Saat tiba di Merauke untuk mencari Moris, Mama Pine dan Papa Jaea melihat dunia yang sama sekali berbeda. Demikian catatan Agustinus Wibowo dalam serial perjalanan ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Mama Pine, seorang perempuan paruh baya warga Desa Ber, Papua Niugini, meratapi garis batas yang membuatnya menderita. Senyumnya hanya berupa sekilas sungging dan matanya selalu menatap ke tanah, saat dia bercerita tentang anaknya yang sudah bertahun-tahun tak pulang dari seberang batas sana.
Tanggal itu tak akan pernah dia lupakan, 6 Maret 2004. ”Aku pergi, Papa, Mama,” kata sang anak meninggalkan desa di hari itu. ”Aku pasti kembali.”
Tapi Mama Pine tahu betul, ini perpisahan yang tidak sebentar. Tiap malam Mama Pine berpikir tentang dia, bermimpi tentang dia. Hingga hari ini pun, Moris Jaea tak pernah lagi kembali.
Sepertinya kepahitan itu membuat memori Mama Pine tinggal sepotong-sepotong. Emosi yang terlalu kuat membuat saya kesulitan menemukan kronologi kejadian itu dari kisahnya.
Sebaliknya, suaminya, Saba Jaea—seorang lelaki tua kekar dengan rambut memutih dan gigi memerah—lebih jelas dan tenang memandang memori tentang anaknya. Moris, anaknya, hitam dan tinggi seperti dirinya. Badan Moris gemuk dan ada penanda di atas mata kirinya. Sifat Moris yang utama adalah humoris dan suka membantu orang.
Pada 2003, datang seorang lelaki Papua dari Merauke bernama Geri, yang umurnya sekitar empat puluh tahun. Pemuda Moris sering membantu Geri untuk menebar jala di laut, juga membangun rumah panggung—yang sekarang sudah hampir bobrok dan menjadi tempat menginap saya di desa ini. Geri menyayangi Moris, mengajaknya ikut ke Merauke untuk membantu bisnisnya. Moris setuju. Keluarga pun memandang Geri sebagai seorang wantok sesama Melanesia walaupun berbeda negara sehingga merelakan anak mereka berangkat bersamanya.
Pada awalnya, Moris masih mengirim beras dan singkong dari Indonesia ke Ber. Tetapi setelah tiga tahun, kiriman itu semakin jarang. Sekarang, sama sekali tak ada kiriman apa-apa.
Papa Jaea dan Mama Pine tidak tahu bagaimana hubungan Moris dengan Geri sekarang. Mereka hanya dengar, Moris sudah menikah dan bekerja sebagai pegawai imigrasi di Kondo. Itu adalah titik terakhir perbatasan Indonesia yang berjarak sekitar seratus kilometer di tenggara kota Merauke. Mereka yakin, Moris sekarang sudah menjadi orang Indonesia, sudah berbeda dengan para keluarga yang tinggal di Desa Ber, sudah merasa terlalu terhormat untuk pulang ke kampung halaman yang miskin ini. Bahkan untuk sekadar berkirim kabar pun dia enggan.
Itulah sebabnya, Januari tahun 2014, Mama Pine dan Papa Jaea pergi ke Indonesia untuk mencari Moris, dengan menumpang perahu milik seorang kenalan. Mereka sebenarnya tidak boleh menyeberang ke Indonesia karena Ber, kampung mereka, bukan kawasan yang ada dalam Perjanjian Lintas Batas Tradisional RI-PNG. Tapi mereka punya kenalan di Bula, desa perbatasan PNG yang terdekat dari Indonesia, sehingga bisa mendapat selembar surat pas tanpa biaya.
Perahu mereka melaju sampai ke Merauke. Besarnya kota itu sungguh membuat mereka ketakutan. Mobil dan sepeda motor di mana-mana. Dunia yang sama sekali berbeda, penuh orang kulit putih dan kulit hitam yang bicara bahasa Melayu yang tidak mereka mengerti. Tanpa uang, mereka hanya terkurung di rumah seorang kerabat sesama orang PNG di pinggiran kota Merauke.
Berhari-hari berusaha, akhirnya mereka berhasil mengontak mertua Moris, yang berjanji akan membujuk anak itu untuk mau menemui orangtuanya. Tapi seminggu kemudian, tak kunjung ada kabar. Padahal pemilik perahu yang mereka tumpangi harus balik ke PNG.
Mama Pine memohon Papa Jaea untuk tinggal lebih lama, demi menunggu kabar dari Moris. Tapi Papa menolak, bilang bahwa kita orang miskin yang tak punya uang, hanya menumpang tanpa biaya. Mereka berkemas. Mama terus menangis saat mereka berangkat menuju perahu.
Di saat itulah, mertua Moris berlari tergopoh-gopoh, berseru: ”Jangan pergi dulu, Moris sudah naik bus dan akan datang dari Kondo!”
Tapi terlambat.
Mesin perahu sudah menyala, operator sudah menunggu dan memanggil mereka untuk bergegas. Mereka hanya bisa berangkat pulang. Sebuah perjalanan yang sia-sia.
Untuk biaya perjalanan ke Merauke, mereka membutuhkan 500 kina (Rp 2,5 juta) hanya untuk bahan bakar. Mereka perlu menangkap sekitar 200 kepiting untuk menutup biaya perjalanan ini.
Papa Jaea menilai Moris mustahil pulang karena sudah nyaman di Kondo. Namun dia masih berharap Moris mau pulang ke tempat asalnya.
Saya menawarkan bantuan sebagai penyampai pesan jika mereka menginginkan. Saya akan berusaha ke Kondo untuk mencari Moris, siapa tahu dia tergerak untuk pulang.
Saya merekam mereka dengan kamera video. Mama terus meminta maaf karena keterbatasan mereka yang tak sanggup membeli minyak sehingga tak berdaya menemui anaknya di seberang negeri sana.
Sedangkan dalam surat berupa coret-coretan di lembar buku catatan saya, mereka menulis: ”Moris, we miss you.”