Makassar Tahun 1886 dalam Catatan Perempuan Skotlandia
Pelabuhan Makassar yang penuh warna-warni kapal layar dan kapal uap modern serta aneka barang yang diperjualbelikan di pusat perdagangan tidak jauh dari dermaga adalah sebagian yang dilihat Anna Forbes dari Skotlandia.
Anna Forbes (1855-1922), seorang perempuan asal Skotlandia, pada 1880-an menemani suaminya menjelajah wilayah timur Kepulauan Nusantara yang saat itu masih disebut Hindia Belanda.
Kunjungannya ke Kota Makassar selama empat hari pada 1886 dituangkan ke dalam buku Unbeaten Tracks in Islands of the Far East: Experiences of a Naturalist’s Wife in the 1880’s. Buku ini juga memuat perjalanannya ke Ambon, Banda, dan daerah timur lainnya, selain sempat singgah di Bogor dan Semarang setelah bertolak dari Batavia seusai pelayarannya selama 41 hari dari Inggris.
Suami Anna, Henry Ogg Forbes, adalah seorang penjelajah, ahli burung, dan ahli botani asal Skotlandia. Hasil pengamatannya dituangkan ke dalam buku A Naturalist’s Wanderings in the Eastern Archipelago. Henry menikahi Annabella Keith, nama lengkap Anna, di Batavia pada 1882. Anna kemudian mengikut perjalanan Henry dan membantunya mendata koleksi serta menulis buku terkait temuan-temuan mereka di perjalanan, terutama soal jenis-jenis burung.
Terkait Makassar, Anna menggambarkannya sebagai pusat perdagangan, tempat produk dari peradaban Barat dijual ke wilayah Timur yang liar. Makassar saat itu menjadi pusat perdagangan Nusantara di wilayah timur.
”Rotan dari Borneo, kayu cendana dan madu dari Flores serta Timor, teripang dari Teluk Karpentaria di utara Australia, minyak kayu putih dari Pulau Buru, serta pala hutan dan kulit kayu mussoi dari Papua menjadi komoditas di toko-toko Tionghoa dan Bugis. Mereka juga menjual kopi dan beras dari Sulawesi Selatan,” papar Anna tentang komoditas yang ia temui di Makassar.
Selain dengan daerah-daerah di wilayah timur Nusantara, Makassar juga menjalin hubungan dengan wilayah yang kelak dikenal sebagai Australia. Hubungan itu bahkan sudah berlangsung jauh lebih lama dibandingkan masa kolonisasi Australia oleh Inggris atau penjelajahan oleh Belanda dan Perancis di Terra Australis Incognita.
Banyak kosa kata dari bahasa Makassar dan Melayu yang diserap oleh bahasa suku-suku asli di utara Australia, seperti Arnhem Land hingga Ashmore Reef tempat makam para pelaut Makassar yang terletak tidak jauh di selatan Pulau Timor.
Dalam laporan ilmiah berjudul ”Austronesian Loandwords in Yolngu-Matha of Northeast Arnhem Land” karya Alan Walker dan R David Sorc yang diterbitkan oleh Australia National University (ANU) tahun 1981, ditemukan 200-300 kata serapan dari bahasa Makassar atau Bugis yang dipakai suku Yolngu-Matha, masyarakat asli Arnhem Land.
Beberapa di antaranya, rupiya untuk menyebut uang, jinapan untuk senapan, jalatan untuk arah selatan, jaran untuk kuda, lipalipa yang berarti kano dari kosa kata Bugis, hingga bandira yang berarti bendera.
Baca Juga: Padewakang Sang Penakluk Lautan
Jalur perdagangan laut juga berlangsung dari Makassar ke Kepulauan Aru yang diangkut kapal-kapal Makassar (yang dimaksud adalah pinisi). Komoditas mewah dan mahal datang dari Kepulauan Aru, seperti mutiara, mutiara raksasa, dan kerapas kura-kura yang kemudian diekspor ke Eropa dengan harga tinggi. Selain itu, terlihat pula tumpukan teripang dan sarang burung walet untuk diangkut oleh kapal kemudian dijual kepada konsumen Tionghoa.
Pusat perdagangan dengan toko-toko Eropa, Tionghoa, dan Arab yang terletak sebelah-menyebelah, menurut catatan Anna Forbes, berlokasi selepas dermaga Pelabuhan Makassar. Di dekat pusat perniagaan, terdapat jalan besar yang diapit deretan pohon rimbun. Deretan toko milik para pedagang China menjadi pecinan yang kini berada di sekitar Jalan Irian. Terdapat pula beberapa kelenteng di sana.
Selepas pusat perniagaan, terdapat kantor pemerintah, rumah baca bagi orang-orang Eropa dengan aneka majalah serta koran Eropa, serta hunian para pejabat Hindia Belanda. Tepat di ujung jalan besar tersebut terdapat sebuah benteng besar, Fort Rotterdam.
Forbes membeli beragam barang di Makassar, antara lain lusinan pisau besi seharga 10 rupiah. Barang-barang itu kemudian dimanfaatkan sebagai sarana kontak atau barter dengan beragam artefak penelitian alam dan antropologi.
Baca Juga: Perdagangan Berbuah Akulturasi di Masyarakat
Saat tiba di Tanimbar, Maluku Tenggara, Forbes menukar sebilah pisau dengan seekor ayam. Untuk dua bilah pisau dia bisa mendapatkan tiga ekor ayam atau seekor ikan besar yang cukup untuk makan malam melimpah bagi tiga pria dewasa.
Aneka barang yang dibawa dari Makassar disukai masyarakat di kepulauan sebelah timur Sulawesi. Makassar memang menjadi pusat perdagangan dan distribusi aneka barang.
Para pedagang Makassar, Bugis, Tionghoa, dan Arab berlayar membawa barang-barang dari Makassar ke pulau-pulau di wilayah timur Sulawesi hingga ke Papua, utara Australia, seantero Maluku, dan kepulauan Sunda Kecil yang kini dikenal sebagai Bali, NTB, dan NTT.
Anna Forbes bersama rombongannya, yakni suami dan sebuah keluarga Portugis yang menjadi rekan perjalanan mereka, setiap hari berjalan kaki ke Kota Makassar. Mereka lalu masuk ke kampung-kampung warga Makassar.
Baca Juga: Pecinan, Denyut Nadi Perniagaan Makassar
Di sebuah kampung, Anna Forbes untuk pertama kali merasakan segarnya air kelapa. Warga kampung dengan sigap memanjat pokok kelapa yang menjulang tinggi lalu memetik beberapa buah kelapa. Kelapa lantas dikupas dan ditebas cangkangnya.
”Buah kelapa segar yang baru dipetik rasanya jauh lebih nikmat dibandingkan buah kelapa yang dijajakan di pasar. Cairan di dalam buah kelapa tak berwarna dan sedikit manis, terasa sangat menyegarkan,” kata Anna Forbes.
Seusai merasakan segarnya air kelapa, Anna Forbes dan rombongan dipersilakan masuk ke rumah warga di perkampungan. Mereka dengan senang hati menerima tamu perempuan-perempuan Eropa di rumah mereka yang terbuat dari bilik bambu.
Di salah satu bentangan jalan dari perkampungan, terdapat deretan galangan kapal tradisional Makassar. Kapal-kapal kayu tersebut, menurut Anna Forbes, bentuknya unik dan ganjil. Dalam pandangannya, dia tidak akan berlayar ribuan mil di laut lepas dengan perahu-perahu tersebut. Namun, pada kenyataannya, perahu-perahu Makassar tersebut mengarungi lautan seantero perairan Nusantara dengan catatan kecelakaan yang minim.
Sepintas lalu, perahu Makassar tersebut mirip dengan kapal Jung Cina. Beberapa bahkan berukuran lebih kecil lagi, seperti perahu nelayan biasa, tetapi mampu mengangkut muatan 80 ton dengan 30 awak kapal.
Geladak kapal pinisi berada di lengkungan rangka kapal yang menjadi tempat terendah di kapal sekaligus menjadi bagian penting untuk membelah ombak. Bagian yang menarik adalah lubang di badan kapal seukuran satu yard dan menembus kedua badan kapal di ketinggian tiga kaki atau satu meter dari permukaan air laut.
Anna Forbes heran betapa unik konstruksi kapal dengan lubang yang memungkinkan air masuk ke badan kapal, tetapi ternyata tangguh mengarungi samudera.
Seluruh kelengkapan struktur kapal Makassar dan Bugis berasal dari alam, seperti bambu dan rotan sebagai tali-temali, serta atap sirap. Berbeda dengan kapal uap Eropa pada 1880-an, yang berbau batubara, pelumas, oli, dan berbagai perlengkapan modern. Aroma bahan-bahan alami dalam pembuatan kapal Makassar dan Bugis memberikan aroma alam di atas kapal-kapal mereka.
Anna Forbes mengutip catatan naturalis Alfred Russel Wallace yang pernah berkeliling Hindia Belanda wilayah timur selama beberapa pekan menggunakan kapal tradisional Makassar-Bugis.
”Pelayaran selama dua pekan itu sangat menyenangkan, di atas perahu tradisional yang tidak menggunakan aturan model Eropa dalam menetapkan etiket berpakaian. Makan, minum, dan lain-lain berjalan secara bebas dan akrab,” catat Wallace.
Tata cara makan dan etiket hidup di kapal Eropa memang sangat melelahkan. Aktivitas sosial di ruang saloon, geladak kapal, dan berbagai agenda sosial berlangsung secara resmi. Belum lagi, terpaan jelaga dan debu dari batubara yang menyesakkan.
Untuk makan malam resmi, aturan busana, urutan hidangan, dan lain-lain juga telah diatur. Sering kali saat berada di daerah tropis, acara makan malam membuat busana perempuan menjadi basah kuyup oleh keringat karena acara jamuan berlangsung lama dan resmi di tengah suasana panas udara tropis.
Meski demikian, kebanyakan orang lebih memilih bepergian dengan kapal api atau kapal bermesin uap karena jauh lebih cepat dibandingkan menumpang kapal layar Makassar atau Pinisi.
Aneka perahu layar dan kapal api modern pada zaman itu ditambah perahu-perahu militer berwarna putih memenuhi pelabuhan Makassar. Warna-warni kapal dan layarnya membuat pelabuhan Makassar terlihat meriah. Kota Makassar adalah salah satu kota penting karena menjadi tempat berkantor satu dari tiga gubernur yang menjadi anak buah Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kantor Gubernur di Makassar menjalin hubungan diplomatik dengan Kantor Gubernur Timor Portugis di Kota Dilli. Gubernur Timor Portugis dan keluarga kerap berkunjung ke Kota Makassar. Salah satu kunjungan adalah dari keluarga Da Francha yang merupakan keluarga pejabat di Timor Portugis. Kunjungan ini bersamaan dengan kedatangan Anna Forbes dan rombongan. Anna pun mengisahkan, rombongan dari Timur Portugis tersebut disambut kereta kehormatan yang ditarik empat ekor kuda.
Hampir seabad kemudian, tepatnya pada 1975, juga terjadi kunjungan dari Timor Portugis ke Makassar, seperti diceritakan dalam buku Hari-hari Terakhir Timor Portugis karya Konsul Republik Indonesia di Dilli, Tomodok.
Saat itu, dilakukan misi kemanusiaan evakuasi warga Portugis, Taiwan, dan warga pro-Indonesia dari Dilli ke Makassar. Kota Makassar memang selalu menjadi titik strategis untuk pelayaran, perniagaan, dan perekonomian di wilayah timur kepulauan Nusantara.