Tinta merah Megawati mengingatkan para hakim MK pada amanah konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
Pesan dalam artikel opini berjudul ”Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” (Kompas, 8/4/2024) disampaikan oleh seorang warga negara Indonesia bernama Megawati Soekarnoputri. Sesuai teks aslinya, pesan yang berpedoman pada Pancasila, konstitusi, dan empat kebenaran lainnya itu ditulis sendiri lewat guratan tulisan tangan dengan menggunakan tinta merah.
Tinta merah Megawati mengobarkan spirit keberanian untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran di tengah dominasi aliansi jahat (unholy alliance) antara penguasa tiran populis dengan para tokoh politik, bisnis, dan intelektual yang menyembunyikan serta menjungkirbalikkan kebenaran demi kekuasaan.
Tinta merah Megawati menegaskan adanya kegentingan yang memanggilnya terus berjuang secara beradab, sebagai sahabat pengadilan, untuk tegaknya konstitusi dan demokrasi.
Sebagai warga negara yang berpegang teguh pada Pancasila dan konstitusi, Megawati berharap kepada Yang Mulia, para hakim konstitusi, agar menjiwai spirit keberanian dan sikap kenegarawanan untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari kerusakan yang semakin parah.
Tinta merah Megawati mengingatkan amanah konstitusi bahwa sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengemban tugas mulia untuk, sesuai harapan Megawati, ”mengurai seluruh akar persoalan pilpres yang berangkat dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden”.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah praktik nepotisme yang melibatkan Ketua MK (saat itu), Presiden, dan putranya. Putusan MK itu, meminjam tesis Profesor Mark Tushnet di Harvard Law School, membuktikan praktik permainan konstitusional secara kasar—constitutional hardball (2004)—untuk melegalisasi nepotisme dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Padahal, praktik nepotisme itu sendiri melanggar Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998, UU Nomor 28 Tahun 1999, dan Ketetapan MPR VIII Tahun 2001, yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tinta merah Megawati mengetuk pintu kesadaran akal budi dan hati nurani bahwa sebagai penjaga demokrasi (the guardian of democracy), para hakim konstitusi berkewajiban untuk menyelamatkan demokrasi dari kerusakan. Seperti halnya kerusakan konstitusi, kerusakan demokrasi juga bersumber dari ”penyalahgunaan kekuasaan Presiden”.
Sejak awal, Megawati mewanti-wanti Presiden agar mengenali ”sisi gelap istana” karena kekuasaan Presiden, akibat keinginan dan hasrat yang melebihi batas-batas kewajaran, sering kali mengakibatkan lupa diri atas aturan yang wajib ditaati—melik nggendong lali, sesuai pitutur luhur Jawa.
Nasihat politik berasal tidak hanya dari Megawati, tetapi juga dari ilmuwan politik. Bersama santri terbaiknya, Saiful Mujani, R William Liddle telah memberikan peringatan bahwa ”Presiden mengesampingkan demokrasi” (Journal of Democracy, 2021). Tiga tahun kemudian, ”Presiden sangat berhasrat untuk mempertahankan kekuasaannya dengan mengorbankan demokrasi,” tulis Saiful Mujani dalam ”Explaining the Worsening Regression of Indonesian Democracy” (2024).
Pemilu 2024 menjadi titik puncak dari kerusakan demokrasi yang bersumber dari skandal ”nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.” Kekuasaan Presiden yang amat sangat besar, tanpa adanya mekanisme checks and balances yang kuat dari lembaga legislatif dan yudikatif selama bertahun-tahun, menjadi sumber kerusakan konstitusi dan demokrasi.
Saatnya kita semua terpanggil untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari kerusakan dan bahkan kepunahan. Namun, di atas segalanya, yang hari-hari ini diharapkan jadi sang penyelamat adalah Yang Mulia, para hakim konstitusi.
Tunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia, wahai Yang Mulia, spirit keberanian dan sikap kenegarawanan dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya, bukan untuk kepentingan kekuasaan, melainkan untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik sejati hak kedaulatan rakyat.
”Dengan menempatkan hak kedaulatan rakyat,” sesuai pesan Megawati dalam pendapat sahabat pengadilan yang diserahkan Hasto Kristiyanto kepada Mahkamah Konstitusi pada Selasa (16/4/2024), ”maka hakim MK juga mengabdi pada keadilan yang hakiki”.
Semoga fajar keadilan yang hakiki terlahirkan dari para hakim konstitusi yang berpegang teguh sepenuhnya pada kejernihan akal budi dan kebersihan hati nurani.