Pilkada Minimalis pada Masa Pandemi
Pemungutan suara pada ajang Pilkada 2020 bakal diselenggarakan 9 Desember. Namun, sejumlah tahapan pendahuluan, seperti verifikasi dukungan calon perseorangan, dan penelitian data pemilih, tetap dimulai
Pemungutan suara pada ajang Pilkada 2020 bakal diselenggarakan 9 Desember. Namun, sejumlah tahapan pendahuluan, seperti verifikasi dukungan calon perseorangan, pencocokan dan penelitian data pemilih, serta kampanye, sudah harus dilakukan tatkala pandemi Covid-19 menunjukkan kecenderungan meningkat.
Protokol kesehatan penanganan Covid-19 menjadi keharusan untuk diterapkan pada Pilkada 2020. Namun, terlambatnya pencairan anggaran, lambannya peraturan Komisi Pemilihan Umum diterbitkan, hingga sanksi pemberhentian tetap dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu kepada sejumlah anggota KPU tak pelak membayangi pelaksanaan pilkada.
Pada titik ini, upaya mencapai keseimbangan antara kesuksesan menyelenggarakan pilkada untuk menjamin kelanjutan demokrasi dan jaminan kesehatan, serta keselamatan semua orang menjadi fokus perhatian. Bukan tidak mungkin, keseimbangan bisa dicapai jika pelaksanaan pilkada, seperti diusulkan sejumlah pengamat, kembali ditunda sebagaimana dimungkinkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
Perppu tersebut menjadi dasar penundaan pilkada dari 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020. Di dalamnya juga terdapat pengaturan tentang penundaan dan penjadwalan kembali segera setelah bencana non-alam Covid-19 berakhir. Ini jika pelaksanaan pada Desember 2020 dinilai pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu juga belum memungkinkan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Paksakan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember
Di sisi lain, pemerintah lewat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus meyakinkan pentingnya Pilkada 2020 diselenggarakan pada 9 Desember. Sejumlah alasan yang diutarakan adalah banyaknya kepala daerah yang bakal habis masa jabatannya pada Februari 2021 atau lebih dari 200 kepala daerah.
Jika Pilkada 2020 ditunda lebih lama lagi, dikhawatirkan akan terjadi kesulitan untuk menggantikan ratusan kepala daerah dengan para penjabat. Selain kesulitan menemukan figur tepat pada waktu bersamaan, kewenangan penjabat juga disebutkan tak seleluasa kepala daerah definitif hasil pilkada.
Jika Pilkada 2020 ditunda lebih lama lagi, dikhawatirkan akan terjadi kesulitan untuk menggantikan ratusan kepala daerah dengan para penjabat. Selain kesulitan menemukan figur tepat pada waktu bersamaan, kewenangan penjabat juga disebutkan tak seleluasa kepala daerah definitif hasil pilkada.
Argumentasi itu masih ditambah dengan Pilkada 2020 yang dapat menjadi ajang bagi masyarakat memilih pemimpin yang cakap mengatasi situasi krisis. Karena itu, pemerintah mendorong pula agar narasi mengenai tawaran dan program menghadapi pandemi setiap daerah dapat menjadi materi kampanye para bakal calon kepala daerah.
Namun, yang kadang luput adalah para calon petahana yang bakal bertarung pada pilkada mesti cuti selama 71 hari pada tahapan kampanye. Hal itu berarti mulai 26 September hingga 5 Desember 2020. Selama masa cuti kampanye, petahana bakal digantikan para pejabat sementara (pjs) atau pelaksana tugas (plt). Sejumlah keterbatasan terkait wewenang, sebagaimana argumentasi pemerintah jika pilkada kembali ditunda, justru harus dilakukan.
Padahal, jika melihat tren persebaran Covid-19 hingga medio Juli 2020, periode akhir September hingga awal Desember cenderung belum bisa disebut sebagai masa aman. Ada potensi sejumlah kejadian khusus yang memerlukan tindakan segera, bahkan luar biasa. Tindakan-tindakan yang membutuhkan wewenang penuh alih-alih sejumlah keterbatasan yang dimiliki pjs atau plt.
Dana terlambat
Ketersediaan anggaran menjadi persoalan lain yang hingga saat ini relatif belum ada titik temunya. Terdapat dua sumber pendanaan Pilkada 2020, selain dana APBD yang dicairkan berdasarkan kesepakatan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), juga dana APBN menyusul penerapan protokol kesehatan Covid-19 dan penambahan jumlah tempat pemungutan suara.
Hingga Senin (13/7/2020), pencairan 100 persen dana APBD berdasarkan NPHD baru ada di 113 satuan kerja KPU yang tersebar di sejumlah daerah dari total 270 daerah yang menjadi tempat penyelenggaraan Pilkada 2020. Adapun satuan kerja KPU di sejumlah daerah lain memiliki persentase realisasi yang berbeda-beda.
Selain 113 satker yang mencapai 100 persen pencairan NPHD, 132 satker lainnya baru menerima pencairan di bawah 50 persen. Di KPU Banten, misalnya, yaitu di Kabupaten Pandeglang, pencairan NPHD baru 41.99 persen. Adapun di Kabupaten Serang 40,40 persen, Kota Cilegon 41,84 persen, dan Kota Tangerang Selatan 45,46 persen.
Berdasarkan data KPU, pencairan NPHD baru Rp 6,62 triliun dari alokasi Rp 10,07 triliun. Berdasarkan Permendagri Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pendanaan Pilkada yang Bersumber dari APBD, batas waktu pencairan anggaran tahap kedua paling lama lima bulan sebelum pemungutan suara. Namun, tenggat waktu 9 Juli itu, lewat imbauan pemerintah, agar dipenuhi selambatnya 15 Juli.
Belakangan, Kemendagri kembali melonggarkan syarat pencairan dana APBD sesuai naskah NPHD. Kini, sisa anggaran dicairkan selambat-lambatnya Agustus 2020. Kemampuan keuangan di sejumlah daerah terbatas menyusul pandemi Covid-19.
Berdasarkan catatan Kompas, hingga Selasa (14/7), diketahui 115 pemerintah daerah sudah mencairkan dana NPHD ke KPU. Selain itu, 116 pemerintah daerah lainnya mentransfer ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Diketahui pula transfer anggaran di bawah 50 persen ke KPU dilakukan 253 pemerintah daerah ke Bawaslu.
Sementara tambahan anggaran dari APBN relatif tak berbeda jauh. Setelah melewati masa tunggu, pencairan tahap pertama sudah dilakukan sebesar Rp 941 miliar bagi KPU dari Rp 1,02 triliun yang sebelumnya disepakati. Pencairan tahap pertama juga dilakukan untuk Bawaslu dan DKPP. Pencairan tahapan kedua bagi KPU diharapkan pada bulan Agustus dan tahap ketiga pada Oktober. Jumlahnya masing-masing Rp 3,2 triliun dan Rp 457 miliar.
Tantangan Lain
Hal lain yang menambah tantangan ialah keterlambatan terbitnya peraturan. PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Nonalam Covid-19 baru dikeluarkan pada Selasa (7/7) malam. Padahal, tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan yang membutuhkan interaksi fisik dan penerapan protokol kesehatan ketat dimulai sejak 24 Juni 2020. Selanjutnya, KPU melakukan penyuluhan hukum dan sosialisasi ke KPU daerah, para petugas ad hoc, para pemangku kepentingan, dan masyarakat terkait PKPU.
Namun, di sisi lain, peraturan Bawaslu terkait pengawasan pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi non-alam Covid-19 hingga tulisan ini disusun belum juga diundangkan. Prosesnya masih melalui tahapan harmonisasi pemerintah. Hal ini membuat efektivitas pengawasan protokol kesehatan selama masa tahapan cenderung dipertanyakan.
Padahal, sejumlah persoalan terkait potensi pelanggaran di sejumlah tahapan pemilihan selama pandemi cenderung lebih besar. Praktik politik uang menyusul kesulitan dan tekanan ekonomi diperkirakan juga bakal lebih marak. Belum lagi sejumlah potensi pelanggaran lain, seperti dokumen palsu.
Tak kalah pelik dari soal tersebut ialah sanksi pemberhentian tetap yang diberikan DKPP kepada sejumlah komisioner KPU. Hal ini menyusul pemberhentian tetap empat komisioner KPU oleh DKPP, yakni komisioner di Kabupaten Sumba Barat, Bungo, Kota Surabaya, dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tenggara. Putusan pemberhentian tetap itu dibacakan DKPP pada pekan lalu.
Para komisioner yang diberhentikan tetap itu adalah Sophia Marlinda (Sumba Barat), Musfal (Bungo), Muhammad Kholid Asyadulloh (Kota Surabaya), dan Prasetya Andhika Syah Putra (Aceh Tenggara). Nama lainnya adalah Tahir (KPU Kabupaten Parigi Moutong) dan Hasrun Syahputra (KIP Aceh Tenggara) yang diberhentikan tetap oleh DKPP.
Sanksi pemberhentian tetap juga dilakukan terhadap komisioner KPU, Evi Novida Ginting. Pemberhentian tetap ini lewat putusan yang dibacakan dalam sidang pada 18 Maret 2020. Namun, pemberhentian Evi belakangan dibatalkan PTUN.
Dengan sejumlah kondisi tersebut, tak heran jika sebagian kalangan mengkhawatirkan pemungutan suara Pilkada 2020. Ada semacam kekhawatiran Pilkada 2020 akan menjadi ajang pemenuhan syarat belaka atau sekadar menggugurkan kewajiban pergantian kepala daerah sebagaimana siklus demokrasi elektoral.
Ada semacam kekhawatiran Pilkada 2020 akan menjadi ajang pemenuhan syarat belaka atau sekadar menggugurkan kewajiban pergantian kepala daerah sebagaimana siklus demokrasi elektoral.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini dalam diskusi daring baru-baru ini memberikan sejumlah catatan tentang pelaksanaan pilkada pada masa pandemi. Menurut dia, pilkada pada masa pandemi adalah bentuk ujian komitmen negara terhadap demokrasi. Apakah dengan demikian berarti menghadirkan praktik demokrasi elektoral yang bermakna ataukah sekadar terlaksana.
Baca Juga: Pilkada Berisiko Memperparah Pandemi
Jika hal-hal yang diperlukan saat penyelenggaraan pilkada dalam masa pandemi tak dimiliki, akan terdapat potensi kegagalan. Sejumlah hal yang diperlukan itu ialah ketersediaan perlengkapan kesehatan, regulasi, kesiapan petugas, kesadaran masyarakat, responsivitas, dan komunikasi publik yang jelas. Jika hal itu ada, reputasi penyelenggara, negara, dan demokrasi dalam pertaruhan. Titi mengatakan, memori kolektif soal pemilu aman yang bisa terganggu.
Dalam diskusi yang sama, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sri Nuryanti, mengatakan, agar pilkada pada masa pandemi dapat diselenggarakan dengan baik dan benar, minimal penyelenggara pilkada di 270 daerah bisa mempertahankan demokrasi di Indonesia. Agaknya, memang, ke arah target minimal itulah Pilkada 2020 dilaksanakan.