Ketuntasan penanganan TPPO Ferienjob akan menyelamatkan harkat bangsa di mata dunia.
Oleh
ANTONIUS PS WIBOWO
·4 menit baca
Proses hukum penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) Ferienjob ke Jerman telah berjalan. Proses itu perlu terus dikawal agar menghadirkan keadilan bagi korban dan menjadi praktik baik pemberantasan TPPO di masa datang.
Setidaknya ada tiga ketuntasan yang perlu dituju: tuntas memidana semua pelaku, termasuk korporasi, membongkar jaringannya, dan mengembalikan kerugian korban melalui restitusi. Sebagaimana ditulis Kompas, TPPO Ferienjob melibatkan setidaknya lima tersangka: tiga tersangka di Indonesia yang tak ditahan, hanya wajib lapor; dan dua tersangka di Jerman yang berpotensi jadi buron.
TPPO adalah kejahatan yang hampir selalu dilakukan oleh gerombolan orang atau sindikat, yaitu perekrut, pengangkut, penampung, pengirim, dan pemakai jasa tenaganya.
Dalam praktik, kadang proses hukum terhadap sindikat tidak tuntas. Hanya sebagian tersangka menjalani proses hukum. Contoh, kasus TPPO modus usaha karaoke. Kasir badan usaha karaoke telah dipidana, tetapi pemilik karaoke belum diproses. Pada kasus TPPO modus asisten rumah tangga, majikan tak diproses, sedangkan perekrut dan penyalur sudah dipidana. Jika majikan adalah WNA di luar negeri, sungguh sulit dibawa ke proses hukum.
Kita perlu mengapresiasi Polri yang sigap dan menerapkan Pasal 81 UU No 18/2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia terhadap kelima tersangka. Ancaman hukumannya penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 15 miliar. Kementerian/lembaga terkait dan ahli hukum tersangka sebaiknya membantu Polri membawa pulang tersangka dari Jerman. Ini penting untuk menimbulkan efek jera dan rasa adil.
Selama ini, jika TPPO menyeret korporasi/badan usaha, umumnya pemidanaan terfokus pada karyawannya, sementara korporasinya tak dipidana. Sebagai contoh, TPPO dengan modus pekerja migran Indonesia dipekerjakan sebagai anak buah kapal perikanan negara lain. Ada indikasi keterlibatan korporasi, tetapi proses hukum terhadapnya minim.
Dalam kasus TPPO Ferienjob, polisi sesungguhnya sudah menyatakan dua korporasi terindikasi terlibat, yaitu PT SHB dan CVGEN. Demi keadilan untuk korban yang ribuan orang, layak dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum (APH) untuk menjatuhkan pidana kumulasi, yaitu pidana terhadap korporasi dan pengurus korporasi, bukan pidana alternatif vide Pasal 87 UU No 18/2017.
Pidana terhadap korporasi bisa meliputi pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan pelarangan kepada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Publik, khususnya para ahli hukum, dapat mengawal proses hukum terhadap korporasinya, antara lain dengan bersaksi secara prodeo membantu APH dalam penerapan sistem pemidanaan korporasi yang lumayan rumit.
Sistem itu diatur tersebar di beberapa peraturan, antara lain UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, UU No 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO, UU No 8/2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, dan Peraturan Jaksa Agung No 28/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan subyek hukum korporasi.
Ketuntasan penanganan TPPO Ferienjob akan menyelamatkan harkat bangsa di mata dunia.
Membongkar sindikat
TPPO adalah organized crime, kejahatan yang dilakukan dengan mengandalkan sindikat atau jejaring. Sindikat umumnya terstruktur rapi, tak berperikemanusiaan, dan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual orang lain. Kadang dengan beking aparat.
Sindikat sulit diungkap karena, pertama, saksi dan/atau korban tak berani bicara karena khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Kedua, saksi dan/atau korban tak tahu harus bicara kepada siapa karena tak melek hukum/pengetahuan. Ketiga, saksi dan/atau korban tak bersedia bicara karena enggan mengikuti proses hukum yang lama dan ”mahal”. Keempat, jejaring kerja sindikat sulit diidentifikasi karena begitu rapi.
Merujuk pada profil korban TPPO Ferienjob, ada harapan sindikat dapat dibongkar. Korban TPPO Ferienjob yang mayoritas mahasiswa dapat diasumsikan cukup melek pengetahuan dan hukum sehingga diharapkan berani speak up untuk mengungkapkan sindikat. APH dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan TPPO memberi peluang mengembalikan kerugian korban melalui restitusi. Restitusi bisa meliputi ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian atas penderitaan akibat langsung tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Dari pengalaman LPSK, setidaknya masih ada dua kelemahan tentang restitusi. Pertama, belum maksimalnya penerapan pidana kurungan pengganti (vide Pasal 50 Ayat 4 UU No 21/2007). Kedua, belum optimalnya pelaksanaan sita harta kekayaan terpidana (vide Pasal 50 Ayat 3 UU No 21/2007). Peningkatan komunikasi, kolaborasi, dan sinergi APH dan LPSK perlu digalakkan untuk mengatasi.
Penyitaan aset terdakwa sejak tahap penyidikan atas izin pengadilan, seperti dilakukan Polda Sumatera Utara dalam perkara TPPO Kereng Manusia di Langkat, bisa ditiru.
Ketuntasan penanganan TPPO Ferienjob akan menyelamatkan harkat bangsa di mata dunia. Berdasarkan data Polri, pada 2023 setidaknya 3.208 warga kita menjadi korban.
Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI