Merah Putih di PNG (Bagian 13)
Dolf yang ingin kembali ke Biak, Papua, percaya bahwa keberagaman yang akan membawa kemajuan bagi suatu bangsa. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo di Papua Niugini dalam ”Indonesia dari Seberang batas."
Sebagian Indonesia, terutama Indonesia Timur, juga dihuni orang Melanesia. Karena itu, Indonesia turut berpartisipasi dalam Festival Seni dan Budaya Melanesia yang pada 2014 digelar di Port Moresby, Papua Niugini.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 10: Kebanggaan Bangsa Bahari
- Bagian 11: Tok Pisin
- Bagian 12: Hubungan Dua Negara
Ini festival budaya terbesar di kawasan Pasifik Selatan, digelar dua minggu penuh, dihadiri negara-negara Pasifik seperti Fiji, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru. Juga ada Australia. Dalam partisipasi perdana pada festival ini, Indonesia membawa delegasi besar seniman dari provinsi Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua.
Yang pertama ditampilkan oleh Indonesia adalah kesenian dari delegasi Maluku, yang penampilnya berpakaian ala Melayu dan menyanyikan lagu berbahasa Melayu. Banyak penonton PNG merasa penampilan itu terlalu asing bagi mereka.
Keesokan harinya, harian The National memuat foto para penampil Maluku itu, dengan keterangan foto bernada ironi “An Asian Touch”. Di halaman yang sama, ada liputan wawancara dengan sejumlah orang “West Papua” yang datang ke arena festival itu. Narasumber bernama Papuanus menuding bahwa Indonesia telah membunuh budaya asli Melanesia di Papua, dan menggantinya dengan budaya Asia.
Sambutan dingin terhadap Indonesia berubah total pada hari terakhir, ketika yang tampil adalah delegasi Provinsi Papua. Para lelaki dari Tolikara memakai koteka, menyajikan tarian tradisional asli Papua yang lincah dengan tetabuhan gendang tifa. Atraksi itu seperti menghipnotis semua penonton, yang seketika bersorak bergemuruh. Koteka sudah sangat jarang dijumpai di PNG, sehingga penampilan itu tak ayal membangkitkan nuansa nostalgia, persaudaraan, sekaligus eksotisme di kalangan publik setempat. Wanita pembawa acara sampai ikut menari spontan di panggung bersama para penari Tolikara itu.
Festival ini kesempatan emas bagi Indonesia untuk menjalankan diplomasi budaya Melanesia, sekaligus menunjukkan posisinya dalam masalah Papua. Turut hadir dalam delegasi Indonesia adalah Gubernur Papua Lukas Enembe, yang dalam pidatonya di hadapan publik PNG menegaskan bahwa Papua mengalami kemajuan dan kedamaian sebagai bagian dari Republik Indonesia.
17 Agustus 2014. Halaman kedutaan Indonesia dipenuhi puluhan warga Indonesia yang menghadiri upacara peringatan 69 tahun kemerdekaan RI. Di antara mereka ada Dolf Marjen, seorang warga negara PNG yang berbaju batik dan sangat fasih berbahasa Indonesia.
Dolf lahir di Biak pada 1957, sehingga sejak kecil sudah mengenal bahasa Melayu. Saat itu, Papua masih bernama Niugini Belanda (NNG). Ayahnya hijrah ke PNG tahun 1962. Dolf tetap tinggal di Biak, bersama kakek neneknya.
Jauh dari orangtua, Dolf muda hanya bisa membayangkan tentang sosok sang ayah. Kakek neneknya hanya nelayan miskin yang sering kehabisan uang. Saat itu dia membayangkan: Ah, andaikan Ayah ada di sini, kami tak perlu merasakan derita kemiskinan ini lagi.
PNG merdeka dari Australia tahun 1975. Saat itu, ayah Dolf ikut rombongan delegasi Menteri Luar Negeri PNG berkunjung ke Biak. Dolf yang sedang belajar di SMEA, melihat ada sejumlah tentara memasuki ruang kelasnya, langsung meringkuk ketakutan. Para tentara itu mendatanginya, justru lembut berkata, “Jangan takut. Bapamu ingin bertemu denganmu.”
Belasan tahun mereka dipisahkan garis batas, itu adalah pertemuan yang penuh air mata. Bapa Eli, ayah Dolf, berjanji akan membawa Dolf ke PNG. Dolf berangkat ke PNG tahun 1978, menjadi warga PNG, dan bekerja di badan keamanan maritim PNG hingga sekarang.
Indonesia adalah rumah kami, akar kami,
Kini, menjelang hari tuanya, Dolf sangat ingin pulang ke Biak. Di sana, dia sudah memiliki tanah dan sedang membangun rumah. Kelak ketika rumah itu selesai, Dolf berencana kembali menjadi WNI. Itu juga impian ayahnya, yang tidak kesampaian hingga akhir hayatnya. “Bagaimanapun juga, Indonesia adalah rumah kami, akar kami,” kata Dolf.
Realitas Indonesia adalah negeri yang dihuni beragam suku bangsa, termasuk Melanesia. Sedangkan stigma negatif di kalangan sejumlah warga PNG terhadap Indonesia utamanya didasari perasaan persaudaraan Melanesia dengan orang Papua. Para aktivis gerakan Papua merdeka dalam kampanyenya sering mendengungkan bahwa orang Melanesia Papua sudah bukan tuan rumah di tanah mereka sendiri.
Saya bertanya kepada Dolf, masihkah Papua yang kini dihuni beragam etnik dari seluruh penjuru Indonesia itu adalah rumah baginya?
Dolf mengatakan justru alasan itu yang sering membuatnya berdebat dengan orang-orang “West Papua” di PNG. Ia percaya bahwa keberagaman, dan bukannya supremasi ras, yang akan membawa kemajuan bagi suatu bangsa. “Tak masalah jika semua bangsa hidup bersama, saling membangun dan saling menguntungkan. Buat apa mengisolasi diri tapi jadi terbelakang?” katanya.
Baca juga : Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.