Pemindahan IKN sangat kompleks dan berdampak sistemik karena menyangkut pemindahan semua lembaga negara.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·4 menit baca
Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara jauh lebih kompleks dan berdampak sistemik, melampaui pembuatan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan perubahannya—UU No 21/2023—pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta, serta percepatan pembangunan fisik, investasi swasta nasional, dan asing.
Kompleksitas dan dampak sistemik tersebut berasal dari hakikat lembaga-lembaga negara yang mendapat kewenangan dari UUD NRI Tahun 1945. Lembaga negara tersebut ada 10, yakni Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Sentral RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedudukan ke-10 lembaga negara tersebut sudah diatur dalam undang-undang masing-masing, yakni di ibu kota negara RI, kecuali lembaga kepresidenan yang belum diatur eksplisit karena belum ada UU Lembaga Kepresidenan. Namun, secara akal sehat, tafsir konstitusi, dan praktik penyelenggaraan negara yang lazim, kedudukan presiden dan wakil presiden pasti juga di ibu kota negara.
Meskipun penulisan pada setiap undang-undang bervariasi, kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut merujuk suatu daerah tertentu yang menjadi ibu kota negara. Bahkan, pada Pasal 23G UUD NRI Tahun 1945 disebutkan, ”BPK berkedudukan di ibu kota negara,…”. Ini akan menjadi masalah paling pelik ketika pemindahan ibu kota dilakukan segera ke daerah bernama Nusantara, sedangkan BPK masih berkedudukan di Jakarta karena landasan hukumnya bukan hanya undang-undang, melainkan konstitusi.
Dengan UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 61 Ayat 1 bahwa ”MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.” Ketentuan lebih ketat muncul untuk DPR pada Pasal 76 Ayat 3 bahwa ”Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara RI” yang dipertegas dalam penjelasan pasal tersebut bahwa ”Selama menjadi anggota DPR, yang bersangkutan harus berdomisili di ibu kota negara RI untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas penuh waktu”. Selanjutnya, Pasal 293 Ayat 3 bahwa ”Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai penugasan DPD”.
Bersifat mutlak
Bukan hanya lembaga perwakilan yang dipilih rakyat melalui pemilu, lembaga pemegang kekuasaan kehakiman juga berkedudukan di ibu kota negara. Pasal 24 Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta MK.
Selanjutnya, UU No 14/1985 tentang MA Pasal 3 menyatakan, ”MA berkedudukan di ibu kota negara RI”. Lalu, UU No 24/2003 tentang MK Pasal 3 juga menegaskan, ”MK berkedudukan di ibu kota negara RI”. Kemudian, KY yang ditetapkan dengan UUD Pasal 24B juga kedudukan di ibu kota negara RI (Pasal 3 Ayat 1 UU No 18/2011 tentang Perubahan UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial).
Bank sentral diatur dalam Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945. Pasal 4 UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia dinyatakan Bank Indonesia adalah bank sentral RI. Pasal 5 menegaskan BI berkedudukan di ibu kota negara RI.
Seluruh lembaga negara yang ditetapkan kewenangannya oleh UUD (10 lembaga) wajib berkedudukan di ibu kota negara.
Bahkan, seperti disebut di atas, kedudukan BPK di ibu kota negara RI ditetapkan dalam UUD Pasal 23G Ayat 1. Lalu, dipertegas dalam UU No 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 3. Penyelenggara pemilu, yakni KPU, juga ditetapkan UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 8 Ayat 1 untuk berkedudukan di ibu kota negara RI.
Dengan demikian, semua lembaga negara yang ditetapkan kewenangannya oleh UUD (10 lembaga) wajib berkedudukan di ibu kota negara. Berkedudukan itu berarti berkantor tetap lengkap dengan pegawai dan perangkat kerja sehari-hari. Berkedudukan itu juga bermakna kantor pusatnya berada di ibu kota negara, seperti BPK.
Bahkan, bagi DPR berkedudukan di ibu kota negara juga bermakna bertempat tinggal, khususnya bagi anggota DPR. Dalam UU MD3 diatur DPR sebagai lembaga dan himpunan anggotanya. Karena itu, ada wewenang, tugas, dan hak-hak DPR sebagai lembaga. Lalu, ada pula hak dan kewajiban selaku anggota DPR. Konsekuensinya, pengusulan, pembahasan, dan pengambilan keputusan di DPR menuntut lembaga dan anggota DPR berkedudukan/berdomisili di ibu kota negara RI.
Konsekuensinya, pemindahan ibu kota menuntut pemindahan seluruh lembaga negara, termasuk penyediaan tempat tinggal bagi seluruh anggota DPR. Penyediaan kantor 10 lembaga negara, perangkat, pegawai pendukung sistem, dan domisili (utamanya anggota DPR) justru bersifat mutlak karena merupakan konsekuensi dari amanat konstitusi dan beberapa UU. Pemindahan ibu kota tidak hanya menuntut pembentukan kawasan inti pusat pemerintahan karena bukan hanya pemerintah (presiden) yang berkedudukan di ibu kota negara.
Pemindahan ini tidak hanya menuntut kecukupan anggaran, tetapi juga lebih dari itu ketersediaan lahan, air bersih, pengamanan, dan beragam fasilitas kehidupan. Di sisi lain, jika pemindahan 10 lembaga negara dilakukan, perlu dipikirkan penanganan bangunan dan fasilitas ke-10 lembaga negara tersebut, termasuk khazanah (kekayaan negara berupa emas) bank sentral.
Kompleksitas dan dampak sistemik itu menjadi pengingat para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan untuk bijaksana, tidak terburu-buru, berpikir komprehensif, dan menyiapkan plan B, baik dalam menyusun regulasi, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan program maupun dalam penerbitan keputusan presiden untuk jadwal pemindahan ibu kota.