Peningkatan kasus tuberkulosis pada anak menjadi catatan penting bagi semua pihak untuk bersama-sama lebih serius mengatasi penyakit yang mengancam generasi masa depan bangsa ini.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Hasil rontgen salah seorang warga dalam kegiatan Active Case Finding TBC di Kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). Kegiatan penapisan tersebut sebagai upaya percepatan penemuan kasus TBC di masyarakat secara dini mengingat penyakit TBC adalah penyakit menular.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga termasuk kelompok yang rentan terhadap ancaman gangguan kesehatan dari penyakit menular tuberkulosis atau TBC yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2021, sebanyak 9,7 persen jumlah kasus TBC terjadi pada anak-anak usia 0-14 tahun.
Dari dashboard laman Tbindonesia.or.id, dalam lima tahun terakhir, tren kasus TBC pada anak 0-14 tahun juga terlihat berfluktuatif. Setelah mencapai 70.341 kasus pada 2019, penemuan kasus menurun pada 2020 dan 2021. Hal ini bisa saja terjadi akibat dampak pandemi Covid-19 yang membuat laporan penemuan kasus TBC pada anak menurun.
Pasalnya, ketika kondisi pandemi mulai melandai, temuan kasus TBC anak pada 2022 kembali naik, bahkan meningkat sangat signifikan hampir 140 persen dibandingkan dengan temuan kasus tahun 2021.
Pada 2021, kasus anak usia 0-14 tahun yang teridentifikasi TBC, yang menyerang organ tubuh berpembuluh darah, sebanyak 42.187 kasus, kemudian meningkat menjadi 100.726 kasus pada 2022.
Bahkan, sejak tahun 2019, kasus anak dengan TBC pada usia 0-4 tahun justru lebih tinggi dibandingkan dengan kasus pada usia 5-14 tahun. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih serius mengingat usia 0-4 tahun adalah usia emas bagi tumbuh kembang anak.
Apalagi, anak usia di bawah lima tahun (balita) juga rentan mengalami gangguan kesehatan akibat gizi buruk, yaitu tengkes. Faktor tengkes atau stunting ini juga perlu diwaspadai sebab bisa menjadi pemicu infeksi menular, terutama pada anak-anak di usia dini.
Demikian pula sebaliknya, anak yang mengidap TBC bisa memicu masalah gizi kronis yang berujung pada tengkes. Kedua masalah kesehatan anak tersebut perlu diwaspadai keterkaitannya satu sama lain. Hal ini mengingat angka tengkes di Indonesia juga masih menjadi persoalan kesehatan anak yang serius.
Apalagi, kasus tengkes dan TBC anak ini juga banyak terjadi di perkotaan. Di Jakarta, misalnya, tercatat ada 7.450 anak penderita TBC. Jumlah itu mencapai 16,4 persen dari total 45.320 pasien TBC yang sedang ditangani atau diobati di wilayah Jakarta.
Di Kota Yogyakarta dilaporkan kasus TBC pada anak tahun 2022 juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2021, yaitu sebanyak 133 kasus meningkat menjadi 398 kasus. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, juga mencatat 619 anak terkonfirmasi tuberkulosis sepanjang 2022. Mayoritas yang positif TBC masih berusia balita.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga bersiap menjalani proses rontgen paru dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TBC) di Kantor Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Kamis (5/1/2023). TBC merupakan penyakit yang membutuhkan proses dan waktu berkembang yang cukup lama sehingga potensi penularan semakin luas.
Berdasarkan data Kemenkes, kasus anak terinfeksi TBC justru paling banyak ditemukan di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat tercatat paling banyak penemuan kasus TBC pada anak usia 0-14 tahun, yaitu 13.922 kasus. Namun, cakupan penemuan kasus TBC pada anak di Jawa Barat sudah mencapai 90,6 persen, melebihi target 85 persen.
Temuan kasus terbanyak berikutnya di Jawa Tengah (5.121 kasus), DKI Jakarta (2.984 kasus), Jawa Timur (2.779 kasus), dan Banten (1.955 kasus). Sayangnya, cakupan penemuan kasus di empat provinsi tersebut baru di kisaran 50 persen, bahkan di Jawa Timur baru 24 persen.
Artinya, masih banyak pasien TBC anak yang belum ditemukan yang dapat menjadi sumber penularan TBC di masyarakat. Hal ini menjadi tantangan besar bagi program penanggulangan TBC di Indonesia, apalagi beberapa faktor membuat deteksi TBC pada anak lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa.
Masih banyaknya pasien TBC yang belum ditemukan atau terdiagnosis tentu akan menghambat pengobatan yang pada akhirnya menghambat tujuan eliminasi Tuberkulosis pada 2030. Apalagi, pada tataran global, kondisi TBC di Indonesia bisa dikatakan sedang tidak baik.
Menurut Global Tuberculosis Report, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tahun 2021 Indonesia berada di urutan kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti China. Kondisi yang memburuk karena pada 2020 masih berada di posisi ketiga.
Tahun 2021, kasus penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia setelah HIV/AIDS ini di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus atau (satu orang setiap 33 detik). Angka ini bahkan naik 17 persen dari tahun 2020, yaitu 824.000 kasus.
Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk. Artinya, dari 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang yang menderita TBC.
Kasus itu sebenarnya baru 45,7 persen (443.235 kasus) yang ditemukan dan dilaporkan. Lebih dari 50 persen belum terdeteksi. Kondisi tersebut menjadi alarm betapa seriusnya penyakit ini.
Apalagi, angka kematian akibat TBC ini juga meningkat 60 persen dibandingkan dengan tahun 2020 hingga mencapai 150.000 kasus (satu orang meninggal setiap 4 menit). Bahkan, kasus kematian anak akibat TBC diperkirakan mencapai 17 persen.
TBC di Indonesia menjadi ancaman serius mengingat, selain mudah menular melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya, pengobatannya pun tidak mudah dan tidak sebentar. Di samping itu, TBC yang tidak ditangani hingga tuntas juga menyebabkan resistansi obat.
Situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030, yakni target rata-rata insiden 65 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 6 per 100.000 penduduk. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, antara lain Kemenkes melakukan penapisan besar-besaran sebagai upaya deteksi dini penemuan kasus TBC.
Salah satunya dengan program TOSS, yaitu Temukan dan Obati Sampai Sembuh TBC, yang merupakan salah satu pendekatan untuk menemukan, mediagnosis, mengobati, dan menyembuhkan pasien TBC untuk menghentikan penularan TBC di masyarakat.
Khusus anak-anak, Kemenkes bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga sudah menggerakkan kampanye di sekolah untuk melawan TBC. Kampanye tersebut bernama Inisiasi Sekolah Peduli TBC, antara lain kompetisi poster digital untuk peserta didik, juga sosialisasi buku cerita anak berjudul Hore! Tibi Sembuh.
Buku cerita tersebut berisi edukasi tentang penanganan TBC pada anak, seperti cara pencegahan dan pemberian obat. Dengan kepedulian semua pihak, diharapkan target eliminasi TBC pada 2030 tercapai. (LITBANG KOMPAS)