Setara: Rencana Kapolri Bubarkan HTI, Langkah Tepat dan Legal
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Kepala Kepolisian Negera RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian membubarkan organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan langkah yang tepat dan legal sepanjang dilakukan melalui proses yudisial yang akuntabel. Alasan Kapolri Tito Karnavian adalah HTI telah mengganggu ketertiban sosial dan berpotensi memicu konflik horizontal, dan mengancam ideologi Pancasila karena agenda yang diusung HTI adalah khilafah, suatu sistem politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan Pancasila.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya Selasa (2/5/2017) mengatakan, dari berbagai studi dan praktik di beberapa negara, ideologi khilafah yang disertai pandangan keagamaan eksklusif, takfiri (gemar mengafirkan pihak yang berbeda) telah menimbulkan pertentangan kuat di tengah masyarakat. Di beberapa negara, organisasi Hizbut Tahrir telah dilarang di antaranya di Jordania, Irak.
”Secara fisik, HTI tidak melakukan kekerasan. Akan tetapi, gerakan pemikiran HTI yang secara masif dan sistematis telah merasuk ke sebagian warga negara Indonesia, khususnya melalui kampus-kampus dan majelis-majelis keagamaan, telah dianggap mengancam kebhinekaaan, sistem politik demokrasi, dan Pancasila, yang merupakan falsafah bangsa Indonesia,” kata Hendardi.
Menurut Ketua Setara Institute, gagasan pembubaran HTI merupakan eksperimentasi penerapan prinsip margin of appreciation dalam disiplin hak asasi manusia. Kebebasan berserikat dalam bentuk organisasi masyarakat seperti HTI dijamin oleh Konstitusi RI.
”Akan tetapi, jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, HTI sahih untuk dibatasi perkembangannya. Pemikiran HTI tidak bisa diberangus karena kebebasan berpikir bukan hak yang bisa dibatasi. Tetapi, pemerintah dan penegak hukum bisa melakukan pembatasan penyebarannya. Jika penyebarannya yang dibatasi, orang-orang yang menganut pandangan keagamaan dan pandang politik seperti HTI tidak bisa dipidanakan. Hanya tindakan penyebarannya yang bisa dibatasi,” kata Hendardi.
Secara teknis, kata Hendardi, pembubaran ormasnya sangat dimungkinkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Pada Pasal 59-78 mengatur larangan bagi ormas, ancaman sanksi, pembekuan organisasi, hingga mekanisme pembubaran dan mekanisme untuk menyoal pembubaran itu, jika organisasi yang dibubarkan tidak menerima tindakan hukum negara.
”Opsi pembubaran adalah salah satu cara menghalau pengaruh destruktif HTI. Gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan mainstream dan moderat, bisa menjadi opsi pelengkap untuk memoderasi pandangan keagamaan pengikut HTI.” kata Hendardi.