Perdagangan Berbuah Akulturasi di Makassar
Akulturasi budaya di Makassar di antaranya lahir dari pedagang multietnis di masa lampau. Jejak pembauran ini bisa dijumpai dalam berbagai rupa dan menjadi penanda keterikatan antarwarga berbagai suku.
Se’re-Se’re ji batara baule
Ati raja nakijai pa’nganroi baule
Rajale alla kereaminjo
Ati… Ati… Ati raja
Nitarima pappala’na baule
Hanya ada satu Tuhan
Ati raja, hanya kepada-Mu kami meminta
Apa pun itu yang sesungguhnya
Ati… Ati… Ati raja
Pasti akan diterima segala permintaan
Generasi muda di Kota Makassar saat ini barangkali banyak yang tidak tahu bahwa bait awal cuplikan lagu daerah Makassar ini diciptakan seorang seniman keturunan Tionghoa, Hoo Eng Djie (1906-1960).
Menggunakan bahasa Makassar, lagu berjudul ”Ati Raja” (istilah untuk hati yang lapang/bersih) ini bercerita tentang pengakuan atas keberadaan Tuhan dan sekaligus tempat bermohon. Lagu ini sangat lekat di hati semua orang Makassar atau siapa pun yang pernah berdiam di kota ini. ”Ati Raja” bukanlah satu-satunya lagu Hoo Eng Djie, ada banyak lagu lain yang menjadi lagu daerah Makassar.
Keberadaan pecinan sebagai pusat perdagangan dan cikal bakal Kota Makassar, Sulawesi Selatan, memang memberi banyak warna dalam perkembangan kota dan juga warganya. Akulturasi dalam beragam rupa adalah salah satu hal penting yang lahir kemudian dari kawasan ini, termasuk lagu-lagu ciptaan Hoo Eng Djie tadi.
Kedatangan beragam etnis di Makassar pada masa lampau, walau awalnya hanya untuk kepentingan berdagang, nyatanya melahirkan kisah pembauran. Di kawasan pecinan, kawin mawin antara etnis Tionghoa dan Bugis, Makassar, atau Melayu, kemudian melahirkan turunan peranakan.
Para peranakan ini tak sekadar melanjutkan usaha moyang mereka, tapi juga menciptakan akulturasi dan harmoni. Akulturasi ini hadir di meja makan, di pesta adat, dunia berkesenian, dan banyak aspek lain kehidupan.
David Aritanto (60, budayawan Tionghoa yang menghabiskan masa kecil di tengah-tengah pecinan, masih ingat betul bagaimana setiap perayaan Maulid dia diminta mengantar telur berwarna merah dan beragam penganan ke masjid. Sejak dulu hingga kini banyak masjid di pecinan.
”Ibu saya punya usaha kue dan makanan. Setiap kali Maulid, dia akan menyempatkan waktu khusus membuat telur berwarna merah dan membuat songkolo (nasi ketan), lalu meminta saya membawanya ke masjid,” katanya.
Menurut David, moyang mereka punya tradisi membuat telur berwarna merah untuk menyambut atau memperingati kelahiran seseorang. Saat itu, pedagang Tionghoa akan ikut bersukacita merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang diwujudkan dengan membuat telur.
David mengatakan, ada banyak jenis kuliner ataupun tradisi yang sesungguhnya adalah hasil akulturasi. Coto Makassar, kue-kue tradisional, hingga ornamen pelengkap pesta pernikahan dan pakaian adat adalah sebagian contohnya.
Baca juga : Menikmati Akulturasi di Meja Makan
Kuliner memang menjadi salah satu ikon pecinan Makassar. Dari kawasan ini lahir sejumlah warung kopi tertua yang hingga kini tetap bertahan. Pemiliknya kini mengembangkan usaha dengan model waralaba hingga lahir cabang-cabang di sejumlah wilayah, termasuk di luar Makassar. Sebut saja Warkop Phoenam dan Hai Hong.
Ayam goreng Sulawesi, yang juga menjadi salah satu kuliner ikonik Makassar, bermula di Jalan Sulawesi, kawasan pecinan, lebih 50 tahun lalu. Cabangnya kini menyebar di sejumlah tempat. Begitu pula jalangkote yang jadi penganan khas Makassar. Beberapa usaha jalangkote yang besar kini dikelola generasi ketiga dari kawasan pecinan.
Siapa pun yang pernah ke Makassar pasti pernah mendengar atau mencoba kuliner mi kering. Makanan berbahan mi garing yang diberi kuah kental berisi campuran ayam, udang, dan sayuran ini diperkenalkan oleh seorang warga keturunan yang akrab dipanggil Angko Cau.
Makanan hasil kreasinya ini tak hanya menjadi kuliner ikonik di Makassar, tetapi juga menginspirasi banyak pemilik restoran hingga warung kaki lima untuk mengadopsi dan menjadikannya menu favorit.
Korongtigi juga merupakan bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan Bugis-Makassar.
Pakaian adat lelaki dalam suku Bugis dan Makassar dengan model kerah berdiri pun punya kemiripan dengan pakaian etnis Tionghoa. Begitupun ornamen dalam pakaian adat perempuan dengan gelang berhias naga. Ada pula hiasan pelaminan yang tampak seperti burung merak, tetapi bagi orang Tionghoa adalah burung Fenghuang.
Bahkan, korongtigi juga merupakan bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan Bugis-Makassar. Korongtigi ini adalah momen melepas calon pengantin untuk memulai hidup baru yang digelar dalam ritual sakral yang dihadiri kerabat dekat.
”Dalam pernikahan etnis Tionghoa, kami juga menggelar malam korongtigi dengan beragam kue sebagaimana lazimnya yang dilakukan suku Bugis Makassar,” tambah David.
Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, keberadaan pedagang Tionghoa di masa lampau memang melahirkan pembauran. ”Ada banyak hal dari Tionghoa yang diadopsi dalam budaya Bugis, Makassar, maupun Melayu. Begitu juga sebaliknya. Dulu, identitas etnis sangat kuat dibandingkan mempersoalkan asal-usul,” katanya.
Identitas etnis dan pembauran yang melahirkan keterikatan erat ini, sayangnya, pernah ternoda saat terjadi beberapa kali konflik berbau etnis di Makassar. Ini terutama saat pemerintahan Orde Baru.
”Orang kemudian melihat etnis Tionghoa hanya dari satu sisi, padahal di antara mereka pun sebenarnya banyak konflik dan persaingan hingga faksi,” kata Dias. Ini yang kemudian membuat harmoni seolah pudar dan etnis Tionghoa terkesan menjadi tertutup.
Baca juga: Akulturasi Memperkaya Budaya
Soal ini, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Yerry Wiryawan, mengatakan akulturasi yang baru mestinya bisa dibuat lagi. ”Akulturasi yang ada saat ini adalah peninggalan masa lalu. Mestinya bisa dikreasikan dan diciptakan lagi hingga terus ada yang baru. Bisa membuat kuliner, lagu, film, apa pun,” katanya.
Yerry mengatakan, perihal memperbarui dan menciptakan akulturasi baru adalah sesuatu yang niscaya. Makassar adalah kota yang dicintai semua warganya, tak peduli latar belakang. Sejatinya, kebanggaan dan kecintaan ini adalah modal utama untuk melahirkan keterikatan yang lebih erat lagi.