Tantangan Pencapaian Target Kekuatan Pokok Minimal TNI
Hingga awal 2024, MEF baru tercapai sekitar 65 persen. Untuk mencapai target, perlu peningkatan anggaran pertahanan.
Pada 2024 ini TNI memasuki tahap ketiga (2020-2024) penyelesaian kekuatan pokok minimal atau minimum essential force (MEF). Namun, hingga awal 2024 ini, MEF yang tercapai baru sekitar 65 persen. Lalu, apa yang menjadi ukuran keberhasilan MEF-nya?
Kekuatan militer Indonesia yang seperti apa diharapkan sudah dapat terpenuhi hingga tahap ketiga MEF pada 2024 ini?
Merujuk pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo bahwa pada 2024 ini jumlah kekuatan alutsista MEF setiap matra TNI ditargetkan harus sudah bisa terpenuhi, yaitu antara lain TNI AD dengan 723.564 senjata ringan, 1.354 meriam/roket/rudal, 3.738 kendaraan tempur, dan 224 pesawat terbang.
Untuk TNI AL dengan 182 unit KRI, 8 kapal selam, 100 pesawat udara, dan 978 kendaraan tempur Marinir. Sementara TNI AU dengan 344 pesawat tempur, 32 radar, 72 peluru kendali, dan 64 penangkis serangan udara.
Baca juga: Kemenhan Diminta Akomodasi Kebutuhan Alutsista TNI
Mungkinkah target MEF TNI ini dapat tercapai?
Sebagai pengingat, MEF mulai dicanangkan Pemerintah Indonesia pada 2007 oleh Menteri Pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono. MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis hingga 2024, terdiri dari tiga komponen postur, yakni kekuatan, gelar (persebaran penempatan), dan kemampuan.
Kebijakan MEF ini mulai diterapkan sejak 2009, terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama 2009-2014, tahap kedua 2014-2019, dan tahap ketiga 2019-2024. Tahun 2024 ini adalah akhir dari tahap ketiga dan seharusnya pencapaian MEF-nya sudah 100 persen.
Mengapa harus demikian? Karena, ternyata sejak mulai MEF tahap pertama tahun 2009 hingga 2024 tahap ketiga, kebijakan MEF selalu didukung secara konsisten oleh pemerintah melalui alokasi anggaran pertahanan di Kemenhan yang cenderung meningkat setiap tahun.
Sudah berjalan selama 15 tahun hingga kini, tetapi ironisnya banyak pihak, termasuk mantan Panglima TNI Laksamana TNI (Purn) Yudo Margono, termasuk juga Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa dan pimpinan TNI lainnya yang pesimistis bahwa target MEF pada 2024 akan tercapai 100 persen.
Salah satu argumentasi barometer ukurannya adalah karena hingga kini pencapaiannya baru 65,49 persen dari target program. Kondisi ini sering menjadi diskursus perdebatan dalam menemukan akar permasalahan sesungguhnya yang dihadapi dalam minimnya pencapaian MEF TNI ini.
Pencapaian MEF
Merujuk data yang disampaikan pada Rapim TNI tahun2023 (data masih relevan digunakan karena data yang terbaru 2024 belum dipaparkan) bahwa capaian MEF TNI ternyata baru menyentuh angka 65,06 persen. Rinciannya, TNI AD 77,38 persen, TNI AL 66,29 persen, dan TNI AU 51,51 persen.
Merujuk pada data tersebut, wajar apabila banyak pihak yang pesimistis dan menyimpulkan bahwa pencapaian MEF memang masih jauh dari target pencapaian hingga 100 persen, sedangkan waktunya hingga akhir 2024 ini sudah tinggal beberapa bulan lagi.
Kepedulian terhadap pencapaian MEF TNI tidak boleh dianggap remeh karena MEF merupakan standar kekuatan pokok dan minimal TNI yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama terlaksananya efektivitas tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual. Apalagi di tengah meningkatnya eskalasi ketegangan antarnegara saat ini.
Perdamaian yang sejati dan tenteram hanya dapat dicapai melalui kekuatan militer yang cukup untuk membendung ancaman atau serangan.
Sudah selayaknya jika kondisi minimnya capaian MEF ini mengundang partisipasi kontribusi aktif banyak pihak dan harus segera dicarikan solusinya karena prinsipnya adalah bahwa agar TNI mampu secara profesional melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya menjamin kedaulatan dan eksistensi NKRI. Maka, TNI harus dipenuhi alutsista yang dibutuhkannya (terpenuhi jumlah dan dimodernisasi alutsistanya).
Si cis pacem, para bellum. Secara leksikal mengandung makna bahwa perdamaian yang sejati dan tenteram hanya dapat dicapai melalui kekuatan militer yang cukup untuk membendung ancaman atau serangan. Fakta ini dapat dilihat dalam realitas perang Rusia versus Ukraina maupun Israel versus Hammas, terbukti bahwa keberhasilan strategi diplomasi memang harus dilengkapi dengan dukungan realitas kekuatan militer negara yang tangguh.
Belajar dari kenisacyaan perang yang kapan saja bisa terjadi, maka sangat beralasan apabila tuntutan pada urgensi modernisasi dan pemenuhan alutsista TNI adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi. Salah satu kesimpulan dari Sun Tzu, penulis The Art of War, ahli strategi perang China, bahwa pihak yang unggul dalam strategi perang modern adalah pihak yang menggunakan alutsista yang unggul jumlah dan modern teknologinya.
Di sinilah masalahnya. Apakah ada cukup tersedia anggaran negara memenuhinya?
Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah akan terus berusaha memenuhi capaian MEF TNI, tetapi mesti menyesuaikan dengan jumlah anggaran yang tersedia.
Apakah ini artinya TNI masih harus bersabar menunggu ekonomi bangsa surplus meningkat dan mapan dulu baru kebutuhan MEF-nya bisa dipenuhi? Atau memang tidak ada yang mampu berinovasi untuk pendanaan alutsista yang out of the box?
Bolehkah melibatkan partisipasi swasta atau negara kita harus sedikit dukungan ralitas kekuatan militer negara nyleneh dan terpaksa mengubah aturan netralitas (non-blok)-nya dengan bergabung dalam aliansi pertahanan? Tentu itu bukan menjadi urusan tanggung jawab prajurit TNI untuk mencari solusinya.
Bagi TNI, politik TNI adalah politik negara, TNI tidak berpolitik dan harus mengikuti keputusan negara. TNI sudah menyampaikan kebutuhan dan harapannya secara prosedural profesional, selanjutnya TNI pasti siap menyesuaikan pada apa pun keputusan negara.
Baca juga: Menjaga Anggaran Alutsista
Selain pendemi Covid-19 yang baru tuntas ditanggulangi dan menghabiskan biaya negara yang luar biasa besar dan ongkos demokrasi melalui pemilu yang juga membutuhkan biaya besar, maka kemudian wajar dan harus dimaklumi apabila banyak analis yang pesimistis MEF TNI dapat tercapai 100 persen pada akhir 2024 ini. Menurut analisis penulis, kemungkinan pencapaiannya sekitar 70 persen saja.
Besarnya kebutuhan anggaran untuk modernisasi alutsista TNI dalam MEF karena di dalamnya mencakup modernisasi, perawatan, biaya operasi, hingga operatornya. Tidak bisa dihitung hanya harga unitnya saja. Apabila tidak mau didikte dan menjadi ketergantungan, harus juga dengan transfer teknologinya.
Secara umum, anggaran militer kita masih terlalu rendah dibandingkan dengan anggaran negara maju. Negara besar/maju biasanya mengalokasikan anggaran militernya berkisar 1-3 persen dari pendapatan produk domestik bruto (PDB). Sementara Indonesia saat ini hanya mengalokasikan anggaran untuk militer sekitar 0,8 persen.
Kesimpulannya, memang diperlukan peningkatan jumlah anggaran pertahanan karena saat ini anggaran militer kita relatif masih kurang banyak.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio anggaran pertahanan Indonesia terhadap PDB pada 2022 sekitar 0,77 persen. Rasio tersebut dihasilkan dari anggaran pertahanan senilai Rp 150,44 triliun dibandingkan dengan nilai PDB Indonesia pada 2022 sebesar Rp 19.588,45 triliun.
Dengan demikian, maka menjadi tantangan kita bersama semua agar mampu meningkatkan PDB kita menjadi sekitar Rp 40.000 triliun. Inilah realitas masalahnya.
Apakah pencapaian MEF TNI memang harus sesuai hukum ekonomi, yaitu menunggu ekonomi negara menjadi surplus dulu, baru kemudian MEF-nya terpenuhi? Atau masih ada alternatif anggaran lain yang belum terpikirkan?
Di sinilah akar masalahnya. Kita membutuhkan inovasi dan pemikiran dari para ahli cerdik pandai negara ini, yang perlu kita siapkan sumber daya manusia beserta sarana pendidikannya. Investasi juga harus disiapkan pada kualitas manusia TNI beserta pendidikannya, tidak hanya pada jumlah dan modernisasi alutsistanya.
Mari kita renungkan dan pikirkan bersama solusinya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio anggaran pertahanan Indonesia terhadap PDB pada 2022 sekitar 0,77 persen.
Penutup
Dalam buku The Art Of War juga dinyatakan bahwa tidak ada siapa pun walau ahli perang sekalipun yang sanggup memprediksikan waktu yang tepat sebuah perang akan berkecamuk. Karena itu, kita harus mempersiapkannya.
Perang kapan pun bisa akan terjadi. Ironisnya bahwa alutsista tempur, seperti Dassault Rafale, yang sudah kita sepakati beli saja ternyata baru bisa tiba lima tahun kemudian.
Ternyata, memang perlu waktu yang lama untuk menyiapkan alutsista penjaga negara tercinta kita ini. Apalagi apabila ternyata kini masih menjadi polemik di Parlemen tentang perlu tidaknya prioritas alutsista yang dipersiapkan maksimal atau kepentingan lain yang malah lebih dipersiapkan.
Semoga tidak gagal paham.
Esra Kriahanta Sembiring, Kolonel TNI AU; Mahasiswa Doktoral Ilmu Pertahanan Universitas Pertahanan RI