Shenzhen dan Klakson Sepeda Motor Listrik
Apakah menggabungkan sepeda motor listrik dengan pejalan kaki di jalur yang sama adalah kebijakan terbaik?
Sebuah kota, agaknya, dengan berbagai kompleksitas masalah di dalamnya, tak mungkin bisa dinilai hanya dengan berkunjung satu atau dua hari. Banyak hal yang berkaitan, bertentangan, dan berkelindan hingga membuat sebuah kota itu berjalan sedemikian rupa.
Untuk itu, saat berkunjung ke China dengan berpindah ke tiga kota dalam lima hari, saya hanya bisa melihat hal-hal kecil yang ada di sekitar. Kunjungan pada 18-22 Desember 2023 itu adalah tugas dinas luar negeri untuk memenuhi undangan peliputan perusahaan produsen kendaraan listrik BYD.
Saya baru bisa berjalan-jalan seorang diri di luar rombongan saat berada di Shenzhen, Provinsi Guangdong. Itu pun hanya di sekitar hotel tempat kami menginap, Intercity Hotel. Hotel ini berada di pusat keramaian, terintegrasi dengan mal dan pusat perbelanjaan di sekitarnya yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Bahkan, terdapat pasar tradisional yang menjual berbagai kebutuhan.
Ke luar ruangan sekitar pukul 18.30 waktu setempat, telapak tangan saya harus terus berada di saku jaket. Suhu Shenzhen di akhir tahun 2023 memang sangat dingin. Pengukur suhu di gawai menunjukkan, dalam sehari suhunya berubah-ubah, antara 4 dan 12 derajat celcius. Masker tak bisa lepas menutup mulut dan hidung.
Alih-alih berjalan di halaman setiap toko, saya memilih berjalan di trotoar dengan lebar sekitar tiga meter. Trotoar itu mirip dengan yang ada di banyak kota di Indonesia: terdapat jalur khusus untuk penyandang tunanetra di bagian tengah, sebuah ubin taktil kuning bertekstur.
Seperti kebiasaan di Indonesia, saya berjalan di jalur kiri dengan sedikit menggigil lantaran telinga saya diterpa angin dari lalu-lalang kendaraan di jalan raya. Saat ingin berbelok, sebuah motor listrik melaju dari arah berlawanan dan langsung mengklakson.
Saya terkesiap dan berhenti. Pengemudi sepeda motor listrik itu langsung membanting setir ke kiri dari arahnya. Ia melaju begitu saja dengan cepat. Saya lupa, jalur berkendara di Shenzhen adalah di sisi kanan. Itu terlihat dari setir mobil yang berada di kiri, berbeda dengan Indonesia yang bersetir kanan.
Kini Shenzhen menjadi salah satu rujukan kota pintar dunia sebagai kota dengan perekonomian yang terus tumbuh, pusat inovasi teknologi, danpusat bisnis.
Di saat itu pula saya menyadari bahwa sepeda atau sepeda motor listrik boleh menggunakan trotoar sebagai jalur berkendara. Saya menatap ke arah jalan raya beberapa menit. Memang tak ada sepeda motor listrik yang melaju di antara mobil atau bus yang melintas. Lalu lalang sepeda motor listrik hanya saya jumpai di trotoar.
Bahkan, di seberang hotel, saya baru menyadari, sepeda motor listrik itu pun menggunakan jembatan penyeberangan untuk menjangkau wilayah satu ke wilayah lain yang dipisahkan jalan raya. Ada yang menuntunnya, ada pula yang mengendarainya, meliuk-liuk di antara pejalan kaki.
Dengan kikuk, saya melanjutkan jalan kaki di sebelah kanan. Di jalur selanjutnya, saya melintasi puluhan sepeda motor listrik terparkir di sisi kanan trotoar. Beberapa di antara motor listrik itu terdapat tas di bagian belakang. Ada yang berwarna merah, kuning, biru, atau hijau.
Sepertinya itu adalah kendaraan operasional untuk semacam ojek daring yang melayani belanja atau pesan-antar kebutuhan konsumen. Banyak sekali sepeda motor listrik yang seperti itu lalu lalang. Saya ingin sekali mengobrol dengan salah satu di antara mereka, tetapi bahasa menjadi kendala.
Saya mencoba menyapa seseorang yang baru memarkir sepeda motor listrik. Namun, ia tak bisa menanggapi bahasa Inggris. Saat ingin mengeluarkan aplikasi terjemahan, pria itu berlalu begitu saja.
Hal itu juga saya alami di berbagai toko, termasuk pasar swalayan. Saat berbelanja, saya hanya melihat angka yang tertera pada mesin penghitung dan mengeluarkan beberapa lembar yuan. Saya baru bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris saat mengunjungi diler salah satu produsen kendaraan listrik, itu pun hanya kepala dealer.
Baca juga : Shenzhen Saingi Hong Kong
Klakson dan melaju cepat
Berjalan seorang diri di negeri yang bahasanya sama sekali asing, bagi saya, hanya bisa menikmati pemandangan orang-orang, pertokoan, dan kendaraan yang melintas. Di belakang kawasan perhotelan dan pusat perbelanjaan modern itu, saya melihat sebuah kios kecil di pintu masuk gang.
Seseorang mengepulkan asap rokok dari kejauhan. Kawasan itu lebih padat dengan jalur trotoar yang lebih sempit.
Klakson bersaut-sautan. Saya berdiri di tepi kios, kembali berhenti dan menelisik dari mana klakson itu berbunyi.
Ternyata, para pengemudi sepeda motor listrik yang menekan klakson bersaut-sautan. Ada yang mengklakson pejalan kaki, ada yang mengklakson mobil saat ingin menyeberang jalan, atau mengklakson sesama pengendara sepeda motor listrik.
Kendati klakson berbunyi silih berganti, saya tak mendengar teriakan kesal atau sejenisnya dari para pengendara sepeda motor listrik. Beberapa pejalan kaki memang terlihat kaget dengan klakson itu, menghentikan langkahnya, dan semakin menepi di trotoar.
Para pengendara motor listrik itu melaju begitu cepat setelah sedikit mengurangi kecepatan atau mengerem. Karakter kendaraan listrik yang tanpa suara memang membuat pejalan kaki tak menyadari jika ada kendaraan yang melintas dari berbagai arah.
Kota pintar
Dengan menahan dingin, saya jadi penasaran bagaimana kota ini bermula. Dari berbagai sumber yang bisa dijangkau di internet, Shenzhen adalah sebuah perkampungan nelayan yang dikembangkan menjadi kota pintar. Sepanjang 40 tahun, sejak 1980-an, Shenzhen berkembang seiring Pemimpin Deng Xiaoping berkuasa dan membuka keran investasi asing.
Kini Shenzhen menjadi salah satu rujukan kota pintar dunia sebagai kota dengan perekonomian yang terus tumbuh, pusat inovasi teknologi, danpusat bisnis. Shenzhen dikembangkan menjadi salah satu kawasan ekonomi khusus China.
Gedung-gedung dengan tinggi menjulang dan pusat bisnis terlihat di sekitar jalan utama. Penggunaan kendaraan listrik, seperti yang saya jumpai, adalah salah satu cara untuk mengurangi polusi kendaraan di kota yang semakin padat itu.
Dengan perkembangan itu, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah China melalui Wali Kota Shenzhen pada Juli 2023. Keduanya menjajaki kerja sama dalam transfer pengetahuan untuk mengembangkan kota pintar, salah satu tujuan dibangunnya IKN yang bakal menjadi ibu kota baru Indonesia.
Berjalan kaki di salah satu pusat perbelanjaan Shenzhen itu, saya jadi membayangkan, bagaimana nasib para nelayan di masa silam di Shenzhen? Apakah keluarganya tumbuh lebih layak? Atau mereka bermigrasi ke tempat lain di China?
Di sisi lain, pengalaman berjalan kaki beberapa jam di Shenzhen membuat saya berpikir ulang. Apakah menggabungkan motor listrik dengan pejalan kaki di trotoar dengan jalur yang sama adalah kebijakan terbaik?
Baca juga : Shenzhen