Patologi Organisasi untuk Pembenahan Birokrasi
Penangkalan wabah KKN dalam organisasi harus dimulai dengan membangun pilar-pilar budaya organisasi yang kuat.
Interaksi dengan sesama guru besar di lingkungan kampus Universitas Indonesia dapat melahirkan pemikiran multidisiplin, ilmu murni, hingga terapannya dapat berbaur mulai dari rumpun ilmu kesehatan hingga sosial humaniora. Berkaitan dengan itu, penulis mencoba mengadopsi konsep patologi dalam dunia kedokteran guna upaya penyehatan pertumbuhan birokrasi di Indonesia.
KKN sulit diberantas?
Penyakit KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), termasuk pungutan liar (pungli), premanisme dan yang sejenisnya bagaikan penyakit kanker stadium empat. Pemerintah ibarat sebagai pasien dan sekaligus sebagai sutradara yang berkeinginan menyembuhkan penyakit kronis tersebut. Pemerintah pun membentuk lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberikan kewenangan khusus dan istimewa untuk memberantas KKN sampai ke akar-akarnya.
Anehnya, padahal di NKRI sudah banyak sekali lembaga penegak hukum yang mempunyai divisi khusus antikorupsi termasuk kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penegak hukum yang lain. Usaha pemberantasan korupsi juga diawasi oleh lembaga masyarakat sipil seperti ICW (Indonesian Corruption Watch), MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia).
Baca juga: Keroposnya Sendi Pemberantasan Korupsi
Namun, wabah penyakit KKN di Indonesia bukannya surut, melainkan semakin merajalela secara terstuktur, sistematis, dan masif (TSM). Karena itu, muncul anekdot sinis di publik istilah wani piro (berani bayar berapa, supaya urusan cepat beres)? Bahkan, lebih ironis, para pihak yang terlibat dalam kasus KKN justru para pejabat KPK dan beberapa pejabat aparat penegak hukum yang sepertinya masih tergoda keserakahan.
Adapun penyebab KKN yang menimpa para aparat birokrasi, politisi, pebisnis, termasuk akademisi sangatlah kompleks jika ditilik dari kacamata sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ketatanegaraan. Kasus-kasus besar skandal KKN sepertinya hukuman yang tinggi dan hujatan masyarakat tidak membuat jera sehingga perlu alat diagnosis patologi kesehatan manusia mengapa penyelewengan birokrasi pemerintah tidak surut bahkan semakin marak, amburadul, dan semrawut sehingga memerlukan usaha dan strategi yang jitu dalam tindakan penyembuhannya.
Belajar dari negara tetangga
Negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, ataupun China tidak memiliki lembaga semacam KPK secara spesifik. Namun, penanganan pemberantasan korupsi dinilai relatif berhasil. Bedasarkan pemeringkatan Indeks Persepsi Korupsi di tahun 2023 secara global dan regional, Indonesia menempati posisi 34/100.
Artinya angka 100 menunjukkan nilai yang terbersih. Singapura menempati posisi 83/100, Korea Selatan 63/100, dan China 42/100. Penanganan masalah KKN secara relatif di tiga negara tersebut telah membuahkan hasil yang positif.
Keberhasilan strategi pemberantasan korupsi terlihat dari niat dan political will pucuk pimpinan tertingginya. Bahkan, kalau terjadi peristiwa KKN yang menimpa pimpinan tertinggi presiden ataupun perdana menteri, dan para pejabat tinggi ataupun keluarganya, negara menunjukkan ketegasan dan tak segan memberikan hukuman yang sangat berat dan dipublikasikan secara terbuka sehingga bisa mendorong efek jera bagi para pelakunya. Dan warga pada umumnya supaya tidak menirukannya.
Penangkalan wabah KKN dalam organisasi memang dimulai dengan membangun pilar-pilar budaya organisasi yang kuat terlebih dahulu.
Dari ketiga negara yang telah dinilai berhasil mengobati penyakit kronis korupsi. China di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping hingga Presiden Xi Jinping telah membuktikan keberhasilan pemimpin dalam memberantas KKN dengan penataan organisasi yang sehat (clean and good governance).
Demikian juga untuk leadership pemberantasan Korea Selatan ditunjukkan oleh Presiden Park Chung-hee hingga Yoon Suk Yeol. Di Singapura, Perdana Menteri Lee Kuan Yew hingga Lee Hsien Loong sungguh-sungguh dan konsisten memberikan contoh keteladanan dan pemberian sanksi hukum yang sangat berat bagi yang melanggarnya dengan tidak pandang bulu.
Penangkalan wabah KKN dalam organisasi memang dimulai dengan membangun pilar-pilar budaya organisasi yang kuat terlebih dahulu. Setidaknya fondasi budaya kerja jujur, kerja keras, dan kerja cerdas dijadikan pijakan utama dalam membangun sikap mental warga pada umumnya. Kemudian, menerapkan sistem merit berdasarkan jenjang prestasi dalam perekrutan karyawan, hingga pimpinan organisasi baik pada sektor publik maupun pada sektor privat.
Selanjutnya, warga masyarakat hingga para pemimpin organisasi diajarkan berpikir secara pragmatis dalam perencanaan hingga dalam tindakannya. Akhlak jujur dalam berperilaku seorang pucuk pimpinan negara ucapannya harus selaras dengan tindakannya berdasarkan asas MPH (meritocracy, pragmatism, honesty).
Dalam perkembangan keilmuan administrasi publik atau manajemen sektor publik, keinginan pemerintah menerapkan berbagai cara sudah sejak lama diupayakan. Dengan membentuk lembaga KPK ataupun Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi secara khusus, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.
Berpijak pada landasan asli konsep patologi dalam konteks medis, ini merupakan studi tentang penyakit, terutama diagnosis melalui pemeriksaan jaringan, sel, dan organ tubuh secara mikroskopis serta analisis laboratoriumnya. Dengan demikian, bisa memudahkan tenaga medis untuk pencegahan dan pengobatannya.
Patologi dalam konteks organisasi atau manajemen dapat diartikan sebagai upaya mendeteksi penyimpangan atau kelainan dalam disfungsi elemen jaringan organisasi, struktur, sistem, dan strategi, hingga perilaku organisasi yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan di antara elemen-elemen utama dalam organisasi dalam mencapai tujuannya.
Baca juga: Tak Cukup Pemberantasan Korupsi
Secara praktis dalam kategorisasi ala Mc Kinsey Corporation yang memilah elemen-elemen utama organisasi dikenal sebagai elemen 7’S, yaitu strategy, structure, systems, staffs, skills, dan style (gaya kepemimpinan), dan shared values (budaya organisasi).
Ketujuh elemen ini yang seharusnya saling berkaitan, berjejaring, dan saling bersinergi. Ketidakseimbangan dalam gerakan-gerakan elemen organisasi akan menyebabkan sumbatan-sumbatan dalam mobilitas organisasi dalam penyesuaian terhadap dinamika lingkungannya.
Sebenarnya diagnosis dini penyakit organisasi dapat dilihat secara kasatmata gejala-gejalanya. Pertama, gaya manajemen para pejabatnya yang terlihat berlebihan dengan kasatmata. Misalnya, seperti tempat parkir khusus, pengawalan khusus saat bepergian, dan ruangan megah dengan fasilitas khusus.
Kedua, rendahnya keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi para pelaksana (crew) dalam menjalankan tugas termasuk dalam melayani klien atau pelanggannya.
Ketiga, perilaku anggota organisasi yang suka melanggar aturan, norma-norma organisasi (koruptif, kolutif, dan nepotisme). Keempat, ketidakdisiplinan, sering menunda-nunda dalam menjalankan tugas (malas) sehingga muncul anekdot kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah? Kelima, kurangnya kesigapan atau kelincahan (agility) para petugas organisasi dalam menjalankan tugas.
Penyakit lain yang suka mengganggu jalannya sebuah birokrasi karena munculnya gejala rasa kurang saling percaya ( utual trust) antarsesama anggota organisasi.
Penyebab lain karena adanya ketidakjelasan struktur organisasi dalam kaitannya dengan strategi yang ditetapkan, mana yang lebih tepat apakah strategy follows structure atau sebaiknya structure follows strategy? Kasus yang terjadi di Indonesia yang selalu mementingkan adanya struktur terlebih dahulu. Strategi dipikirkan belakangan setelah strukturnya terbentuk.
Penyakit lain yang suka mengganggu jalannya sebuah birokrasi karena munculnya gejala rasa kurang saling percaya (mutual trust) antarsesama anggota organisasi sehingga sering muncul istilah sikap ego sektoral dan ego sentris. Ini berakibat adanya syllo-syllo sekat dinding tembok bagian-bagian organisasi yang rapat tertutup sehingga menghambat proses komunikasi antarbidang dan antarwarga dalam organisasi.
Peluang emas
Dalam beberapa bulan ke dapan akan terbentuk pemerintahan baru yang mempunyai kesempatan emas memprioritaskan pembenahan birokrasi di Indonesia melalui strategi bertahap. Strategi jangka pendek, pertama, sebelum pelantikan jabatan presiden pada Oktober 2024, presiden terpilih sebagai pucuk pimpinan negara harus berani memberikan contoh dengan membentuk zaken kabinet yang profesional dengan menunjuk orang yang tepat di bidangnya sebagai menteri (the right man in the right place).
Kedua, merancang strategi pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh presiden secara langsung. Ketiga, memberikan tugas kepada para akademisi untuk merancang fondasi budaya yang kuat berisikan minimal asas MPH. Keempat, mempersiapkan aturan dan norma yang tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan akan dihukum seberat-beratnya jika terlibat KKN.
Strategi jangka menengah: menyesuaikan program-program kerja pemerintah di masa mendatang dengan ekosistem digital, memanfaatkan AI (artificial intelligence), mahadata untuk memudahkan dan mempercepat sistem kerja yang berkaitan dengan pelayanan publik. Mempersiapkan pendidikan talenta generasi Z dan milenial berbasis penguatan aspek STEM (science, technology, engineering dan mathematic), sesuai ketersedian bonus demografi yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini.
Baca juga: Membangun Visi Reformasi Birokrasi
Strategi jangka panjang: menyusun program kemandirian pangan, pangadaan energi yang terbarukan agar bisa menjaga pelestarian lingkungan. Meningkatkan kemampuan bersaing secara dinamis berbasis kepemilikan keunggulan komparatif (comparative advantage) memanfatkan kekayaan potensi kelautan, perikanan, perkebunan, persawahan, pertambangan, dan kekayaan alam lainnya agar dapat dihilirisasikan melalui pemanfaatan teknologi tinggi dengan memedulikan kearifan lokal yang ada.
Melalui strategi jangka pendek, menengah, dan panjang diharapkan pemerintah yang akan datang mampu merealisasikan pembenahan dan penyehatan birokrasi. Dengan begitu, diharapkan keunggulan komparatif negara kita dapat dikonversi menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan seluruh elemen negara bahu-membahu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Ini dimulai dengan contoh keteladanan presiden dalam membentuk zaken kabinet. Semoga upaya mewujudkan birokrasi Indonesia yang bersih, baik, dan berwibawa dapat terlaksana.
Martani Huseini, Guru Besar dan Ketua Kluster Center for Innovative Governance (CIGO) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia