Suara Jernih dari Lapangan Pendidikan
Terkait kebijakan pendidikan, kita berharap pemerintah peka dalam mendengar suara yang jernih dari lapangan pendidikan.
Salah satu upaya yang saya lakukan ketika melakukan riset adalah membaca berbagai komentar di media sosial pada tema riset yang sedang didalami. Dengan membaca komentar di media sosial, saya membaca ”kenyataan-kenyataan” yang dipaparkan oleh netizen atau warganet dari beragam latar belakang.
Namun, apakah itu merupakan ”kenyataan” sesungguhnya, atau ”kenyataan” yang dikonstruksi di media sosial semata?
Membaca komentar warganetdi media sosial dapat menjadi salah satu ikhtiar untuk memilah ”kenyataan” dalam kehidupan keseharian yang diunggah oleh berbagai pihak dengan perspektif dan pengalaman mereka masing-masing.
Ada ragam ”kenyataan” yang dapat dilihat dalam berbagai unggahan di media sosial. ”Kenyataan” versi sang pengunggah dengan ”kenyataan” versi warganet melalui komentar-komentarnya bisa sahut-menyahut dan menimbulkan koherensi, tetapi juga bisa berkontradiksi.
Jika kita coba cek unggahan dari lembaga-lembaga pemerintah, akan dengan mudah didapat komentar dari warganet baik yang pro dan kontra, komentar menghibur, maupun komentar yang tidak berhubungan sama sekali (misal jualan pemutih kulit atau obat diet). Jika menggunakan terminologi Peter L Berger dan Thomas Luckmann, terdapat construction of reality yang coba dibangun oleh masing-masing pihak terhadap isu-isu yang muncul.
Baca juga: Kuasa Bahasa di Media Sosial
Misal dalam konteks pendidikan, bisa kita cek unggahan dari akun Instagram resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan akun pribadi Mendikbudristek. Dua unggahan tersebut jika dibagi akan berisi kebijakan, program, dan aktivitas atau praktik seputar dunia pendidikan. Hal yang menjadi menarik adalah menilik apa yang diunggah dengan komentar yang warganetsampaikan.
Unggahan warganetbisa jadi konter atau dukungan terhadap kebijakan pemerintah. Dan, keduanya adalah ”kenyataan” yang didasarkan kepada pengalaman masing-masing setiap individu.
Pihak pendukung, berbasis pengalaman kesehariannya merasa kebijakan yang dirilis negara berpihak pada mereka sehingga mereka perlu memberikan argumen dukungan. Sementara para pengonter berkukuh bahwa kebijakan pemerintah masih jauh dari ”kenyataan” keseharian, yang juga berbasis pada pengalaman mereka sehari-hari.
Meski, kenyataan yang dikonstruksi tersebut, di era media sosial, juga sering kali dibelokkan oleh para pendengung di media sosial, dengan ragam propaganda yang cenderung menyesatkan. Di posisi ini para pembuat kebijakan perlu bijak untuk menilai mana yang kenyataan yang dibangun oleh situasi yang benar-benar ”nyata” berdasarkan hal-hal yang bersifat empirik.
Jika berkaca kepada konteks kebijakan pendidikan, berfokus kepada para warganetyang menyuarakan konter menjadi sangat penting. Hal ini untuk memperhatikan lebih presisi kebijakan pendidikan yang diidealkan oleh para pembuat kebijakan belum operasional di level implementasi.
Misal, jika pemerintah menyatakan Kurikulum Merdeka, dengan basis data dan riset yang dilakukan sudah memerdekakan pendidikan, maka perlu diverifikasi secara mendalam apakah hal tersebut adalah kenyataan keseharian yang juga dialami oleh mereka yang ada di lapangan pendidikan. Jika ada keriuhan kontra di media sosial, ”kenyataan” yang dirasa oleh pembuat kebijakan sudah ideal, perlu dicek kembali lebih saksama.
Jika menggunakan terminologi C Wright Mills dalam karyanya The Sociological Imagination ada yang disebut ”the personal troubles of milieu” and ”the public issues of social structure”.
Misal, jika dalam penerapan Kurikulum Merdeka Belajar ada sedikit guru yang mengalami kesulitan mengimplementasikan dalam pembelajaran, itu adalah masalah pribadi (personal troubles). Namun, jika ada banyak guru yang mengalami kesulitan, hal tersebut merupakan isu publik (public issues) yang artinya harus diperbaiki melalui kekuatan struktural atau kebijakan.
Jika sedikit guru yang merasa terbani secara adminsitratif untuk mengisi aplikasi Platform Mereka Mengajar (PMM), bisa jadi itu persoalan personal. Namun, jika banyak guru yang mengeluh, pemerintah perlu lebih bijak menyikapinya sebab itu adalah isu publik.
Jika berkaca kepada konteks kebijakan pendidikan, berfokus pada para warganet yang menyuarakan konter menjadi sangat penting.
Jika itu dikeluhkan di berbagai kanal media sosial, pemerintah dapat menggunakan kekuatan struktural yang dimilikinya untuk memverifikasi hal tersebut secara lebih mendalam. Dengan demikian, dapat diperoleh data-data akurat tanpa polesan, dan tentu saja dengan berbasis data tersebut dapat dilahirkan kebijakan yang tepat.
Pemerintah memiliki kekuatan struktural untuk mengubah ragam kebijakan yang memperhatikan keberagaman kondisi pendidikan di Indonesia. Jika para guru masih gagap teknologi, fokuslah kepada isu tersebut, apakah infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menyeluruh atau masih belum memadai?
Jika para guru masih kesulitan dalam perkara substansi materi pembelajaran, fokus pada isu mendasar tersebut, misal dengan lebih memperhatikan proses pendidikan di banyak kampus lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), misalnya. Jika persoalannya pada perkara administrasi, lihat kembali apakah janji minim administrasi yang selalu digaungkan justru kontra dengan kenyataan sehari-hari karena justru guru terjebak untuk mengisi soal-soal administrasi ketimbang memperhatikan anak-anak didik secara menyeluruh.
Dalam konteks tersebut, pemerintah tidak perlu menegasikan pendapat yang kontra. Telisik pendapat-pendapat kontra tersebut karena hal tersebut merupakan bagian dari ”kenyataan” yang dialami oleh subyek-subyek tersebut. Telaah mengapa mereka mengalami persoalan dan bantu mereka untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab, tujuan utama kebijakan pendidikan adalah menyeluruh dan menyentuh hajat hidup orang banyak.
Dalam konteks pendidikan, upaya pencerdasan melalui kebijakan Merdeka Belajar harus mampu menjangkau seluruh kelompok, termasuk mereka yang kontra atau juga mereka yang merasakan ”kenyataan” berbeda dari apa yang digaungkan oleh pemerintah yang selalu menyatakan keberhasilan kebijakan baru ini.
Dalam upaya menyelesaikan setiap problem yang hadir di ruang pendidikan, pemerintah tidak perlu berupaya menampilkan pengaturan kesan (impression management), mengutip pemikiran Erving Goffman, yang selalu positif dan seolah tak ada masalah dalam ruang kebijakan ini. Padahal, misalnya, jika kita daftar ada banyak kompleksitas dan problematika mulai dari terbatasnya akses bagi kelompok marginal, perundungan dan kekerasan seksual di ruang pendidikan, tertinggalnya kelompok marginal dalam memanfaatkan TIK, dan masalah lainnya.
Baca juga: Ambisi Teknologi Pendidikan Kita
Oleh sebab itu, tak perlu terjebak pada glorifikasi penuh keberhasilan yang dihasilkan oleh satu kebijakan dalam rentang yang singkat. Sebab, keberhasilan penyelesaian masalah pendidikan adalah gotong royong panjang yang dilakukan oleh berbagai pihak di waktu kini dan lampau.
Jika basisnya mengedepankan citra, atau dalam bahasa Goffman pengaturan kesan, kita akan selalu terjebak pada bias-bias keberhasilan yang semu atau sortiran ”kenyataan” yang hanya mendukung keberhasilan kebijakan. Efeknya, problem-problem keseharian pendidikan yang dihadapi oleh para guru yang hadir di garda depan pendidikan akan cenderung dengan mudah dinegasikan.
Ketika para guru menyatakan kesulitan melalui cuitan di media sosial, pada kolom-kolom komentar di media sosial, maka ada yang bermasalah di ruang aktual pendidikan. Mereka butuh pertolongan dari pemerintah yang memiliki kekuatan struktural, dan pertanda bahwa mereka butuh ditemani lebih intensif untuk mendidik anak-anak bangsa.
Kita tentu berharap pemerintah memiliki kepekaan dalam mendengar suara yang jernih dari lapangan pendidikan. Dengan demikian, pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang jelas berpihak kepada kelompok marjinal sebab berpijak pada ”kenyataan” keseharian yang dihadapi oleh mereka.
Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN