Kota Makassar sejak dahulu adalah kota pelabuhan dan perdagangan. Episentrumnya adalah kawasan pecinan, yang memiliki jejak sejarah panjang lahirnya berbagai usaha ataupun usahawan di kota itu.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Menyebut kawasan pecinan di Makassar, Sulawesi Selatan, adalah menyebut pusat perniagaan bersejarah. Denyut nadi perdagangan hampir tak pernah berhenti, bahkan di tengah pandemi. Pecinan serupa gurita yang mendorong lahirnya pusat-pusat ekonomi serta pengusaha ataupun pedagang lain di kawasan sekitarnya. Sejumlah produk legendaris Makassar pun dilahirkan di kawasan ini.
Hari masih pagi, Kamis (15/7/2021), saat sejumlah pembeli silih berganti datang ke Toko Karya Harapan. Toko ini sebenarnya didirikan dengan nama Keng Hoat, lebih 60 tahun silam. Aturan mengindonesiakan nama-nama berbau Tionghoa pada era Orde Baru membuat sang pemilik mengubah nama usahanya.
Toko ini menempati salah satu unit dari jajaran ruko di Jalan Lembeh. Jualannya adalah mi basah. Ruko ini merangkap pula sebagai tempat produksi. Letaknya di bagian belakang ruang penjualan. Saat ini, Keng Hoat sudah dikelola oleh generasi ketiga. Turun-temurun orang mengenal Keng Hoat sebagai pabrik mi.
”Saat saya lahir, usaha ini sudah ada. Bermula dari opa, kini anak saya sudah mulai saya libatkan. Bersyukur usaha ini tetap bertahan walau kami sudah pindah dari lokasi awal di Jalan Timor,” kata Welly Wijaya (50), pemilik sekaligus penerus usaha mi basah Keng Hoat.
Walau bertahan hingga menjelang generasi keempat, pemilik Keng Hoat tak pernah berpromosi. Mi basah pun umumnya dijual kiloan dengan rata-rata produksi per hari 500-1.000 kilogram. Ada banyak usaha serupa yang lahir belakangan, tetapi Keng Hoat bisa bersaing.
”Resep turun-temurun kami jaga kualitasnya. Promosi kebanyakan dari mulut ke mulut. Banyak pelanggan yang juga turun-temurun. Misalnya, ada yang berlangganan sejak kakek-nenek mereka dan berlanjut ke anak-cucu. Pembelinya tak hanya dari Makassar, tetapi juga dari luar kota,” kata Welly.
Selain Keng Hoat, kawasan pecinan Makassar juga melahirkan banyak usaha lain yang tumbuh dan berkembang hingga kini. Segala rupa produk dari ujung rambut sampai ujung kaki tersedia.
Salah satu yang terkenal seantero Nusantara adalah minyak gosok Cap Tawon, atau biasa disebut minyak tawon. Minyak untuk obat luar berbahan campuran beragam herbal ini pertama kali diproduksi pada 1912. Minyak tawon pun sejak lama menjadi salah satu buah tangan khas Makassar.
Ada pula sirup DHT yang juga bertahan lebih dari 50 tahun. Sirup legendaris ini menjadi pasangan beragam kuliner, seperti pisang ijo, pallubutung, atau minuman segar lainnya. Sirup ini kokoh bersaing di tengah beragam produk sirup pabrikan raksasa nasional yang meramaikan pasar.
Masih ada produk lain yang juga melegenda, yakni kecap dan sambal botol produksi PT Adinata. Berusia lebih dari 50 tahun, hingga kini sambal dan kecap ini masih diproduksi. Produk ini mudah ditemukan mulai dari pasar tradisional hingga swalayan, dari gerobak bakso di pinggir jalan hingga restoran.
Bukan hanya suka, tetapi ada kenangan di situ.
Bagi sebagian orang, produk-produk itu juga mengandung kenangan dan obat kerinduan kota. Anny Rahimah (47), warga Makassar yang sudah hampir 10 tahun bermukim di Perancis, tak pernah lupa membeli produk asal pecinan ini setiap kali mudik. Barang-barang ini dibawanya saat pulang ke Perancis.
”Saat rindu nasi goreng dengan campuran sambal dan kecap Adinata, saya bisa buat kapan saja. Atau sedang ingin menikmati DHT, saya mencampurkannya dalam puding atau saya minum sebagai campuran air dingin. Bukan hanya suka, tetapi ada kenangan di situ,” katanya.
Sebagai pusat perdagangan dan produksi, pecinan Makassar mempunyai jejak sejarah yang panjang. Berada dalam satu kawasan dengan Pelabuhan Makassar, denyut perniagaan di kawasan ini sudah berlangsung bahkan saat Belanda dengan kongsi dagang VOC-nya belum menginjakkan kaki di kota ini pada abad ke-17.
Yerry Wiryawan, sejarawan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengatakan, selain berdagang, warga Tionghoa juga biasanya menduduki jabatan penting, di antaranya kesyahbandaran. ”Dahulu, jabatan syahbandar biasanya dilelang dan umumnya dimenangi orang Tionghoa atau Melayu,” ujarnya.
Saat VOC masuk, ujar Yerry, pedagang Tionghoa tetap mendapat tempat istimewa. Saat itu, bagi VOC, siapa pun asal bisa berkongsi bisnis cenderung tak akan diganggu.
Meski begitu, pecinan di masa lalu tak hanya dihuni oleh etnis Tionghoa. Etnis Melayu, Buton, Flores, Maluku, Bugis, Makassar, dan sejumlah suku lain di Nusantara hidup berdampingan. Mereka umumnya adalah pedagang.
”Dulu memang ada banyak etnis yang berdagang di sini. Saya ingat semasa kecil, saat kapal datang, kami bisa melihatnya dari rumah. Biasanya saat kapal berlabuh, orang-orang membawa gerobak hilir mudik mengangkut barang ke toko-toko atau pabrik yang ada di pecinan,” kata David Aritanto (60), yang menghabiskan masa kecil di Jalan Timor.
Tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan, pecinan menjelma serupa gurita yang membuat kawasan di sekitarnya ikut berkembang. Kawasan Makassar Mall (dahulu Pasar Sentral) dan Pasar Butung kini juga berkembang menjadi pusat grosir. Tak jauh dari pecinan juga ada Jalan Somba Opu yang menjadi pusat perdagangan emas di Makassar.