Sikap DPR yang enggan pindah ke IKN menunjukkan ketidakkonsistenan DPR yang mengesahkan UU IKN pada 2023.
Oleh
WAHYU RZIKI FARIZMA
·3 menit baca
Pada Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, terlihat DPR mulai setengah hati untuk berkantor di Ibu Kota Nusantara (IKN). Hal ini tecermin dari usulan salah satu anggota Badan Legislasi DPR agar Jakarta dijadikan sebagai ibu kota legislatif dan selanjutnya ibu kota negara ke depan dapat dibagi menjadi tiga kluster, yaitu ibu kota legislatif, ibu kota eksekutif, dan ibu kota yudikatif.
Tentu usulan tersebut mengherankan mengingat pemindahan ibu kota negara keluar Jakarta diatur melalui UU IKN yang disahkan oleh DPR pada 2023. Dalam pembentukan UU IKN juga terkesan terburu-buru. Namun, kini dalam rapat Panja RUU DKJ, anggota Badan Legislasi DPR mengusulkan untuk legislatif tetap berkantor di Jakarta berdasarkan kekhususannya.
Usulan anggota badan legislasi ini ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri dalam rapat tersebut. Kemudian, ada usulan lagi agar pemerintah tidak usah terburu-buru membangun gedung DPR di IKN dengan alasan pemerintah dapat memprioritaskan pembangunan gedung lainnya.
Dua usulan oleh DPR tersebut seakan-akan menunjukkan anggota DPR tidak ingin cepat-cepat berkantor di IKN. Hal ini menunjukkan tidak konsistennya sikap DPR terhadap IKN. Pada proses legislasi, DPR seakan terburu-buru ingin memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan.
Namun, kini DPR seolah enggan untuk pindah dan menunda-nunda untuk berkantor di IKN. Jika memang DPR ingin berniat sepenuh hati memindahkan ibu kota negara, seharusnya DPR menunjukkan sikap yang senada dari proses pembentukan undang-undang IKN dan saat pembahasan panitia kerja RUU DKJ.
Ketidakkonsistenan DPR ini menunjukkan seolah-olah DPR masih ingin merasakan hidup tenang di Jakarta hingga ibu kota negara yang baru rampung secara sempurna. Bagaimana dengan nasib ASN yang harus terlebih dahulu berkantor ke IKN? Seharusnya DPR menunjukkan sikap yang mendukung pemindahan ibu kota ini.
Jika memang DPR merasa terdapat hal yang mengganjal terkait IKN, mengapa saat pembentukan undang-undang IKN dilakukan sangat terburu-buru. Sangat disayangkan ketika DPR bersikap demikian, IKN dibangun dengan uang APBN yang berasal dari masyarakat. Jangan seolah-olah DPR hanya ingin tinggal di Jakarta atau baru ingin pindah saat IKN benar-benar sudah rampung.
Jika memang DPR merasa ada yang janggal terhadap pembangunan IKN sehingga menunda-nunda berkantor di IKN, maka gunakanlah secara bijak hak yang dimiliki oleh DPR, yaitu sebagai kekuasaan negara yang berfungsi sebagai pengawas dalam pemerintahan.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu DPR mempunyai fungsi pengawasan. Jangan hanya DPR selalu melempar isu ke masyarakat, lalu melihat respons masyarakat terkait isu tersebut.
Konstitusi tidak membagi ibu kota negara berdasarkan kluster kekuasaan suatu lembaga negara.
Masyarakat seolah hanya dilibatkan pada pelemparan isu saja untuk melihat reaksi masyarakat di lapangan. Namun, saat ingin membuat kebijakan, masyarakat selalu dilupakan dalam pembentukannya. Peran serta masyarakat sangat penting dalam perumusan kebijakan dalam negara ini. Seperti halnya pembuatan UU IKN yang sangat terburu-buru dan kini DPR seperti enggan untuk berkantor di ibu kota baru.
Kluster kekuasaan
Pemisahan ibu kota negara berdasarkan kluster kekuasaan bukan suatu hal yang baru di dunia. Afrika Selatan memiliki tiga kluster ibu kota yang didasarkan pada kekuasaan. Namun, hal ini kurang cocok jika diterapkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dan besar.
Tentu dengan adanya pembagian ibu kota ini akan menambah biaya dan masuk ke dalam APBN. Dikhawatirkan ini akan menjadi celah korupsi bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain dapat menjadi celah korupsi, pemisahan ibu kota ini tidak sejalan dengan konsep negara kesatuan yang dipegang Indonesia. Sebagai negara kesatuan seharusnya pusat pemerintahan berada di suatu daerah yang sama, yaitu ibu kota negara.
Konstitusi pun menyatakan beberapa kedudukan lembaga negara berada pada ibu kota negara dan konstitusi tidak membagi ibu kota negara berdasarkan kluster kekuasaan suatu lembaga negara. Tentu ide yang diusulkan oleh DPR ini dianggap bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.
Ide yang inkonstitusional ini juga bukan menjadi suatu hal yang mendesak di Indonesia. Masih banyak hal yang perlu dibenahi dan dibahas untuk masa depan Indonesia. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat seharusnya dapat lebih paham untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia.
DPR jangan hanya memberikan pendapat bahwa gedung DPR saat ini masih layak untuk digunakan dan tidak ada urgensi untuk memindahkan DPR ke ibu kota baru. Jika memang demikian, seharusnya DPR tidak perlu mengesahkan UU IKN jika masih memungkinkannya Jakarta untuk menjadi ibu kota negara secara infrastruktur dan fasilitas negara.
Wahyu Rziki Farizma, Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Sumatera Barat