Momentum Rekonsiliasi Politik
Dalam sejarah, politik elektoral tak pernah membelah bangsa. Hanya gejolak politik ringan yang selalu berakhir kompromi.
Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 10 April 2024, semestinya menjadi momentum terbaik rekonsiliasi politik nasional. Hal ini penting dilakukan untuk merajut kembali kohesivitas sosial yang sempat tercabik sebagai efek dari pemilihan umum serentak yang sangat melelahkan.
Harus diakui, residu pemilu belum sepenuhnya selesai. Masih tersisa konfrontasi, kekakuan, dan bahkan ketegangan tak berkesudahan.
Gugatan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan kubu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta kubu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD menjadi penegas persaingan pilpres terus berlanjut.
Pasangan calon (paslon) nomor urut 1 dan 3 itu sedang mencari keadilan soal dugaan adanya indikasi kecurangan pilpres yang ditengarai dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) oleh tangan-tangan kekuasaan demi memenangkan paslon nomor urut 2, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Terlepas apa pun putusan akhir MK nantinya, dalam suasana Lebaran spesial, semua komponen bangsa harus kembali akur, padu, dan saling membuka diri. Idul Fitri identik dengan hari kemenangan, yakni kemenangan batiniah setelah sebulan lamanya berhasil menaklukkan amarah, hawa nafsu, dan angkara murka. Dalam konteks itulah kemudian penting rasanya di suasana yang masih suci menjadi momen silaturahmi antarfaksi-faksi politik yang mengeras.
Baca juga: Idul Fitri Diharapkan Jadi Momen Rekonsiliasi
Narasi kebencian yang mengarah permusuhan mesti diakhiri dengan saling memaafkan serta mengubur segala peristiwa politik menyakitkan. Pemilu sudah selesai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara definitif telah mengumumkan hasil resmi Pemilu 2024 yang tak bisa dibantah siapa pun.
Harus diterima dengan lapang dada. Tak ada lagi yang perlu diributkan meski pada saat yang bersamaan semua pihak harus menghormati proses mencari keadilan di MK soal perselisihan hasil pemilihan umum. Tak bisa diabaikan karena ini inline dengan hak konstitusional pihak yang merasa dizalimi.
Hak politik untuk membuktikan tuduhan adanya kecurangan pemilu yang didesain cukup rapi.
Modal sosial
Indonesia adalah bangsa yang besar dengan modal sosial memadai untuk terus tumbuh berkembang. Secara normatif, modal sosial (social capital) mengacu pada sikap saling percaya, kehendak baik, respek, rasa persahabatan, dan simpati antarindividu (Putnam, 1993).
Nilai normativitas itu sangat melekat dalam tradisi budaya politik bangsa yang secara natural menempatkan persaudaraan di atas segalanya. Tradisi memaafkan guna menjahit relasi sosial yang retak telah mendarah daging, menjadi ritual tahunan setiap Idul Fitri.
Dalam sejarahnya, politik elektoral tak pernah membelah bangsa. Hanya gejolak politik ringan yang selalu berakhir kompromi. Semua kompetisi politik diletakkan dalam konteks alamiah bahwa persoalan kalah menang perkara biasa. Bersaing sekadarnya lalu berkongsi dalam satu kolam koalisi. Praktik politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo (Jokowi) menjadi bukti sahih politik merangkul pihak yang kalah.
Pada level praktis, hilal dan modal sosial menuju rekonsiliasi kian mulai terlihat nyata. Tak lama setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres 2024, Prabowo Subianto yang ditetapkan sebagai pemenang menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Kedua sahabat lama ini tampak begitu mesra dalam suasana akrab.
Dalam sejarahnya, politik elektoral tak pernah membelah bangsa. Hanya gejolak politik ringan yang selalu berakhir kompromi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun menugaskan Puan Maharani membangun jembatan komunikasi politik dengan Prabowo, menjajaki kemungkinan kerja sama politik ke depan.
Sangat berbahaya jika elite dan akar rumput (grassroot) terjebak dalam konflik politik berkepanjangan. Tentu tidak kondusif bagi pembangunan demokrasi, juga tak produktif bagi konsolidasi bangsa. Keterbelahan politik terbukti ampuh menggerus nilai-nilai kolektivitas yang menimbulkan ekses curiga berlebihan.
Potret era pertama Jokowi berkuasa menyuguhkan kondisi politik yang terfragmentasi ekstrem. Bukan hanya kebijakan pemerintah yang hampir lumpuh di tahun pertama karena mendapat resistensi politisi parlemen, melainkan elite massa ekstra parlementer juga menunjukkan sikap ”asal bukan Jokowi”.
Oleh karena itu, pertemuan antarelite-elite kunci yang selama ini berkonfrontasi segera diwujudkan dalam suasana Idul Fitri yang suci. Isu pertemuan Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri penting direalisasikan demi menurunkan tensi politik yang panas.
Terlepas apa pun nantinya sikap politik keduanya setelah bertemu, apakah berkoalisi atau oposisi, tentu soal teknis. Sebab, kecenderungan politik bangsa bergantung pada perilaku elite. Jika elite rukun, di level konstituen pun otomatis juga akan terjadi hal serupa.
Rekonsiliasi politik
Rekonsiliasi politik identik dengan proses membangun kembali hubungan politik yang telah hancur dengan cara persuasif yang diperlukan. Rekonsiliasi dalam konteks tertentu bisa dimaknai sebagai pengampunan mengatasi emosi negatif, amarah, kebencian, dan dendam guna memelihara hubungan politik jangka panjang (Colleen Murphy, 2010).
Meski begitu, rekonsiliasi sangat tergantung pada kemauan saling memaafkan. Salah satu kunci rekonsiliasi adanya pengampunan politik dua arah menyudahi perselisihan. Pertemuan antarelite lintas kepentingan yang mulai menggeliat menjadi oase di tengah kegersangan politik yang tak menentu.
Pertemuan Prabowo Subianto dengan Surya Paloh, kehadiran Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Rosan Roeslani, ke acara open house secara terbatas Megawati Soekarnoputri, serta pernyataan PKB dan PKS yang mengklaim tak pernah punya problem serius dengan Prabowo Subianto menjadi angin segar rekonsiliasi nasional.
Tentu rekonsiliasi tak hanya sebatas hal yang sangat limitatif itu. Perlu diperluas pada elite lain yang memiliki kendala politik (psychological barrier) cukup tebal. Arti penting rekonsiliasi lebih terasa jika yang bertemu adalah elite yang nuansa permusuhan politiknya cukup kentara.
Tentu rekonsiliasi tak hanya sebatas hal yang sangat limitatif itu. Perlu diperluas pada elite lain yang memiliki kendala politik (psychological barrier) cukup tebal.
Rencana pertemuan Prabowo dengan Megawati memang penting. Sama pentingnya jika Prabowo direncanakan berjumpa dengan Anies Baswedan yang bekas luka politiknya belum terobati lantaran skor penilaian Anies ke Prabowo sangat rendah saat debat pilpres.
Pertemuan Gibran Rakabuming Raka dengan Ganjar Pranowo juga layak digelar guna merajut kembali hubungan baik ”dua saudara politik” yang saling bersaing. Rekonsiliasi politik menemukan titik puncak klimaks jika Jokowi dan Megawati membuka pintu saling memaafkan. Kembali rujuk dalam bingkai kebersamaan. Jangan ada kesan diskursus rekonsiliasi setengah hati semata pemanis panggung depan politik.
Rekonsiliasi politik bukan hanya terjadi pada segelintir elite, melainkan juga menyeluruh ke elite kunci lainnya agar suasana batin kebangsaan kembali teduh. Rekonsiliasi bukan berarti meniadakan sikap kritis, menghilangkan oposisi, dan direduksi sebatas sharing power (berbagi kekuasaan) antarpesaing.
Lebih dari itu, rekonsiliasi serupa sikap saling respek antar-eksponen politik yang berseberangan. Rekonsiliasi harus dimaknai sebagai bentuk penegasan membangun bangsa secara kolektif meski dalam posisi politik yang berbeda.
Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik, Ketua Laboratorium Politik Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta