JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi belum menemukan landasan konstitusionalitas baru dalam sejumlah uji materi Undang-Undang Pemilu terkait ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Kemarin, MK menyidangkan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan oleh Muhammad Dandy, seorang mahasiswa. Sebagai pemilih pemula dari kalangan generasi milenial, ia merasa dirugikan oleh ketentuan ambang batas tersebut.
Ia meminta Pasal 222 UU Pemilu khususnya frasa ”yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya” dibatalkan.
Ini merupakan perkara keempat pengujian Pasal 222 UU Pemilu. Sebelumnya, MK telah menyidangkan permohonan yang diajukan oleh Hadar N Gumay dan kawan-kawan, Nugroho Prasetyo yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden, dan Effendi Gazali dkk.
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin hakim konstitusi Saldi Isra, Kamis (12/7/2018), di Jakarta, pemohon menilai ketentuan itu membatasi haknya untuk mendapatkan calon presiden alternatif sebanyak-banyaknya. Selain itu, ketentuan ambang batas itu masih menggunakan hasil Pemilu 2014 ketika pemohon belum memiliki hak pilih.
”Partai politik hasil pemilu 2014 tidak pernah mendapatkan mandat dari pemilih pemula yang pada pemilihan 2019 ini baru pertama kali memilih untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sehingga berpotensi hilangnya hak konstitusionalitas pemilih pemula untuk mendapatkan banyaknya alternatif calon pemimpin,” kata Unoto Dwi Yulianto, kuasa hukum pemohon.
Atas permohonan itu, majelis hakim menilai alasan konstitusional dan batu uji yang digunakan pemohon tidak jauh berbeda dengan perkara sebelumnya yang telah diputus MK, Januari 2018. MK sebelumnya menyatakan ketentuan presidential threshold tak bertentangan dengan konstitusi.
”Harapan kami sebenarnya Saudara punya argumen yang baru,” kata Aswanto.
Aswanto menegaskan, pendapat MK bukan berarti tidak bisa bergeser dari putusan sebelumnya.
”Mahkamah bisa bergeser kalau ada argumen konstitusional yang sangat mendasar yang Saudara bisa yakinkan kepada Mahkamah,” ujarnya.