara lisan kepada Bambang pada November 2016, sekitar dua bulan setelah PT Melati Technofo Indonesia ditetapkan sebagai pemenang lelang. Arie berjanji bahwa Bambang bersama dua pejabat Bakamla lainnya masing-masing akan memperoleh 1. Penyebutan angka satu itu, kata Rachmad, dimaknai Bambang sebagai jatah imbalan uang untuk dirinya dan dua pejabat Bakamla yang disebutkan Arie, yakni Kepala Biro Perencanaan Bakamla Nofel Hasan dan Deputi Informasi Hukum Bakamla Eko Susilo Hadi.
”Atas perkataan Kepala Bakamla tersebut, terdakwa mengerti maksudnya bahwa terdakwa, Eko Susilo Hadi dan Nofel Hasan, akan mendapatkan bagian uang,” kata Rachmad menjelaskan.
Dalam perkara ini, Eko telah dipidana lebih dulu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena terbukti memperoleh imbalan Rp 2 miliar dalam bentuk dollar Singapura dan Amerika. Sementara Nofel masih disidik di Komisi Pemberantasan Korupsi dan diduga pula menerima imbalan Rp 1 miliar.
Bambang juga didakwa tak melaksanakan tugas pokoknya sebagai PPK dalam lelang pengadaan satelit pemantau. Sebagai PPK, Bambang bertanggung jawab menyusun spesifikasi barang, pembuatan harga perkiraan sendiri (HPS), dan rancangan kontrak. Sebaliknya, tugas pokok itu diserahkan kepada PT Melati Technofo Indonesia selaku perusahaan yang sejak awal dirancang sebagai pemenang lelang.
Mengatur pemenang
Cara untuk memenangkan PT Melati Technofo Indonesia itu, diungkapkan Rachmad, dilakukan dengan membuat kuncian pada spesifikasi barang yang diinginkan Bakamla. Hal yang dimaksud kuncian, menurut Rachmad, adalah fitur yang terdaftar pada unit receiver di satelit pemantau itu hanya dimiliki pabrik rekanan PT Melati Technofo Indonesia, yakni PT Rohde and Schwarz yang berada di Jerman.
Spesifikasi fitur yang hanya dimiliki PT Rohde and Schwarz itu yang dimasukkan ke dalam sistem lelang elektronik di Bakamla. ”Fitur itu hanya dimiliki rekanan PT Melati Technofo Indonesia dan itu tak dimiliki perusahaan kompetitor lainnya sehingga PT Melati Technofo Indonesia dapat dimenangkan,” ucap Rachmad.
Rachmad mengungkapkan, keterlibatan Bambang dalam perkara korupsi ini terjadi sejak Arie selaku Kepala Bakamla memperkenalkannya dengan Fahmi Al Habsyi. Dalam perkara ini Fahmi disebutkan sebagai staf khusus Bakamla. Dalam proses lelang, Fahmi juga disebutkan sebagai pihak yang aktif mencari perusahaan untuk pengadaan satelit pemantau, dengan syarat perusahaan itu bersedia menyediakan imbalan untuk Bakamla.
Fahmi kemudian menemui seorang pengusaha, Fahmi Dharmawansyah, Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, yang bersedia memenuhi syarat memberikan imbalan untuk Bakamla. Pada mulanya, Fahmi Dharmawansyah merupakan pemilik PT Merial Esa. Namun, karena PT Merial Esa tak memiliki izin sebagai perusahaan penyedia alat telekomunikasi, Fahmi Dharmawansyah pun menggunakan PT Melati Technofo Indonesia yang sudah memiliki izin penyedia alat telekomunikasi.
Pada Juli, sebulan sebelum pendaftaran lelang dibuka, Fahmi pun menagih janji imbalan yang disanggupi Fahmi Dharmawansyah, sebesar 6 persen dari nilai proyek pengadaan satelit pemantau senilai Rp 402,7 miliar. Di Hotel Ritz Carlton, janji imbalan sebesar Rp 24 miliar itu diserahkan kepada Fahmi oleh Muhammad Adami Okta dan Hardi Stefanus, anak buah Fahmi Dharmawansyah.
Adami dan Hardi pula yang membantu menyusun spesifikasi teknis, HPS, hingga rancangan kontrak pengadaan satelit pemantau di Bakamla. Pekerjaan itu semestinya menjadi tanggung jawab Bambang sebagai PPK. Oleh karena itu, Bambang pun sampai memberikan perlakuan istimewa kepada PT Melati Technofo Indonesia, yakni lelang baru akan dibuka jika PT Rohde, rekanan PT Melati Technofo Indonesia, sudah siap.
Korupsi ini pun terungkap pada 14 Desember 2016, saat Adami dan Hardi menyerahkan imbalan senilai Rp 2 miliar kepada Eko Susilo Hadi di ruangannya di kantor Bakamla. Adami dan Hardi ditangkap tangan KPK seusai menyerahkan imbalan dan saat itu pula Eko ditangkap.
Sementara Bambang yang lebih dulu memperoleh imbalan Rp 1 miliar dalam korupsi ini sempat menggunakannya untuk disumbangkan ke masjid dan tiga yayasan yatim piatu di Jawa Barat dan Jawa Timur senilai Rp 46 juta. Bambang juga sempat menyisihkan imbalan yang diterima sebesar 20.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 189 juta, ditambah Rp 10 juta dari kantongnya sendiri, untuk biaya umrahnya sekeluarga.
Menanggapi dakwaan oditur, Letnan Kolonel Yanto Suryanto selaku penasihat hukum Bambang menyampaikan bahwa pihaknya tak akan mengajukan eksepsi. Majelis hakim pun memutuskan sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi.