Momen Ramadhan jadi sarana untuk menjaga tradisi kuliner lokal yang sarat filosofi budaya lokal dan nilai keislaman.
Oleh
FADLY RAHMAN
·3 menit baca
Pada 6 Desember 2023, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO mengakui Ifthar atau buka puasa selama bulan suci Ramadhan—yang diusulkan oleh Iran, Turki, Azerbaijan, dan Uzbekistan—sebagai Warisan Budaya Takbenda. Buka puasa dinilai oleh UNESCO sebagai sarana ”memperkuat ikatan keluarga dan komunitas serta mendorong amal, solidaritas, dan pertukaran sosial”.
Di beberapa negara Muslim, buka puasa lazimnya ditandai dengan makan kurma dan teh. Akan tetapi, menu takjil berupa kudapan dan minuman di berbagai negara bisa sangat beragam tergantung kepada tradisi kuliner di setiap negara, tidak terkecuali Indonesia yang memiliki kekayaan kuliner yang memengaruhi pula corak tradisi puasa di berbagai daerah.
Puasa selama bulan Ramadhan ditandai dengan praktik menahan lapar dan haus yang dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Praktik ini pertama kali berkembang seiring dengan sejarah islamisasi di kepulauan Nusantara berabad-abad lampau.
Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Arab. Namun, menariknya, istilah yang umum digunakan masyarakat Muslim untuk praktik menahan diri tidak makan dan minum sebagai rukun Ramadhan sejak dahulu adalah puasa, bukan shiyam atau shaum (Arab).
Arkeolog RA Kern dalam De Islam in Indonesië (1947) mengungkapkan bahwa praktik pantang makan dan minum di Nusantara telah ada sejak masa pra-Islam. Istilah ”bulan puasa” (Vastenmaand) yang galib digunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia, ujarnya, berasal dari bahasa Sansekerta.
Dalam karya Kern lainnya, Verspreide geschriften (tulisan-tulisan yang tersebar, 1922), disinggung kata poewasa sebagai turunan dari kata upavasa. Kata ini ditemukan oleh ahli bahasa Sansekerta, Theodore Benfey (1866), di dalam naskah Ramayana yang kemudian ia masukkan menjadi salah satu lema dalam kamus susunannya Sanskrit-English Dictionary (1866) dan diartikan sebagai fasting.
Meskipun pada masa pra-Islam pengaruh India belum terasa di luar Jawa, kata ’puasa’ lekat dengan ’bulan Ramadhan’ di kalangan umat Islam Nusantara. Kern mencatat bahwa bagi masyarakat Muslim Indonesia bulan puasa selalu ditunggu dengan gembira. Puasa adalah bulan ketika orang-orang merasakan kemuslimannya dan menjalankan kewajiban agamanya dengan penuh kegembiraan.
Jika di dunia Arab menu puasa seperti takjil identik dengan kurma, di Indonesia takjil sangat beragam tergantung dengan budaya kuliner lokal di setiap daerah.
Kegembiraan itu tampak dari berbagai tradisi yang melekat selama Ramadhan. Di dalam budaya Sunda, misalnya, ada istilah populer: ngabuburit. Di Kamoes Basa Soenda (1948) karya R Satjadibrata ada lema ngaboeboerit yang memiliki arti: ”djalan-djalan di waktoe boerit, saméméh boeka poeasa” (jalan-jalan di waktu sore, sebelum buka puasa). Ketika waktu ngabuburit ini, di rumah-rumah para ibu menyiapkan takjil berupa makanan manis, seperti kolak, kipo, kicak, dan surabi.
Dalam buku De Voeding in Nederlandsch-Indië (1904), CL van der Burg menyinggung tentang tren makanan di bulan puasa di Hindia Belanda yang banyak menggunakan gula untuk membuat aneka jenis kudapan. Paling banyak dicari adalah gulali yang dibuat dengan mencampurkan larutan gula dalam air lalu kadang-kadang orang mencampurkannya dengan jahe dan gula jawa.
Momen Ramadhan tanpa disadari menjadi sarana untuk menjaga tradisi kuliner lokal yang sarat akan filosofi budaya lokal berpadu dengan nilai-nilai keislaman, semisal menu takjil favorit, kolak, yang dihubung-hubungkan oleh masyarakat Islam Nusantara dengan pengagungan terhadap Khalik, sang pencipta. Jika di dunia Arab menu puasa seperti takjil identik dengan kurma, di Indonesia takjil sangat beragam tergantung dengan budaya kuliner lokal di setiap daerah.
Sebuah ungkapan menarik tentang tradisi kuliner puasa dicatat oleh Syamsul Mu’arif dalam artikelnya ”Catatan Kecil di Sekitar Ramadhan dan Idul Fitri” di majalah Media Karya edisi Mei 1988: ”Hampir menjadi tradisi di setiap rumah tangga ummat Islam yang menunaikan ibadah puasa, untuk menyajikan makanan dan minuman yang lebih enak, lebih bervariasi dan lebih aduhai. Anjuran seperti itu sebetulnya tidak ada. Mungkin asal muasalnya hanya berlatar belakang selera dan rasa pada siang hari saat puasa tersebut, di mana semua makanan dilihat serba enak”.
Karena bulan puasa di Indonesia identik dengan urusan perut, dalam perkembangannya selera masyarakat pun turut berubah seiring dengan pesatnya laju industri makanan. Berbagai produk makanan dan minuman yang diproduksi secara massal oleh para produsen pabrikan semakin banyak beredar di masyarakat.
Ketika memasuki bulan puasa, para produsen itu banyak mengiklankan produk-produk mulai dari sirup, minuman penyegar, biskuit, dan mi instan untuk menggoda mereka yang berpuasa. Lambat laun, kehadiran produk-produk itu mulai mengubah selera masyarakat terhadap aneka kuliner lokal Indonesia yang sejak lama telah menjadi bagian dari menu Ramadhan. Ini juga menunjukkan, jika tidak diantisipasi, jerat industri makanan bisa memutus keberlanjutan tradisi kuliner lokal yang sekian lama telah melekat dalam tradisi puasa di Indonesia.
Jika UNESCO telah mengakui tradisi ifthar dalam bulan suci Ramadhan sebagai Intangible Cultural Heritage, sudah sepatutnya pula ada perhatian untuk menjadikan tradisi puasa dengan segala pernak-perniknya di Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda. Dari istilah ”puasa” yang berakar dari masa pra-Islam, lalu budaya-budaya lokal yang hanya muncul saban puasa seperti ngabuburit, hingga kekayaan kuliner di berbagai daerah yang identik dengan menu puasa, terkandung jejak-jejak historis tradisi khas puasa Indonesia yang harus diselamatkan sebagai warisan budaya bangsa.
Fadly Rahman, Dosen di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran