Pulau Ikan Kakap (Bagian 16)
Daru adalah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa. Indah dan lengang, menarik untuk dijelajahi. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas.”
Daru, pulau kecil ini dijuluki “ibukota ikan kakap”, karena terkenal dengan ikan kakap putih yang melimpah. Konon panjang seekor ikan bisa dua meter, hingga harus dipanggul dua lelaki dewasa.
- Bagian 13: Merah Putih di PNG
- Bagian 14: Terbang dengan Air Niugini
- Bagian 15: Lulusan Indonesia di PNG
Saya membayangkan industri perikanan yang makmur. Tapi yang saya temukan adalah pasar ikan yang mengenaskan di daerah di sekitar pelabuhan.
Di pasar itu warga lokal PNG berdagang. Mereka menggelar tikar di jalan, di bawah terik matahari, mengipasi ikan dan udang dagangannya hanya dengan telapak tangan agar tidak dikerubung lalat. Aroma amis menyelimuti udara.
Mereka mengelompok menurut daerah asal masing-masing. Nelayan dari Kepulauan Kiwai dan daerah muara Sungai Fly berdagang di daerah dermaga pelabuhan. Tidak jauh dari mereka, adalah tempat para nelayan dari daerah pesisir pulau besar, seperti Sigabaduru dan Mabudauan, yang menjual kakap dan lobster.
Sedikit lebih jauh dari dermaga, adalah tempat para perempuan Daru menjual pinang dan roti sagu berisi daging kura-kura. Mereka duduk berjejer di seberang toko merah HE&GG Supermarket. Sedangkan para pedagang ikan dari hulu Sungai Fly berjejer di dekat lapangan di seberang New Century Supermarket.
Di Daru setidaknya ada enam supermarket, semuanya bisnis keluarga orang China, dan saling berdekatan di sekitar pelabuhan. Mereka menjual beras, makanan instan dan kalengan, bumbu masak, dan pakaian. Salah satu toko itu bahkan memperluas bisnis jadi hotel, dengan tarif jutaan rupiah per malam.
Supermarket HE&GG dikelola keluarga besar Yan yang berasal dari Provinsi Fujian. Hampir semua barang yang dijual adalah produk impor. Kasir dan pegawainya adalah warga lokal, sedangkan dua lelaki China duduk di atas kursi tinggi tepat di belakang kasir.
Dalam bahasa Mandarin, saya bertanya mengapa mereka duduk di sana. “Di negara ini terlalu banyak pencuri. Bukan hanya pembeli, kasir pun kalau tidak diawasi bisa mencuri,” jawab seorang lelaki muda
Mereka adalah CCTV versi manusia.
Kedua lelaki itu sangat girang begitu mengetahui saya orang Tionghoa Indonesia yang berasal dari provinsi yang sama dengan mereka. Seorang dari mereka mengaku pernah tinggal dua tahun di Jakarta, berdagang di daerah Asemka di kawasan Kota Tua. “Jakarta itu jauh lebih modern dan aman. Tapi persaingan terlalu kuat. Di PNG justru jauh lebih gampang cari duit,” tuturnya
Dia sudah tiga tahun tinggal di Daru, tapi sama sekali tak pernah keluar dari bangunan toko ini. “Apa tidak bosan?” saya bertanya.
“Namanya orang merantau, yang penting sukses. Menderita itu tak terhindarkan,” ucapnya.
Tepat di luar supermarket, ada seorang lelaki lokal bertelanjang dada dan bertelanjang kaki yang sepanjang hari menghabiskan waktu di sana. Dia tampaknya mengalami gangguan jiwa. Begitu melihat saya, dia langsung meraih tangan saya dan menggenggamnya erat. “I am also from China!” serunya. “Give me 2 kina!”
Saya meronta, berteriak meminta tolong, sampai kerumunan orang di jalan membantu melepaskan saya. Belakangan saya tahu, lelaki ini adalah pecandu narkoba dan pernah dipenjara, lalu membunuh narapidana lain dalam penjara.
Saya sempat mengira, begitu meninggalkan Port Moresby, akan leluasa menjelajah PNG. Tapi ternyata tidak. Mekha Eho’o, tuan rumah saya, melarang keras saya berjalan sendirian di Daru, karena banyak raskol (penjahat) berkeliaran.
Ini sangat disayangkan, Daru adalah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa. Indah dan lengang, menarik untuk dijelajahi. Di seluruh pulau ini tidak banyak mobil, jalan beraspal didominasi pejalan kaki.
Panjang pulau ini 5 kilometer, lebar 4 kilometer, bentuknya elips menyerupai anak ayam. Ujung utara merupakan daerah pelabuhan yang memasok penduduk Daru dengan segala barang kebutuhan. Lalu, jika menyusuri jalan utama Daru dari utara ke selatan, kita akan melintasi bandara yang melintang di tengah pulau, yang lebih mirip lapangan sepak bola dikelilingi pagar kawat.
Jika berjalan terus ke selatan, menuju daerah yang dijuluki “anus Daru”. Di sinilah tempat pembuangan sampah dari seluruh pulau. Juga ada pelabuhan tua yang sudah mati, dipenuhi rongsokan kapal. Di sekitarnya adalah daerah corner, permukiman kumuh yang dihuni para pendatang.
Daru hanya sekitar 250 kilometer dari perbatasan Indonesia, tapi di sini tak ada pedagang Indonesia. Sebenarnya, beberapa tahun lalu di Daru pernah ada satu toko Indonesia, bernama TowooIndo. Toko itu menjual baju batik, celana, dan makanan produksi Indonesia. Tapi tampaknya mereka salah pilih lokasi, yaitu di “anus Daru”, yang warga pun malas pergi karena terlalu berbahaya.
Toko Indonesia itu juga berbisnis tanpa rekanan lokal, sehingga sering menjadi target perampokan dan pencurian. Toko Indonesia itu tidak bertahan lama.
Baca juga: Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.