Eliminasi TBC dan Tengkes Bisa Berjalan Beriringan
Tuberkulosis pada anak sangat erat kaitannya dengan tengkes sehingga penanganannya bisa beriringan, melalui posyandu.
Tidak semua sinergi baik, salah satu contohnya adalah sinergi penyakit tuberkulosis dan kondisi stunting yang memperparah satu sama lain.
Kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia mencapai rekornya saat ini. Berdasarkan data yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan terdapat 1.060.000 kasus baru TBC di Indonesia. Hal memprihatinkan lainnya adalah meningkatnya kasus TBC pada anak hingga 2,5 kali lipat.
Tuberkulosis pada anak sangat erat kaitannya dengan tengkes (stunting). Anak yang menderita tengkes lebih rentan tiga hingga delapan kali lipat sakit TBC. Kurangnya kekebalan karena kurang gizi membuat anak dengan tengkes lebih rentan terhadap Mycobacterium tuberculosis, kuman penyebab TBC.
Baca juga: Waspadai Peningkatan Kasus Tuberkulosis pada Anak
Saling berinteraksi
Tengkes dan TBC merupakan dua hal yang saling berinteraksi. Anak yang menderita TBC mengalami penyerapan nutrisi yang terganggu, perubahan metabolisme, dan pengurangan nafsu makan sehingga dapat menyebabkan tengkes. Adapun tengkes pada anak juga dapat memicu anak mudah sakit TBC.
Tak mengherankan jika prevalensi kedua penyakit ini tinggi. Dengan angka kasus seperti disebut di atas, Indonesia menempati peringkat kedua dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia. Untuk tengkes, angkanya mencapai 21,6 persen pada 2022, dengan satu di antara lima anak yang berusia kurang dari 2 tahun mengalami tengkes. Angka ini menjadi tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste.
Target penanganan kedua permasalahan kesehatan ini kian mendekati tenggatnya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJPMN), angka tengkes ditargetkan menjadi di bawah 14 persen pada 2024. Sementara pada 2030 Indonesia menargetkan untuk mengeliminasi TBC dan menurunkan jumlah kasus baru menjadi 65 per 100.000 penduduk.
Pentingnya penemuan kasus
Slogan yang digaungkan pemerintah, TOSS TB (temukan obati sampai sembuh) dibuat bukan tanpa alasan. Dalam penanganan TBC, pengobatan yang adekuat merupakan unsur penting. Namun, penemuan kasus juga tak kalah penting.
Kabar gembira, Indonesia berhasil mencapai notifikasi kasus tertinggi sepanjang sejarah pada 2022 dan 2023. Lebih dari 724.000 kasus TBC baru ditemukan pada 2022 dan 809.000 kasus pada 2023. Meski demikian, masih ada sekitar 32 persen kasus yang belum ditemukan, berkeliaran dan dapat menularkan ke orang lain.
Untuk mencapai eliminasi TBC pada 2030, kita tidak bisa mengandalkan penemuan kasus TBC secara pasif. Penemuan harus dilakukan secara aktif, active case finding (ACF). Tak hanya sektor kesehatan, seluruh pihak harus ambil bagian dalam pelaksanaannya.
Indonesia menempati peringkat kedua dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia. Untuk tengkes, angkanya mencapai 21,6 persen pada 2022.
Pemanfaatan teknologi juga dapat mengoptimalkan ACF. Seperti yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan dengan melakukan skriningTBC menggunakan mobile rontgen. Layanan rontgen dibawa berkeliling mendatangi tempat rentan penularan TBC, seperti permukiman padat, asrama, pasar, dan penjara.
Demikian juga dengan tengkes. Selain gangguan pada kesehatan, tengkes juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kognitif. Tengkes merupakan kondisi akumulasi dari kondisi sebelumnya, dimulai sejak calon ibu mengalami anemia dan kurang gizi, kemudian bayi kurang mendapatkan ASI eksklusif atau makanan pendamping ASI, dan saat anak balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi atau imunisasi dasar yang lengkap.
Semakin lama tidak ditangani, tengkes semakin memberikan dampak yang buruk bagi anak balita. Karena itu, penting untuk menemukan anak dengan tengkes sesegera mungkin, bahkan untuk proaktif dengan mengidentifikasi anak yang berisiko mengalami tengkes dan calon ibu atau ibu hamil yang memiliki gizi kurang.
Sekali dayung dengan posyandu
Pos pelayanan terpadu (posyandu) merupakan salah satu upaya kesehatan bersumber daya masyarakat. Posyandu dikelola dan diselenggarakan oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat. Jika dimanfaatkan dengan baik, institusi ini bisa berkontribusi dalam menangani berbagai masalah kesehatan, tak terkecuali TBC dan tengkes.
Posyandu merupakan ujung tombak pencegahan tengkes di Indonesia. Melalui berbagai program yang berfokus kepada kesehatan ibu dan anak, posyandu tak hanya menangani tengkes, tetapi juga dapat mencegah TBC.
Hal yang dapat dilakukan adalah integrasi skrining TBC dengan pelayanan posyandu. Di posyandu terdapat layanan timbang berat badan yang erat kaitannya dengan tanda dan gejala TBC. Jika ditemukan anak dengan berat badan menetap dalam dua bulan terakhir, patut dicurigai sebagai tanda dan gejala TBC.
Baca juga: Temuan Kasus Tinggi, Jateng Targetkan Eliminasi TBC
Di posyandu berlaku mekanisme empat meja dengan meja keempat untuk penyuluhan. Selain penyuluhan rutin, di meja ini anak balita dapat diperiksa tanda dan gejala TBC lainnya. Jika ditemukan gejala lain, kader posyandu dapat segera merujuk anak balita tersebut ke fasilitas layanan kesehatan untuk penegakan diagnosis.
Integrasi skrining TBC dengan layanan posyandu ini pernah dilaksanakan di Yogyakarta oleh Zero TB Yogyakarta, sebuah inisiasi di bawah Universitas Gadjah Mada (UGM). Karena masih dalam tahapan studi, integrasi ini hanya dilakukan di 20 posyandu. Zero TB Yogyakarta memberikan informasi terkait TBC dan tahapan melakukan skrining TBC kepada para kader posyandu terpilih. Studi dilaksanakan selama 10 bulan dan berhasil menemukan tiga anak balita yang terkonfirmasi TBC.
Sepintas, angka temuan tersebut terlihat tidak istimewa. Namun, jumlah posyandu di Indonesia tak kurang dari 300.000. Jika integrasi tersebut dilaksanakan secara serentak, bukan tidak mungkin hal ini menjadi kepingan yang hilang dalam upaya penemuan kasus TBC yang berkontribusi pada eliminasi TBC di Indonesia pada 2030. Lebih jauh, upaya eliminasi TBC dan tengkes akan menjadi suatu sinergi yang kuat.
Antonia Morita Iswari Saktiawati, Dokter, Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada