Menapaki Budaya Melempah dari Pulau Bangka
Tradisi memasak lempah amat melekat dalam kehidupan masyarakat Pulau Bangka. Setiap keluarga memiliki resep lempah tradisional yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi memasak lempah amat melekat dalam kehidupan masyarakat Pulau Bangka. Setiap keluarga memiliki resep lempah tradisional yang diwariskan turun-temurun. Bahan yang digunakan biasanya tak jauh-jauh dari sumber daya yang ada di sekitar mereka. Seiring waktu, pergeseran selera menjadi tantangan tersendiri bagi lempah tradisional untuk bertahan.
Kalau lah tuan pergi ke tanjung
Berdayung sampan naik perahu
Ini disebut lempah urong (baca: urung)
Lempah tradisional sejak zaman dahulu
Pantun di atas diucapkan oleh Cik Kario (44) sebelum memasak lempah di saung tepi Sungai Menduk, Desa Menduk, Mendo Barat, Kabupaten Bangka (15/7/2022). Senyum Pak Cik, sapaan akrab Cik Kario, merekah setelah menyampaikan pantun tersebut. Kata dia, pantun dan lempah, sama-sama menjadi ciri khas dan identitas untuk masyarakat setempat. Tak heran jika dia menghadirkannya sepaket.
Siang itu, gerimis mengiringi perjumpaan Pak Cik dan Tim Pusaka Rasa Nusantara dari Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia. Mereka mencatat dan mendokumentasikan resep yang sudah jarang dimasak dan dikenal masyarakat luas, termasuk resep lempah urong tugang milik Pak Cik.
Kehangatan menyergap setelah melihat tumpukan cabai rawit yang akan digunakan untuk bumbu masakan. Tangan Pak Cik amat cekatan mengambil satu per satu bahan. Ada bawang merah, cabai rawit, serai, lengkuas, kunyit, terasi, dan daun kelampa.
Semua bahan ditimbang terlebih dulu oleh Tim Pusaka Rasa Nusantara. Selanjutnya, bumbu ditumbuk menggunakan alu dan cobek batu. Ditumbuk kasar, tidak sampai bertekstur lembut. Seperti lempah lainnya, kunyit bertujuan untuk memberi warna kekuningan pada kuah lempah.
Warna tersebut tersemat pada menu lempah yang lebih populer, yaitu lempah kuning yang biasanya diracik dengan bahan ikan. Sejak tahun 2015, lempah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Masyakarat tak pernah melewatkan hari tanpa menyantapnya. Lempah diyakini menjadi sumber semangat dan energi dalam melalui segudang aktivitas.
Jenis protein lain yang bisa diolah menjadi lempah adalah daging ayam, iga sapi, pelanduk (kancil), dan udang. Resep lempah urong tugang milik Pak Cik menggunakan ayam hutan (tugang) sebagai bahan utamanya. Tugang yang masih perawan atau belum pernah bertelur dipilih karena dagingnya lebih empuk dan gurih dibandingkan ayam boiler. Dulunya, bahan utama yang digunakan adalah burung punai yang ditangkap saat warga bekerja di kebun.
Urong artinya tidak sampai atau dimasak hingga belum menjadi lempah kuning, yang identik dengan sensasi pedas dan asam yang kuat. Sementara lempah urong cenderung ‘ringan’ dan tidak terlalu asam karena menggunakan pucuk daun kelampa, bukan asam jawa. Di daerah lainnya, rasa asam pada lempah didapat dari pucuk daun nangka, terong asam, pucuk daun kedondong, dan daun medang perawas.
“Dulu, banyak warga yang bekerja sebagai petani sahang (merica). Mereka memasak lempah urong di kebun untuk makan siang. Di sini, baik laki-laki atau perempuan, semua harus pandai melempah (memasak lempah),” ucapnya sambil mengaduk bumbu di wajan.
Memori masa kecilnya tak jauh-jauh dari lempah. Makanan itu menyelamatkan dirinya dari kelaparan ketika sendirian di rumah. Lempah menjadi menu yang dia pelajari untuk pertama kalinya pada usia 9 tahun.
Pak Cik mengingat semua bumbu dan teknik memasak yang dilakukan oleh almarhum pamannya. Meski tidak dibimbing secara langsung, dia memperhatikan langkah demi langkah proses pemasakan. Berulang kali dia berusaha untuk menduplikasi masakan itu, tentu dengan harapan bisa mirip dengan buatan sang paman.
Bahan dan teknik memasak lempah urong tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Misalnya, kayu bakar untuk tungku masak menggunakan kayu pohon pelawan karena memiliki panas yang stabil dan tidak cepat menjadi arang abu. Masakan yang dihasilkan juga memiliki aroma khas.
Semula rasa lempah buatannya tidak enak, tetapi tetap habis disantapnya. Perlahan dia menemukan takaran yang pas. “Tidak semua tahu resep lempah tradisional. Kebanyakan resep diturunkan dengan cara mengamati nenek atau ibunya. Jadi dimasak menggunakan feeling (naluri),” kata dia.
Lempah urong sudah jarang dimasak oleh masyarakat setempat. Menurut Pak Cik, pergeseran selera menjadi penyebab kuliner itu kurang diminati. Makanan modern lebih dilirik karena kekinian dan dianggap berkelas.
Lempah bukan hanya membuat perut kenyang, rimpang kunyit yang digunakan pada lempah dipercaya dapat menjaga kesehatan pencernaan. Lempah juga menunjukkan identitas budaya dan tradisi yang dimiliki masyarakat setempat.
“Kalau orang Jawa minum jamu dari kunyit, kami orang Bangka mengonsumsi kunyit lewat kuah lempah. Ini bagus untuk pencernaan, makan lempah bisa bikin angin dari tubuh keluar,” ujar Pak Cik dengan mantap.
Kekhasan
Setiap keluarga memiliki resep yang berbeda, sehingga tak ada pakem khusus untuk mengolah lempah tradisional. Di Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Yoelchaidir (47), mengolah gumbang kelapo atau batok kelapa lembut yang sangat muda menjadi lempah. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan pangan saat hasil tangkapan ikan sedang sedikit.
Gumbang kelapo dipetik dari pohon kelapa di kebun. Lalu dikupas, diiris, dan air kelapanya dipisahkan. Air itu nantinya dimasukkan ke dalam masakan untuk memperkaya cita rasa. Selain air kelapa, rampai uyep atau udang dari sungai yang telah diasap juga ditambahkan.
Lempah ini hanya menggunakan tiga macam bumbu atau bumbu tige, yakni cabai rawit, terasi, dan garam. Jumlah cabai yang digunakan juga harus ganjil, konon memberikan sensasi pedas yang lebih kuat. Kali ini, Yoelchaidir menggunakan 53 biji cabai rawit.
Toboali dikenal sebagai daerah penghasil terasi berkualitas baik dari Pulau Bangka. Tak heran jika masyarakat setempat sangat mengagungkan terasi sebagai bumbu yang wajib ditambahkan dalam berbagai masakan, termasuk lempah.
Menurut Chef Ragil Imam Wibowo, tim ahli kuliner dari Pusaka Rasa Nusantara, terasi berperan sebagai bumbu penyedap masak alami yang digunakan oleh masyarakat setempat. Selain rasa umami, aroma yang dihasilkan turut menggugah selera makan seseorang yang akan menyantapnya.
Benar saja, aroma lempah gumbang kelapo yang telah matang amat harum. Mulut tak sabar untuk menyeroknya dengan nasi panas. Chef Ragil pun berjalan mendekati tungku masak dan mencicipi kuah lempah dengan sendok di tangannya, “Segar dan enak. Simpel (bumbunya) tapi gurih karena perpaduan terasi, air kelapa, dan rampai uyep,” ucapnya tersenyum.
Yoelchaidir meyakini bahwa lempah menjadi makanan yang menyatukan keluarga. Menu lempah selalu hadir dalam setiap acara keluarga atau pertemuan kerabat. Ini merupakan wujud penghormatan tertinggi dari pemilik acara dengan cara menyajikan bahan terbaik yang dimilikinya.
Lempah bisa diartikan kumpulan bumbu yang dijadikan satu. Kata ‘lem’ dari lempah diartikan sebagai bahan perekat dan kata ‘mpah’ dihubungkan dengan rempah. “Lempah menyatukan kita. Pantang pulang sebelum makan lempah,” kata dia.
Jauh sebelumnya, beberapa jenis lempah hanya disajikan untuk perayaan khusus, seperti acara pernikahan, sedekah bumi, syukuran sunatan, atau upacara kematian. Lempah kulat pelawan merupakan menu kebanggaan masyarakat Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah, yang wajib ada dalam acara syukuran.
Keistimewaannya terletak pada bahan jamur atau kulatpelawan yang tumbuh alami di sekitar pohon pelawan. Harga kulatpelawan kering mencapai Rp 4 juta per kilogram. Tidak heran jika tergolong mahal karena jamur ini baru tumbuh pada pergantian musim kemarau yang disertai dengan hujan, angin, dan petir. Masyarakat setempat meyakni bahwa pasukan jamur diutus turun ke bumi lewat kilatan dan petir.
Beberapa hari setelah petir dan hujan, warga akan berbondong-bondong ke hutan pelawan untuk mengumpulkan jamur tersebut. Sayangnya saat berkunjung ke hutan pelawan, Minggu (17/7/2022), kulat pelawan sedang tidak bersemi di hutan. Namun, kami tetap berkesempatan untuk mencicipi lempah kulat pelawan yang dimasak Yusuni (56).
Menurut dia, kulat pelawan akrab dengan lidah masyarakat setempat. Biasanya dimasak lempah tanpa tambahan protein hewani. Rupanya tekstur kenyal kulat hampir mirip dengan tekstur daging sapi. Cita rasa lempah kulat pelawan juga amat gurih dan enak.
Resep lempah kulat pelawan telah dikenalnya secara turun-temurun. Semula, masyarakat zaman dulu menandai jamur yang bisa diolah menjadi bahan pangan jika ada ulat yang tinggal di dalamnya. Artinya, jamur tersebut tidak beracun dan bisa dimakan juga oleh manusia.
Melestarikan
Katanya, seseorang belum genap ke Pulau Bangka, jika belum mencicipi kuliner lempah. Bukan hanya lempah kuning, tetapi masih banyak jenis lempah tradisional yang menarik untuk dijelajahi. Ketua Tim Pusaka Rasa Nusantara Meilati Batubara, mengatakan, makanan tradisional yang ada di Indonesia amat beragam dan banyak jenisnya, termasuk di Pulau Bangka. Makanan ini menunjukkan identitas dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat.
Mayoritas masakan tradisional menggunakan bahan-bahan yang tumbuh di sekitarnya. Bahkan, beberapa bahan pangan hanya tumbuh di daerah tersebut. Artinya, keberlangsungan masakan tradisional turut bergantung pada kondisi alam dan upaya masyarakat dalam menjaganya.
Hasil penelusuran resep lempah tradisional di Pulau Bangka yang didukung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui hibah Ambassador Fund for Cultural Preservation akan didokumentasikan dalam bentuk video dan buku.
Pengambilan gambar dilakukan dari awal penimbangan bahan-bahan, peracikan bumbu, proses pemasakan, hingga penyajian. Lokasinya pun berada di dapur warga atau saung yang letaknya berdekatan dengan alam. “Dokumentasi melalui video diharapkan dapat menarik minat anak muda untuk menyelami lebih dalam budaya memasak resep tradisional, sehingga resep-resep itu tetap lestari,” ucap Meilati.