Kesalahan menempatkan kata sesuai dengan kasta dapat menyebabkan persepsi yang salah. Nilai etika patut dipertimbangkan.
Oleh
TENDY K SOMANTRI
·2 menit baca
Sudah lama frasa tewas terpanggang pada judul berita peristiwa kebakaran mengganggu imajinasi saya saat membacanya. Misalnya pada judul berita yang ditemukan pada media daring ini: ”Tragis! Jasad Ibu dan Anak Ditemukan Tewas Terpanggang”. Ratusan judul serupa dapat ditemukan di berbagai media daring lainnya. Saya merasa ada kesantunan dan rasa empati yang terganggu.
Apakah awak media tidak lagi menghargai nyawa manusia sehingga menyebutkan korban dengan frasa tewas terpanggang? Apakah mereka tidak lagi punya empati terhadap keluarga korban dengan memberi gambaran yang sadis?
Tidak adakah lagi kata yang pantas untuk dipilih? Padahal, Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Badan Bahasa menyediakan 58 kata dan frasa yang bermakna ’mati’ (tidak termasuk kata berpulang dan tutup usia).
Mutakhir, saya menemukan frasa tewas terpanggang dalam sebuah novel karya Windy Marthinda berjudul Pulang ke Rumah. Windy adalah anggota komunitas Nulis Aja Dulu di platform media sosial Facebook.
Saya menyesalkan mengapa frasa tersebut muncul dalam novel Pulang ke Rumah yang, menurut hemat saya, dapat dikategorikan sebagai bacaan remaja. Oleh karena itu, saya menyampaikan isi pikiran yang kembali tergelitik mengenai tewas terpanggang di akun grup tersebut.
Di luar dugaan, banyak anggota komunitas yang menyatakan tidak berkeberatan dengan frasa tersebut. Duh! Apakah frasa tersebut sudah menjadi kaprah? Padahal, saya merasa bahwa frasa tersebut tidak logis dengan rasa bahasa yang rendah. Ketidaklogisan frasa tersebut berkaitan dengan makna kolokasi kedua katanya.
Kata tewas bermakna ’kematian manusia karena terbunuh atau dibunuh, killed, seperti akibat bencana alam, kecelakaan, atau peperangan’. Kita tak pernah mendengar kata tewas digunakan pada hewan yang terbunuh atau dibunuh, seperti pada judul berita di sebuah media daring berikut: ”Tragis, 5 Kerbau Mati Terpanggang Hidup-hidup di Jepara”.
Sebaliknya, kata panggang biasanya hanya digunakan untuk makanan yang dimasak dengan cara dibakar dengan api ataupun bara. Makanan itu bisa berasal dari hewan, seperti ayam panggang dan panggang ikan, serta penganan, seperti ketan, kue, dan roti.
Mendeskripsikan fakta
Frasa tewas terpanggang tampaknya merupakan hasil usaha jurnalis mendeskripsikan fakta dengan beranalogi. Misalnya, pada suatu peristiwa kebakaran terdapat korban meninggal dunia dengan tubuh hangus disertai aroma daging terbakar.
Kondisi korban itu lalu dianalogikan dengan kambing guling atau ayam panggang (grilling atau roasting). Bisa juga, jurnalis mendapat fakta bahwa korban terjebak dalam satu ruangan yang terbakar sehingga menganalogikannya dengan cara memanggang menggunakan oven (baking).
Analogi dalam laras jurnalistik memang lumrah. Namun, masalahnya, apakah analogi itu tepat dan pantas untuk disampaikan kepada masyarakat?
Ada nilai-nilai etika dan estetika pada masyarakat yang patut dipertimbangkan untuk mengukur kepantasan kata analog. Nilai-nilai itu bersifat relatif dan terwujud melalui logika dan rasa bahasa. Pantas pada suatu komunitas belum tentu pantas di komunitas lain.
Frasa tewas terpanggang tampaknya merupakan hasil usaha jurnalis mendeskripsikan fakta dengan beranalogi.
Mungkin, itu sebabnya kosakata semakna, tetapi berbeda kasta bertaburan dalam bahasa Indonesia. Setidaknya terdapat tiga kasta kata yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu ragam hormat, ragam cakap, dan ragam kasar.
Kesalahan menempatkan kata sesuai dengan kasta dapat menyebabkan persepsi yang salah. Sila bandingkan kalimat Anda sudah bersantap? dengan Kamu sudah makan?
Kondisi itulah yang terjadi pada frasa tewas terpanggang dalam karya jurnalistik. Kemunculannya kerap terjadi lalu diserap masyarakat dan menjadi kaprah. Semoga frasa ini tidak diserap KBBI dan menjadi alasan pembenaran.
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung