Infrastruktur Hijau dan Urgensi Pertobatan Ekologis
Tanpa pertobatan ekologis, pembangunan infrastruktur hijau hanya akan menjadi gimik dan proyek belaka.
Perencanaan pembangunan kota berbasis infrastruktur hijau dapat membuat sebuah kota menjadi lebih bermartabat dan ramah lingkungan. Sebab, infrastruktur hijau dapat menjadikan kota untuk bertahan dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan, termasuk dampak perubahan iklim, fluktuasi ekonomi, dan konflik sosial (Ying and Zhang et all, 2022).
Pertama, infrastruktur hijau berperan penting dalam mengurangi risiko banjir. Dengan urbanisasi yang pesat dan perubahan iklim yang semakin tak terprediksi, banjir menjadi ancaman yang semakin serius bagi banyak kota.
Namun, melalui infrastruktur hijau, seperti taman hujan, atap hijau, dan bio-swale, kota dikondisikan dapat mengelola air hujan dengan lebih efektif sehingga mengurangi risiko banjir. Sebagai contoh, program Green City, Clean Waters di Philadelphia telah berhasil mengimplementasikan proyek-proyek infrastruktur hijau untuk mengelola air hujan.
Baca juga: Memacu Ekonomi Hijau
Kedua, infrastruktur hijau juga dapat berkontribusi dalam mengatasi efek panas perkotaan. Kota-kota sering kali menjadi jauh lebih panas daripada lingkungan perdesaan karena penyerapan panas oleh bangunan dan permukaan perkotaan. Namun, dengan menyediakan ruang hijau yang mencakup taman dan vegetasi, seperti yang dilakukan dalam program Garden City di Singapura, kota dapat lebih dingin karena adanya proses evapotranspirasi.
Selanjutnya, infrastruktur hijau juga memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas udara. Pencemaran udara menjadi masalah kesehatan yang serius di banyak kota. Namun, dengan adanya ruang hijau yang dapat menyerap polutan dan menghasilkan oksigen, seperti yang dilakukan dalam program Greening London, kualitas udara dapat ditingkatkan secara signifikan.
Dalam artikel ”Infrastruktur Hijau untuk Kota kota Masa Depan” yang dipublikasikan oleh Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dikatakan bahwa Indonesia sedang merancang pembangunan infrastruktur hijau secara bertahap.
Kementerian PUPR telah melakukan berbagai langkah untuk menerapkan konsep infrastruktur hijau, termasuk pembangunan jalan tol, restorasi sungai, konversi sampah menjadi energi listrik, dan integrasi infrastruktur dengan lingkungan alam melalui pembangunan terowongan gajah. Kementerian PUPR juga berencana menerapkan teknologi hijau pada penggunaan aspal Buton dan aspal plastik untuk meningkatkan stabilitas dan ketahanan infrastruktur.
Tak hanya itu, selain fokus kepada pembangunan infrastruktur fisik, Kementerian PUPR juga memperhatikan aspek sosial dan budaya. Mereka telah membangun integrated rest area yang tidak hanya memberikan layanan bagi pengguna jalan, tetapi juga mempromosikan budaya lokal dan produk kerajinan masyarakat setempat. Pendekatan ini mencerminkan komitmen untuk tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga memperkuat identitas sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya.
Regulasi perlu diperjelas agar semua pihak sungguh dapat memegang tanggung jawab yang berkelanjutan.
Hal itu dilakukan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan tentu saja demi pertumbuhan ekonomi yang lebih laju. Namun, pada kenyataannya, pembangunan infrastruktur hijau tak luput dari berbagai permasalahan yang jika diabaikan malah akan menjadi bumerang untuk kita dan tujuan awal tak akan tercapai.
Permasalahan infrastruktur hijau
Dalam artikel ”Challenges of mainstreaming green infrastructure in built environment professions” (Adriana and Chad et all, 2020) yang dipublikasikan di Journal of Environmental Planning and Management dikatakan, setidaknya ada tiga masalah dan tantangan dalam implementasi infrastruktur hijau.
Pertama, masalah mengenai standar desain. Masalah ini menunjukkan adanya ketidakpastian yang cukup signifikan dalam merencanakan, merancang, mengimplementasikan, dan memelihara infrastruktur hijau.
Pedoman desain yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal kota serta mampu merespons ancaman spesifik dan ketersediaan sumber daya menjadi krusial dalam proses perencanaan, desain, implementasi, operasi, pemeliharaan, dan evaluasi infrastruktur hijau perkotaan.
Masalah ini memiliki banyak aspek praktis dan teknis yang juga sangat bergantung pada konteks lokal. Sebagai contoh, penghijauan trotoar di Melbourne, Australia, menjadi sangat sulit karena terkait dengan jalan dan lajur kawat listrik.
Baca juga: Meneguhkan Komitmen Masa Depan Ekonomi Hijau
Kedua, infrastruktur hijau sering kali berbenturan dengan regulasi. Bahkan, di negara-negara seperti Belanda, yang menjadi pelopor dalam penerapan infrastruktur hijau, belum ada regulasi yang cukup kuat untuk mengatur ”siapa yang berkuasa atas air”.
Oleh karena itu, regulasi perlu diperjelas agar semua pihak sungguh dapat memegang tanggung jawab yang berkelanjutan. Masalah utama dari aspek ini adalah kurangnya integrasi badan regulasi ke dalam sistem yang benar-benar menghargai kebermanfaatan infrastruktur hijau ini.
Ketiga, masalah mengenai kesetaraan (equity). Urban Land Institute (ULI) pada 2018 menegaskan kesetaraan sebagai salah satu dari 10 prinsip untuk membangun ketahanan nasional, yang menekankan pentingnya membantu komunitas yang paling rentan.
Meskipun upaya untuk mempromosikan kesetaraan sosial sering kali diikutsertakan dalam inisiatif ini, kenyataannya sering kali berbeda. Misalkan saja, daerah yang rentan terhadap banjir biasanya memang terletak di wilayah yang rendah sehingga secara obyektif daerah tersebut mudah terkena banjir mengikuti hukum alam.
Sebaliknya, misalnya, fenomena di lingkungan berpenghasilan rendah yang sering kali memiliki sedikit vegetasi dan akses terhadap ruang hijau yang memang mengakibatkan masyarakat di sana sulit meningkatkan penghasilan mereka. Inilah yang menyebabkan keadilan lingkungan sering kali menjadi isu yang perlu diperhatikan, secara khusus dalam perencanaan pembangunan infrastruktur hijau.
Tanggapan kritis
Secara umum, kita semua yakin bahwa peran infrastruktur dalam pembangunan ekonomi suatu negara sungguh merupakan sesuatu yang penting. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga dianggap sebagai stimulus untuk menghidupkan kembali perekonomian saat mengalami perlambatan pertumbuhan.
Namun, untuk memperoleh manfaat maksimal dari investasi infrastruktur, kita perlu untuk memastikan efisiensi dan transparansi dalam penggunaan sumber daya, serta memperhatikan aspek keberlanjutan. Inilah yang kerap dilupakan. Sebab, kita cenderung sibuk untuk mengabaikan etika dan bertumpu pada prinsip utilitarian semata sehingga krisis ekologi tak terhindarkan lagi.
Dalam dokumen Laudato Si, sebuah ensiklik dari Paus Fransiskus mengenai krisis ekologi, sebuah subbab berjudul pertobatan ekologis menarik untuk ditelaah lebih jauh, sebab berdasarkan dokumen itu, tanpa pertobatan ekologis, pembangunan infrastruktur hijau hanya akan menjadi gimik dan proyek belaka.
Sebab, kita cenderung sibuk untuk mengabaikan etika dan bertumpu pada prinsip utilitarian semata sehingga krisis ekologi tak terhindarkan lagi.
Pertama, dalam setiap laku pembangunan, khususnya pembangunan infrastruktur hijau, yang terpenting bukanlah berbicara mengenai ide-ide besar nan memesona, melainkan yang terpenting dan terutama adalah motivasi yang harus lahir dari dorongan batiniah ekosistem pembangunan yang mampu menyemangati dan nantinya diharapkan dapat memberikan makna kepada kegiatan individu dan komunal di mana mereka berada.
Kedua, kita semua harus sadar bahwa krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam, maka yang kita butuhkan adalah pertobatan ekologis, yang berarti membiarkan seluruh buah perjumpaan sengan semesta berkembang dalam hubungannya dalam dunia yang konkret.
Maka, perlu direfleksikan bahwa hubungan yang sehat dengan semesta merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh. Dengan demikian, dalam menjalankan laku pembangunan, setiap pihak harus mampu secara deliberatif untuk mengakui kesalahan atau kelalaiannya di dalam proses, saat, dan setelah pembangunan tersebut sehingga pertobatan ekologis sungguh terhabituasi.
Baca juga: Pertobatan Ekologis
Ketiga, akar masalah krisis ekologi dan implementasi pertobatan ekologis tidak mungkin tercapai jika hanya di tataran individu saja. Sebab, kita secara personal dapat dengan mudahnya kehilangan kemampuan untuk mengatasi pola pikir utilitarian dan akhirnya menyerah kepada konsumerisme tanpa etika.
Keempat, sikap pertobatan ini menyiratkan berbagai sikap yang bersama sama menumbuhkan semangat perlindungan kepada bumi, ibu kehidupan dan kepadanyalah kita patut berharap agar terus menghijau dan memberi kita tempat untuk hidup.
Maka, dalam merencanakan pembangunan, perlu menekankan peran sikap tobat sebagaimana yang dianjurkan Bapa Paus agar apa yang kita lakukan sungguh lahir dari disposisi batin yang bermurah hati pada alam—ekosistem pembangunan itu sendiri—dan bukan malah hanya proyek belaka.
Yogie Pranowo, Dosen Universitas Multimedia Nusantara; Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara
Instagram: yogiepranowo_