Saya beranjak ke arah barat, memulai petualangan menelusuri perbatasan yang sesungguhnya. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang batas."
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Saya tak akan bisa memahami misteri garis lurus perbatasan Indonesia-Papua Niugini jika hanya tinggal di Port Moresby. Saya harus beranjak ke arah barat, memulai petualangan menelusuri perbatasan yang sesungguhnya.
Perhentian pertama saya adalah Daru, pulau kecil ibu kota Western Province, provinsi paling barat Papua Niugini (PNG) yang berbatasan langsung dengan Papua Indonesia. Pesawat yang saya tumpangi, PX800, akan bertolak pada pukul 12:05. Akan tetapi, anggota staf KBRI di Port Moresby menganjurkan agar saya tiba di bandara paling lambat pukul 09:30. ”Jangan kira kalau sudah punya tiket, kamu pasti bisa terbang,” katanya.
Saya pun datang sangat awal ke bandara, menjadi pengantre kedua di depan gerai Air Niugini di bandara Jacksons yang tidak ber-AC. Proses check-in berjalan lancar sehingga saya punya banyak waktu berkeliling santai melihat-lihat bandara.
Di mana-mana terdapat peringatan larangan mengunyah pinang. Petugas pemeriksaan bagasi dengan mesin X-Ray juga sangat cermat memeriksa apakah ada penumpang yang membawa pinang ke dalam pesawat. Para petugas keamanan adalah warga lokal yang mengenakan seragam G4S, perusahaan keamanan swasta yang berpusat di Inggris.
Duduk santai di ruang tunggu, tiba-tiba saya mendengar seperti ada yang memanggil nama saya. Corong pengumuman memanggil nama saya kedua kali, meminta saya segera naik pesawat. Saya melihat jam, masih satu jam lagi dari jadwal terbang. Nama saya dipanggil ketiga kalinya.
Saya berlari di tarmak, melalui koridor berpagar dan bertudung. Pesawat Bombardier Q400 yang bermesin turboprop buatan Kanada itu sudah menunggu. Saya adalah penumpang terakhir yang naik pesawat. ”Cepat!” kata pramugari di pintu pesawat. “Kita segera terbang.”
”Tapi ini masih belum jadwal terbang,” kata saya.
”Semua penumpang sudah siap, kita terbang lebih awal!” ujarnya.
Terbang tertunda saya sudah sering. Terbang lebih awal, baru pertama kali ini saya alami.
Penerbangan menuju Daru 1 jam 15 menit. Untuk jarak yang hanya 442 kilometer, harga tiketnya 180 dollar AS. Ini tergolong murah. Di negara yang hanya separuh Pulau Papua ini, tiket penerbangan domestik bisa mencapai 1.000 dollar AS.
Setelah melewati Teluk Papua, pesawat menyeberang dari daratan utama melintasi selat kecil, untuk mendarat di sebuah pulau yang terlihat begitu kelam.
Daru.
Bandara lebih mirip lapangan rumput untuk sepak bola di tengah desa, dikelilingi pagar kawat. Di luar pagar itu, orang-orang berderet sepanjang jalanan, menempel di pagar, untuk menonton pesawat yang akan mendarat.
Apakah mereka sedang memimpikan keberangkatan? Atau merayakan ketibaan? Entahlah. Setelah pesawat mendarat dan kami turun dari pesawat, para penonton di balik pagar sudah jauh berkurang. Atraksi selesai, mereka pun bubar.
Hujan rintik semakin deras, para penumpang berlarian melintasi lapangan menuju gedung bandara, yang seperti rumah mungil bercat kuning dengan dua tangki besar penampung air hujan. Barang bagasi kami diangkut satu per satu oleh para petugas dari badan pesawat ke atas bangku kayu. Lalu setelah itu, terserah kami para penumpang untuk memunguti barang masing-masing.
Berselang dua minggu dari ketibaan saya itu, saya kembali lagi ke bandara ini untuk mengantar seorang teman yang hendak berangkat ke Port Moresby dengan Air Niugini, yang hanya terbang dua kali sepekan pada Rabu dan Minggu.
Dari balik kawat pagar, bersama puluhan penduduk lokal, saya menonton para penumpang berbaris berjalan di atas tarmak menuju pesawat. Dua penumpang terakhir naik, sebentar di dalam pesawat, lalu turun lagi.
Pesawat tinggal landas. Para penonton di luar pagar bandara bertepuk tangan meriah, lalu satu per satu mereka pergi. Saya menghampiri petugas bandara, bertanya tentang kedua penumpang itu.
Dia bilang, mereka tidak bisa diberangkatkan karena pesawat sudah kelebihan muatan.
”Apa yang bisa mereka lakukan?” tanya saya.
”Mereka hanya bisa menunggu hari Rabu,” jawabnya.
”Di negara saya, pesawat terlambat dua jam saja, penumpang bisa marah. Ini penumpang yang sudah pegang boarding pass, tidak jadi berangkat, apa mereka tak menuntut maskapai?”
”Papua Niugini beda dengan negara lain. Di Papua Niugini, semua orang penuh pengertian. Mereka semua mengerti keadaan,” tuturnya sambil tersenyum.