Idul Fitri, Penyucian Diri di Tengah Risiko Bencana Ekologi
Jadikan Idul Fitri ajang penyucian diri, terutama melawan hawa nafsu keserakahan yang menimbulkan bencana ekologi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan dinamika atmosfer yang akan berfluktuasi menjelang dan sesudah Idul Fitri. Pada 10-16 April 2024 diprediksi cuaca cerah-berawan, sedangkan pada 17-23 April 2024 diprediksi kembali berpotensi hujan ringan-sedang terutama bagian utara dan tengah. Perlu juga diwaspadai potensi tumbuhnya bibit siklon tropis di Samudra Hindia.
Kondisi ini ditengarai meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti yang terjadi di sepanjang pantai utara Jawa. Harapannya, pemudik dapat berjaga-jaga bahkan untuk skenario terburuk.
Risiko bencana ini bukanlah fenomena baru. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) rutin merilis laporan setiap periode waktu tertentu dan sesuai kebutuhan. Infografis bencana tahunan BNPB terakhir merangkum data bahwa selama 2023 terjadi total 5.400 bencana alam di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 52,37 persen dibandingkan pada 2022 yang 3.544 kejadian.
Baca juga: Waspadai Cuaca Ekstrem pada Masa Lebaran
Berdasarkan jenisnya, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi bencana yang paling sering melanda Tanah Air, tercatat 2.051 kejadian. Disusul oleh cuaca ekstrem dan banjir, masing-masing 1.261 dan 1.255 kejadian.
Indonesia juga ditimpa tanah longsor sebanyak 591 kejadian. Dilanjut dengan 174 insiden kekeringan. Lalu, 31 gempa bumi dan 33 gelombang pasang dan abrasi. Selain itu, sebagai negara yang berlokasi di area cincin api, Indonesia juga mengalami erupsi gunung berapi sebanyak empat kejadian.
Profil bencana tersebut lebih dari 90 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi. Artinya, bencana yang berhubungan dengan iklim atau diakibatkan oleh aktivitas cuaca, seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembaban.
Data BMKG menunjukkan peningkatan signifikan tren bencana hidrometeorologi Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Dampak turunan dari bencana iklim ini di antaranya adalah krisis air, krisis pangan, kepunahan keanekaragaman hayati, dan merebaknya berbagai penyakit yang kian menjadi ancaman nyata bagi umat manusia.
Data di atas perlu menjadi pengingat bagi publik guna meningkatkan kewaspadaan. Namun, lebih dari itu, data terverifikasi terutama berguna bagi para pemangku kepentingan, pembuat dan pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk memastikan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana yang setiap saat mengintai.
Terlebih saat ini, ketika gelombang migrasi besar melanda masyarakat Indonesia dan mendorong mereka untuk secara sukarela menempuh perjalanan pulang ke kampung halaman demi berkumpul dengan keluarga untuk merayakan Idul Fitri. Kementerian Perhubungan memperkirakan 193,6 juta orang, atau 71,7 persen total populasi Indonesia, melakukan perjalanan mudik dan balik ke berbagai destinasi. Eksodus Idul Fitri 2024 diprediksi akan melampaui jumlah tahun lalu yang sekitar 123,8 juta orang.
Tradisi yang sempat terhenti sementara selama pandemi Covid-19 kini kembali lagi dalam skala lebih masif dan terjadi di tengah perkiraan cuaca ekstrem.
Berbagai aktivitas manusia dapat secara langsung memengaruhi tingkat keparahan kejadian bencana.
Cuaca ekstrem dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia. Penyebab cuaca ekstrem bukan hanya gejala fisika, tetapi juga karena manusia melakukan segala aktivitasnya dan kemudian terkena dampaknya.
Terkadang, aktivitas manusia dapat memperparah cuaca ekstrem, contohnya polusi udara yang berasal dari pembangkit listrik batubara dapat mengakibatkan dampak gelombang panas menjadi jauh lebih buruk. Seberapa baik ketangguhan suatu masyarakat menghadapi risiko bencana akibat cuaca ekstrem akan secara signifikan berpengaruh kepada besar/kecilnya dampak kerusakan yang ditanggung.
Peristiwa cuaca ekstrem terjadi dalam kombinasi yang kompleks—sebuah interaksi yang dibentuk oleh faktor pemicu alamiah dan akibat ulah manusia. Dalam situasi ini, tata kelola/governansi, mekanisme pasar, dan struktur pengambilan keputusan lainnya—bersama-sama dengan keterpaparan dan kerentanan masyarakat—menciptakan keterhubungan nonfisik di antara berbagai peristiwa cuaca ekstrem berikut dampaknya, baik dampak positif maupun negatif.
Berbagai aktivitas manusia dapat secara langsung memengaruhi tingkat keparahan kejadian bencana sehingga semakin memperumit putaran umpan balik (feedback loops) yang terjadi. Berbeda dengan kalangan awam yang jarang memikirkan keterhubungan antara peristiwa cuaca ekstrem dan aktivitas manusia, keterhubungan seperti ini dipertimbangkan secara saksama dalam penelitian ilmiah berbasis ilmu fisika.
Karena itulah para ahli iklim dapat menghasilkan informasi dan data yang berguna untuk memandu pengambilan keputusan mengenai perubahan iklim, sebagaimana dijelaskan oleh Raymond et al (Nature Climate Change, 2020). Mereka menunjukkan pentingnya mempertimbangkan faktor alam dan sosial secara bersamaan supaya kita bisa memahami dan menanggapi peristiwa bencana secara lebih baik dan holistik.
Selanjutnya, Fowler et al di artikel berjudul ”Intensifikasi antropogenik dari curah hujan ekstrem berdurasi pendek” (Nature Reviews Earth and Environment, 2021) memprediksi curah hujan lebat akan semakin meningkat akibat perubahan iklim, seiring dengan pemanasan global pada tingkat yang umumnya konsisten dengan peningkatan kelembaban atmosfer.
Muncul bukti bahwa intensifikasi curah hujan subharian berhubungan dengan intensifikasi banjir bandang, setidaknya di tingkat lokal. Dan, seperti sudah sering terbukti, banjir bandang yang terjadi sangat cepat hampir selalu berdampak serius bagi keselamatan nyawa dan harta yang berharga bagi manusia. Hal ini tentu memerlukan tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara mendesak dan menyeluruh.
Baca juga: Infrastruktur Hijau dan Urgensi Pertobatan Ekologis
Baca juga: Debat Cawapres Menggemakan Pertobatan Ekologis untuk Melestarikan Alam
Aksi iklim bersifat niscaya dan tak bisa lagi ditunda. Menurut laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), salah satu hambatan terbesar bagi efektifnya aksi iklim, khususnya upaya adaptasi, adalah kurangnya informasi lokal yang spesifik dan tepat waktu.
Konsistensi aksi iklim, yang berdasarkan data BMKG dan BNPB di tingkat nasional, perlu terus dilanjutkan. Otoritas keilmuan juga berpesan, kita harus mulai beranjak dari fokus pada mitigasi bencana menjadi berkonsentrasi pada adaptasi dan pengurangan risiko bencana.
Di tengah segala tantangan tersebut, berembus kabar baik yang dapat menjadi harapan untuk membendung berbagai risiko bencana akibat suhu Bumi melampaui 1,5 derajat celsius. Kesadaran krisis iklim kini tidak hanya digaungkan oleh organisasi pemerintah atau organisasi nonpemerintah yang bergiat di lingkungan saja.
Dalam beberapa tahun belakangan, berbagai kelompok agama dan kepercayaan mulai menyadari, praktik penghancuran alam dan krisis iklim telah menjadi persoalan serius yang harus disikapi. Pentingnya dukungan global dari kelompok agama untuk aksi iklim yang efektif ditegaskan oleh data Pew Research Center yang menyatakan sekitar 84 persen populasi dunia adalah penganut agama.
Sebagai tindak lanjut nyata, Paus Fransiskus mengeluarkan surat ensiklik kepausan yang menyerukan 1,2 miliar umat Katolik di dunia untuk bergabung dalam perjuangan melawan perubahan iklim. Sinode Umum Gereja Anglikan juga mendesak para pemimpin dunia untuk menyepakati arah jangka panjang menuju masa depan rendah karbon dan mengalihkan energi dari semula berbasis fosil kepada sumber energi ramah lingkungan dan berkeadilan.
Ratusan rabi Yahudi tak ketinggalan menerbitkan surat rabinik, menyusul para pemimpin Hindu, Buddha, Khonghucu yang mengeluarkan imbauan bagi komunitas mereka untuk meningkatkan aksi iklim. Terakhir, para pemuka agama Islam menyerukan 1,6 miliar Muslim sedunia untuk berperan aktif dalam jihad memerangi krisis iklim. Seruan tersebut disampaikan dalam Deklarasi Islam tentang Iklim yang diadopsi pada Simposium Perubahan Iklim Islam Internasional di Istanbul tahun 2015.
Mereka sepakat mendesak pemerintah untuk mengunci berbagai diskusi dan debat iklim yang seolah tak berkesudahan dengan kesimpulan yang adil dan mengikat, dalam sebuah perjanjian iklim global yang universal.
Para pemuka agama Islam menyerukan 1,6 miliar Muslim sedunia untuk berperan aktif dalam jihad memerangi krisis iklim.
Memasuki paruh terakhir bulan suci Ramadhan yang lekat dengan simbol solidaritas, hendaklah ini menjadi pengingat bahwa tindakan manusia secara kolektif berkontribusi terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Kitab suci Islam secara jelas menyatakan bahwa manusia ditempatkan di Bumi sebagai khalifah, dengan tanggung jawab untuk menjaga kelestarian planet ini.
Agama memiliki kekuatan untuk mendorong aksi iklim yang nyata, dan para pemuka agama memiliki peran yang signifikan, di antaranya melalui syiar agama dan teladan nyata untuk mengajak umat menjalani kehidupan beragama secara kaffah. Kesempurnaan laku beragama salah satunya ditandai dengan pemaknaan secara utuh mengenai relasi antara Tuhan, manusia, dan alam, yang dalam konsep Islam dinamakan Hablum Minallah, Hablum Minannas, Hablum Minal ‘Alam.
Mari jadikan Idul Fitri sebagai ajang penyucian diri di tengah risiko bencana ekologi. Dalam konteks ini, ungkapan selamat hari raya minal ‘aidin wal faizin menjadi sangat relevan. Minal ‘aidin memiliki arti golongan yang kembali, sedangkan wal faizin adalah kata sambung dan bermakna golongan yang menang.
Secara lengkap, arti minal aidin wal faizin adalah harapan semoga kita semua termasuk golongan yang kembali kepada fitrah kesucian dan termasuk orang yang meraih kemenangan, terutama melawan hawa nafsu keserakahan yang menimbulkan bencana ekologi.
Elis Nurhayati, Mahasiswa Program Master Kebijakan Publik Perubahan Iklim di Universitas Islam Internasional Indonesia