Membaca Trilateral AS-Jepang-Filipina
Dalam konteks menghadang gerak laju China di LCS, pertemuan trilateral AS, Jepang, dan Filipina bisa dipahami.
Media internasional ramai mewartakan pertemuan tingkat tinggi tiga negara: Amerika Serikat, Jepang, dan Filipina.
Pertemuan trilateral yang diadakan di Gedung Putih, Washington DC, 11 April lalu, membahas kerja sama strategis ketiga negara dalam berbagai bidang. Sepertinya dunia tidak begitu kaget. Sebab, Jepang dan Filipina dalam sejarahnya memang memiliki kedekatan dengan AS. Tentu ada dinamika naik-turunnya. Jepang, misalnya.
Sejak kekalahannya di Perang Dunia II akibat bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang nyaris selalu dalam bayang-bayang grand strategy pertahanan-keamanan (hankam) AS di kawasan Asia Pasifik. Baru di era Perdana Menteri Shinzo Abe (2012-2020), ada pemikiran untuk meninggalkan sikap pasifis dalam kebijakan pertahanan-keamanan. Ada gelagat politik mengurangi ketergantungan pada AS di bidang hankam. Namun, kini Jepang dan AS justru sepakat mengembangkan kembali berbagai skema kerja sama, khususnya di bidang hankam.
Pun Filipina, pernah menjadi sekutu paling setia AS di Asia Tenggara. Di era Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986), AS sudah memiliki pangkalan militer di Subic dan Clark. Meski sempat terhenti di era Presiden Rodrigo Duterte (2016-2022), kerja sama pertahanan AS-Filipina kini makin berkembang. Di era Ferdinand Marcos Jr sekarang, pangkalan militer AS di Filipina justru bertambah menjadi sembilan lokasi. Di antaranya ada yang sengaja dibangun dekat Taiwan dan di Laut China Selatan (LCS).
Baca juga : Pertemuan AS-Jepang-Filipina, Arsitektur Baru Keamanan Indo-Pasifik
Turun-naiknya hubungan antarnegara jamak terjadi. Namun, tatkala tiga negara (AS-Jepang-Filipina)—yang dulu pernah bekerja sama di bidang militer—tetiba kini sepakat memperkuat kerja sama kembali, muncul pertanyaan: ada apa dengan Jepang dan Filipina? Bagaimana membaca kerja sama trilateral ini dalam konteks geopolitik Asia Pasifik?
Dinamika politik kawasan
Setidaknya ada tiga dinamika politik kawasan yang bisa dipakai sebagai landasan pijak dalam memaknai pertemuan trilateral AS-Jepang-Filipina.
Pertama, pembentukan kerja sama geopolitik strategis AUKUS (Australia, Inggris, AS). Para pengamat geopolitik internasional nyaris sepakat: niat terselubung di balik pembentukan aliansi militer AUKUS adalah untuk menghadapi kebangkitan China di LCS.
Sejak dinobatkan Bank Dunia sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2010, China pandai benar mengapitalisasi status itu untuk kepentingan ekonomi dan militer strategisnya di berbagai belahan dunia, termasuk di LCS.
AS, sebagai kekuatan yang sudah lama bercokol di Asia Pasifik (resident power), tentu gusar dengan kebangkitan ekonomi dan militer China (emerging power). Tak yakin aliansi militernya dengan Jepang dan Korea Selatan efektif membendung agresivitas China di LCS, AS melihat urgensi untuk merangkul Jepang dan Filipina. Dalam konteks menghadang gerak laju China di LCS inilah pertemuan trilateral itu bisa dipahami dalam perspektif geopolitik strategis.
Kedua, rencana NATO membuka kantor penghubung di Jepang. Kantor ini berfungsi mengoordinasikan kebijakan politik, militer, dan keamanan bersama mitranya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korsel, Australia, dan Selandia Baru.
Dari teropong geopolitik strategis, manuver NATO ini ditengarai sebagai upaya mengimbangi agresivitas China menanamkan pengaruh di Asia Pasifik, terutama di LCS. Selama ini di Asia Pasifik tak ada aliansi militer yang terlembaga atau established, seperti NATO di kawasan Eropa. Boleh jadi fakta itu yang mendorong NATO mengambil langkah antisipatif agar dapat memengaruhi dinamika politik militer di Asia Pasifik.
Patut diduga, pembukaan kantor
NATO ini memiliki keterkaitan strategis dengan aliansi militer AS, Inggris, dan Australia (AUKUS). Dan, tujuannya, lagi-lagi untuk menghadang China yang dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan sikap yang asertif dan agresif di Asia Pasifik, khususnya di LCS dan Selat Taiwan. Terhadap perilaku China seperti itu bukan tak mungkin NATO dengan AS sebagai prime-mover-nya dalam jangka panjang (entah kapan) membujuk AUKUS untuk mentransformasikan dirinya menjadi aliansi militer di Asia Pasifik, seperti NATO di Eropa.
Dalam konteks menghadang gerak laju China di LCS inilah pertemuan trilateral itu bisa dipahami dalam perspektif geopolitik strategis.
Dalam perspektif ini, kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina boleh jadi akan menjadi bagian aliansi itu. Ini akan menambah daya tekan terhadap China.
Ketiga, keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional PBB atau Permanent Court of Arbitration (PCA) 2016. Badan ini memenangkan gugatan Filipina atas klaim China di perairan LCS yang berbatasan dengan Filipina. PCA memutuskan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan klaim historis China di LCS yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) tak memiliki landasan hukum. China tak menggubris keputusan PCA.
Menyadari bahwa PCA tidak berwenang menerapkan keputusannya, China tetap melakukan patroli lautnya di perairan yang disengketakan sehingga memicu insiden dengan kapal Filipina. Mengapa China begitu asertif untuk terus melakukan patroli laut dan mengusir kapal-kapal Filipina di wilayah laut yang disengketakan? Bukankah sudah diputuskan PCA bahwa wilayah laut itu adalah kedaulatan Filipina?
Dalam teori klasik hubungan internasional, dikenal dua aliran atau school of thought dalam menyelesaikan konflik; yaitu realisme dan legalisme (Edwin D Williamson, Realism Versus Legalism in International Relations, 2002). Dalam perspektif legalisme, jelas China berada dalam posisi lemah. Sebab, PCA sebagai lembaga internasional sudah memutuskan bahwa China tak memiliki hak kedaulatan atas wilayah laut yang disengketakan dengan Filipina.
Sudah menjadi rumus kehidupan politik: jika lemah dalam hukum (legal), maka kekuatan (power) yang bicara. Penggunaan kekuatan adalah salah satu ciri pendekatan realisme. Dan, ini yang dimainkan China dalam menangani konflik wilayahnya dengan Filipina.
Dalam hitung-hitungan kekuatan politik-militer, tentu China jauh lebih unggul dari Filipina. Itu yang membuat China agresif dan asertif dalam memproyeksikan kekuatannya di LCS, khususnya terhadap Filipina. Apa hubungan agresivitas China ini dengan aliansi strategis trilateral AS-Jepang-Filipina?
Thomas Schelling, ahli hubungan internasional dari Harvard University, mengatakan dalam teori klasiknya tentang deterensi (Arms and Influence, 1966): penggunaan kekerasan dan pemaksaan secara diplomatik (dalam bentuk pernyataan) adalah cara untuk ”mengubah perilaku musuh”. Artinya, dalam situasi perang, musuh akan berpikir dua kali untuk menyerang balik jika mengetahui risiko yang akan dialami.
Baca juga : AS Peringatkan China Lewat Pertemuan dengan Jepang-Filipina
Potensi eskalasi konflik terbuka
Dalam konteks China-Filipina, China sengaja membuat pernyataan keras tidak mengakui keputusan PCA. Dibarengi pula dengan tindakan mengusir kapal Filipina dengan kekerasan dan tembakan meriam air pada Maret lalu dengan harapan agar Filipina takut untuk memasuki perairan yang diklaim China. Pada titik itu, sejatinya China sedang menjalankan teori deterensi Schelling, yaitu penggunaan kekerasan untuk mengubah perilaku musuh. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah Filipina menjadi takut?
Alih-alih menghentikan kegiatan patroli lautnya di wilayah yang disengketakan, Filipina malah bergabung dalam kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina. Meski terlalu dini untuk memprediksi terjadinya perang terbuka di LCS, konflik fisik serta insiden di laut antara China dan Filipina sangat mungkin bereskalasi. Maka, bisa dimaklumi, Filipina membutuhkan dukungan AS dan Jepang jika nanti satu saat konflik wilayah laut menjadi konflik militer antara China dan Filipina.
Teori klasik perimbangan kekuatan (balance of power) mengajarkan: adanya kekuatan pengimbang terhadap satu kekuatan yang lebih dominan akan mampu menjaga perdamaian relatif.
Seturut dengan teori itu, dukungan AS dan Jepang terhadap Filipina dalam kerangka kerja sama militer trilateral diharapkan dapat menekan potensi konflik di LCS untuk tidak bereskalasi menjadi perang terbuka. Perang harus dihindari. Sebab, perang adalah kenistaan yang mengerdilkan kemanusiaan dan menghancurkan peradaban.
Darmansjah Djumala Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran