Sejarah Berdarah (Bagian 25)
Sungguhkah kita menginginkan dunia yang tanpa garis batas, tanpa institusi negara, dan tanpa hukum? Ikuti refleksi perjalanan Agustinus Wibowo ke Papua Niugini dalam serial perjalanan "Indonesia dari Seberang Batas"
Orang Tais semula tinggal di pesisir selatan Pulau Strachan, sekitar 60 kilometer di timur garis perbatasan Indonesia yang dekat Merauke. Pada suatu masa, suku mereka hampir punah oleh perang suku dan pembantaian.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 22: Australia di Depan Mata Bagian 23: Rindu Terpisah Garis Batas Bagian 24: Bermalam di Alam Liar
- Bagian 22: Australia di Depan Mata
- Bagian 23: Rindu Terpisah Garis Batas
- Bagian 24: Bermalam di Alam Liar
Duduk di dekat api unggun, kawan saya Sisi Wainetti yang orang Tais menceritakan peristiwa mengerikan yang didengarnya dari para orang tua di desa. Saat itu dari arah barat, dari daerah Merauke, datang para pemburu kepala (pengayau) membantai orang-orang di pesisir Laut Arafura ini.
Sisi tak tahu pasti kapan peristiwa itu terjadi. Tapi yang jelas, orang Tais tidak berdaya menghadapi para penyerbu itu.
Seorang lelaki tua dari Tais turut berbagi cerita. “Tradisi perburuan kepala itu sangat marak sebelum agama Kristen masuk ke sini,” kenangnya.
Dulu pada masa sebelum Perang Dunia II, dia bilang, perang suku masih terjadi, dan dia pernah mengalaminya. Para penyerang melontarkan tombak dari luar. Sedangkan dia sekeluarga bersembunyi di dalam rumah, sambil melepaskan panah dari sela bilah-bilah bambu dinding rumah.
Sekarang, semua itu terasa telah menjadi sejarah yang amat jauh.
Tapi tak sepenuhnya jauh.
Ketakutan orang-orang di pedalaman PNG ini saat bertemu orang yang berbeda bahasa, terutama saat bepergian melewati alam liar, menunjukkan bahwa sejarah perang suku itu masih lekat dalam memori, masih memengaruhi cara mereka memandang dunia.
Bahkan sekarang pun, di Daru masih beredar rumor bahwa orang Indonesia datang menyelinap ke PNG untuk mengayau, dan tengkorak orang PNG akan digunakan sebagai fondasi gedung tinggi dan jembatan di Merauke.
Tradisi pengayauan bukan hanya ada di Papua, tapi juga di bagian lain Nusantara. Kata “kayau” dalam bahasa Indonesia berasal dari “Ngayau”, yang merupakan tradisi sejumlah suku Dayak tertentu di Kalimantan pada masa silam. Dalam bahasa setempat, “kayau” berarti musuh.
Tradisi ini biasanya berhubungan dengan perang suku, atau kebutuhan mendapatkan tambahan kekuatan spiritual. Kepala musuh yang dipenggal digunakan dalam upacara religius, dan kemudian dipajang di rumah panjang. Terkadang ritual ini juga melibatkan kanibalisme.
Tradisi pengayauan ini mencengangkan para penjelajah Eropa abad ke-19, sehingga mendominasi tulisan mereka tentang orang Dayak. Misalnya The Head Hunters of Borneo karya Carl Bock yang terbit tahun 1882.
Di PNG, pengayauan masih terjadi hingga awal abad ke-20, termasuk di pedalaman Western Province.
Sebagaimana dicatat Dr. Gunnar Landtman, pengayauan itu terjadi antara 1870-an hingga 1910-an. Para pengayau itu disebut “Tugeri”, adalah para petarung suku Marind dari daerah sekitar Merauke, di Niugini Belanda (sekarang Papua Indonesia). Target serangan mereka adalah desa-desa di pesisir selatan Papua Inggris (sekarang PNG), juga Saibai dan Boigu di Selat Torres (sekarang wilayah Australia).
Penjelajah John Strachan, dalam buku Explorations and Adventures in New Guinea, menggambarkan keganasan para pengayau Marind itu ketika menyerang Boigu. Seribuan orang mengepung desa, lalu membantai warganya. Sekitar 30 dari 350 penduduk berhasil melarikan diri ke rawa, sedangkan yang masih hidup dan tertangkap diikat di kano. Para penakluk itu memakan mereka sambil berpesta.
Letnan-Gubernur Niugini Inggris saat itu, Sir William MacGregor, memimpin patroli bersenjata dan berkontak dengan para pengayau Tugeri di Pulau Strachan pada tahun 1895. Pasukan Inggris berhasil menangkap dan menghancurkan sejumlah kano, tapi MacGregor menyayangkan dia tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang Tugeri itu. Pasalnya, mereka dari seberang perbatasan, sehingga mereka adalah kawula Belanda yang tak tunduk pada hukum Inggris.
Serangan pengayau dari seberang perbatasan mulai mereda pada awal 1900-an, setelah Belanda membangun pos polisi yang permanen di Merauke.
Mendengar cerita tentang perang suku dan pengayauan itu, saya merasa betapa untungnya hidup di zaman sekarang, karena tak perlu mengkhawatirkan serangan suku lain. Juga tak perlu ketakutan kepala saya akan dipenggal orang tak dikenal sebagai sesembahan bagi dewa-dewa mereka.
Terkadang kita mengglorifikasi masa lalu, seolah yang terjadi di masa lalu itu serba romantis, sempurna, surgawi. Dan sering pula kita mengeluhkan keberadaan garis batas, produk sistem negara modern yang sepertinya mengungkung kebebasan. Kita memang makhluk yang mendambakan kebebasan, jika bisa seluasnya.
Tapi sungguhkah kita menginginkan dunia yang seperti itu? Dunia yang tanpa garis batas, tanpa institusi negara dan tanpa hukum? Dalam dunia yang bebas seluas-luasnya, setiap orang juga bebas melakukan segala hal, termasuk menyerang dan menyakiti orang lain. Bukannya kehidupan surgawi yang akan kita dapatkan, tapi kehidupan yang penuh kekejaman, permusuhan, dan ketakutan.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.