Pelanggaran HAM Berat dan Kelompok Bersenjata
Kelompok bersenjata sangat mungkin melakukan pelanggaran HAM berat yang korbannya adalah masyarakat sipil.
Pelanggaran hak asasi manusia berat oleh kelompok bersenjata di wilayah konflik telah menjadi isu penting dalam diskursus pelanggaran HAM berat.
Selama ini, pelaku pelanggaran HAM berat dilakukan oleh aktor-aktor negara, dan belum dapat membawa kelompok bersenjata (the non-state armed group) untuk dimintai pertanggungjawabannya atas dugaan pelanggaran HAM berat.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kelompok bersenjata beroperasi di Papua, dan mungkin juga di wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Terdapat isu penting pada saat ini, yaitu apakah kelompok bersenjata, khususnya di Papua, dapat dimintai pertanggungjawaban HAM jika melakukan pelanggaran HAM berat. Penulis perlu menjawab pertanyaan tersebut melalui tulisan ini.
Baca juga : Memahami Konflik Papua dari Dalam
Dalam diskursus HAM, dikenal dan diakui adanya kelompok bersenjata ini. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menghasilkan sejumlah resolusi yang menyebutkan kelompok bersenjata mempunyai tanggung jawab HAM untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Seperti, Resolusi DK PBB Nomor 1894 Tahun 2009 yang secara jelas menyebutkan hal itu.
Dalam perkembangan diskursus HAM, kita harus mengakui terdapat perkembangan paradigma pertanggungjawaban HAM, yaitu tanggung jawab HAM (duty bearer) tak hanya dibebankan pada negara, tetapi juga non-negara, khususnya di wilayah konflik bersenjata.
Masyarakat sipil, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan perempuan, adalah pihak yang paling rentan menjadi korban pelanggaran HAM berat, khususnya di wilayah-wilayah konflik bersenjata.
Pihak lain yang perlu mendapatkan perlindungan di wilayah konflik bersenjata adalah jurnalis, pekerja kemanusiaan, dokter, pengacara, pembela HAM, dan pihak lain yang tidak terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam konflik bersenjata.
Kelompok bersenjata sangat mungkin melakukan pelanggaran HAM berat yang korbannya adalah masyarakat sipil, khususnya kelompok rentan. Untuk itu, perlu adanya pertanggungjawaban HAM kelompok bersenjata yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di wilayah konflik bersenjata.
UU Pengadilan HAM dan kelompok bersenjata
Pasal 7 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM hanya menyebutkan dua jenis pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Pasal 8 menjelaskan kejahatan genosida itu hanya ditujukan pada kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama.
Begitu juga Pasal 9 menyebutkan kejahatan kemanusiaan hanya ditujukan kepada masyarakat sipil. Artinya, kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dan penduduk sipil merupakan korban pelanggaran HAM berat yang perlu dilindungi hukum, dan di pihak lain perlu ada pertanggungjawaban dari pelaku pelanggaran HAM berat itu.
Terdapat isu penting pada saat ini, yaitu apakah kelompok bersenjata, khususnya di Papua, dapat dimintai pertanggungjawaban HAM jika melakukan pelanggaran HAM berat.
UU Pengadilan HAM menekankan pada perbuatan yang merupakan pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan. UU ini tak memberi batasan siapa saja pelaku pelanggaran HAM berat meskipun dalam praktik pengadilan HAM berat hampir seluruh pelaku pelanggaran HAM berat aktor negara.
Oleh karena itu, aktor negara atau non-negara bisa menjadi pelaku kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Kelompok bersenjata dapat juga melakukan pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelapor khusus PBB atas extrajudicial, summary or execution dalam laporannya terkait Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) sebagai kelompok bersenjata di Sri Lanka menjelaskan, LTTE punya tanggung jawab menghormati dan mempromosikan HAM karena Deklarasi Universal HAM PBB menegaskan setiap organ masyarakat mempunyai kewajiban menghormati HAM.
Jika tak menghormati HAM, LTTE sebagai kelompok bersenjata bisa dimintai pertanggungjawabannya, dan diperlakukan sama dengan pertanggungjawaban HAM aktor negara.
Laporan gabungan Pelapor Khusus PBB (A/HRC/2/7) menjelaskan, kelompok bersenjata dapat dimintai pertanggungjawaban HAM berdasarkan tiga persyaratan. Pertama, mereka punya kapasitas untuk menguasai wilayah tertentu. Kedua, mereka punya kapasitas mengontrol penduduk di wilayah itu. Ketiga, mereka punya struktur politik yang dapat secara jelas diidentifikasi.
Para ahli HAM independen dari PBB membuat pernyataan bersama atas pertanggungjawaban HAM kelompok bersenjata pada 25 Februari 2021.
Salah satu tuntutannya agar negara melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM oleh kelompok bersenjata, kemudian membawa pelakunya ke pengadilan yang independen dan imparsial. Jika terbukti, pelaku harus dihukum. Tak cukup hanya melakukan investigasi, juga harus ada upaya pemulihan terhadap korban.
Tillman Rodenhauser dalam bukunya, Organizing Rebellion: Non-state Armed Group Under International Law, Human Rights Law, and International Criminal Law, menawarkan tiga pendekatan untuk menganalisis apakah kelompok bersenjata punya tanggung jawab HAM.
Pertama, apakah kelompok bersenjata mempunyai kuasi pemerintahan di wilayah yang sedang mereka kuasai. Kedua, apakah mereka secara de facto menguasai wilayah dan pendudukan tertentu. Ketiga, apakah mereka memang eksis, tetapi tidak menguasai wilayah dan pendudukan tertentu.
Baca juga : Konflik di Papua Memanas, Komnas HAM Minta Penegakan Hukum Lebih Terukur
Dari dua analisis ini, terdapat benang merah yang dapat menjadi persyaratan untuk menuntut pertanggungjawaban HAM kelompok bersenjata atas pelanggaran HAM berat, yaitu kelompok bersenjata menguasai dan mengontrol suatu penduduk di wilayah tertentu.
Tahap selanjutnya, hal yang penting adalah adanya fakta hukum yang dapat membuktikan secara meyakinkan (beyond reasonable doubt) kelompok bersenjata melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Uli Parulian SihombingKomisioner Komnas HAM