Keputusan MK dalam sengketa hasil pilpres akan menjadi tonggak penting dalam menjaga kesadaran kita dalam berdemokrasi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 yang digelar di Mahkamah Konstitusi memasuki babak akhir. Putusan dibacakan paling lambat 22 April 2024.
Sebelum pembacaan putusan itu, para pihak yang terkait dengan perkara tersebut, Selasa (16/4/2024) ini, berkesempatan menyerahkan kesimpulan tertulis. Ini menjadi kesempatan terakhir para pihak meyakinkan hakim setelah keterangan saksi, ahli, dan bukti yang disampaikan di persidangan yang dimulai 27 Maret lalu. Sementara delapan hakim konstitusi mengisi minggu ini dengan rapat permusyawaratan hakim.
Pengalaman pemilu sebelumnya di era reformasi, rangkaian sidang sengketa hasil pemilu ini tak hanya dihiasi adu bukti dan keterangan di ruang sidang, tetapi juga perebutan opini di ruang publik. Bahkan, menjelang dan saat putusan dibacakan, biasanya ada peningkatan dinamika politik.
Rangkaian sidang sengketa hasil pemilu ini tak hanya dihiasi adu bukti dan keterangan di ruang sidang,
Namun, setelah hakim membacakan putusannya, tensi politik cenderung turun. Pihak-pihak yang terlibat akhirnya juga menerima putusan tersebut.
Kondisi ini, secara positif, dapat dilihat sebagai makin tumbuhnya kesadaran berdemokrasi di masyarakat kita. Meski mungkin tidak semuanya puas, kesadaran itu membuat putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut diterima sebagai kenyataan dalam berpolitik.
Kesadaran berdemokrasi ini juga ditunjukkan saat menyikapi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres). Polemik dan penyikapan terkait putusan yang membuat Gibran Rakabuming Raka dapat maju sebagai cawapres ini praktis dilakukan dalam koridor hukum. Misalnya, dengan membentuk Majelis Kehormatan MK, yang salah satu putusannya membuat paman Gibran, yaitu Anwar Usman, tak dapat ikut serta mengadili sengketa hasil pilpres.
Reaksi yang wajar dari tiap-tiap pihak saat menyikapi hasil penghitungan suara Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum juga mengindikasikan adanya kesadaran tentang demokrasi. Hasil penghitungan KPU ini tak berbeda jauh dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga.
Keputusan delapan hakim konstitusi dalam sengketa hasil pilpres yang akan dibacakan 22 April nanti juga akan menjadi tonggak penting dalam menjaga kesadaran kita dalam berdemokrasi. Putusan itu tak hanya akan menentukan sampai sejauh mana keadilan ditegakkan dan kredibilitas Pemilu 2024 dijaga serta bagaimana integritas MK terjaga. Namun, juga apakah pemilu lalu dan semua persoalan di dalamnya akan menjadi bagian penting dari pembelajaran bangsa ini atau hanya menjadi peristiwa biasa yang akan segera dilupakan?
Kini, jawaban atas pertanyaan itu akan ditentukan dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi yang digelar minggu ini. Apa pun putusan yang kelak mereka ambil, Pasal 24 C Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.