Tanpa ikhtiar bersama untuk merawat demokrasi, ia bisa rusak dan bahkan mati di tangan tiran.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Demokrasi sedang berada di titik nadir. Kita tersadarkan di ujung ketika kerusakan demokrasi hampir sempurna. Ia dirusak secara sistematis oleh mereka yang profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt kategorikan sebagai democracy’s assassins (2018).
”Para pembunuh demokrasi,” kata dua profesor Harvard itu, ”menggunakan pelbagai institusi demokrasi untuk membunuhnya secara gradual, halus, dan bahkan legal.” Mereka kuasai wasit, ubah aturan hukum, tekan pesaing politik, dan mobilisasi sumber daya negara untuk kemenangan politik elektoral. Pemilu, yang disertai dengan politik uang yang telah merusak tatanan nilai dan moral masyarakat kita, menyempurnakan tragedi ”kematian demokrasi di Indonesia,” seperti disuarakan oleh Profesor Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Kompas.com, 14/3/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kematian demokrasi layak didakwakan sepenuhnya kepada para pembunuhnya. Mereka memang tak pernah punya visi demokrasi dan hanya membajaknya untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan semata sambil membunuh substansi dan norma demokrasi yang tak tertulis.
Namun, kita juga perlu mawas diri. Hampir sembilan tahun terakhir ini, kita, terutama kaum intelektual, agamawan, dan masyarakat sipil, tertidur lelap seolah-olah masih hidup normal di alam demokrasi sambil membiarkan kekuasaan untuk berjalan nyaris tanpa mekanisme checks and balances. Dengan terbuka dan sembunyi, tak sedikit di antara mereka malah menikmati aliansi jahat (an unholy alliance) dengan kekuasaan yang hegemonik. Saat terbangun, mereka akhirnya menyadari bahwa demokrasi telah rusak dan mati.
”Mereka yang tertidur di alam demokrasi,” kata Otto Gritschneder (1914-2005), ”mungkin akan terbangun dalam kediktatoran.”
Perlunya mawas diri itu terkait dengan penerimaan kita terhadap demokrasi secara taken for granted. Sikap ini mengakibatkan kita lupa diri tentang tanggung jawab bersama untuk mempertahankan dan merawat demokrasi agar ia tetap bisa hidup, tumbuh, dan berkembang secara sehat (a healthy democracy).
Tanpa ikhtiar bersama untuk merawat demokrasi, ia bisa rusak dan bahkan mati di tangan tiran. Kematian demokrasi terjadi di Jerman ketika Adolf Hitler meraih kekuasaan melalui mekanisme demokrasi pada tahun 1933, tetapi ia akhirnya membunuh demokrasi dan memuja nazisme dan fasisme setelah berkuasa. Dalam The Death of Democracy (2018), Benjamin Carter Hett melaporkan secara detail proses naiknya Hitler ke tampuk kekuasaan hingga kejatuhan Republik Weimar.
Kematian demokrasi di Jerman yang berakhir pada nazisme dan fasisme mengirimkan pesan penting kepada kita semua: jangan pernah menganggap demokrasi secara remeh! Ia bisa mati, perlahan atau cepat, akibat sikap umum kita yang memperlakukan demokrasi secara taken for granted.
Thomas Mann, peraih Nobel Sastra tahun 1929 dan novelis Jerman terkemuka, memperingatkan masyarakat Amerika bahwa ”demokrasi harus mengesampingkan kebiasaan menganggap remeh, melupakan diri sendiri” (self-forgetfulness). Peringatan penting ini disampaikan pada 1938 setelah Mann melarikan diri dari tragedi nazisme Jerman dan hijrah ke Amerika untuk memberikan kuliah serial tentang The Coming Victory of Democracy (1938).
Apa yang terjadi 78 tahun kemudian? Peringatan Mann itu terbukti benar pada tahun 2016 dengan jatuhnya demokrasi Amerika ke tangan seorang tiran populis bernama Donald Trump. Tirani adalah ancaman nyata bagi tegaknya republik demokratis yang dikhawatirkan oleh James Madison dan Alexander Hamilton dalam The Federalist Papers.
Meskipun ditopang dengan konstitusi yang menjunjung tinggi kredo kebebasan dan kesetaraan, tingkat pendidikan dan kesejahteraan warganya yang relatif bagus, kelas menengah yang kuat, dan tradisi demokrasi yang teruji ratusan tahun, demokrasi akhirnya mengalami kemunduran yang terburuk dalam sejarah panjang Amerika dan populisme otoriter justru sedang meningkat di Amerika dan negara-negara Barat, seperti dalam studi Pippa Norris dalam artikel ”Authoritarian Populism is rising across the West” (The Washington Post, 11/3/2016) dan buku yang ditulis bersama koleganya, Ronald Inglehart, Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism (2019).
Kita perlu mewaspadai fenomena bahwa kematian demokrasi di Indonesia justru diiringi dengan kebangkitan populisme otoriter. Populisme yang berkelindan dengan kepemimpinan otoriter menandai era pemimpin populis (the age of populist leader).
Ia beretorika populis—”saya, dan saya sendiri, merepresentasikan rakyat” (Jan-Werner Müller, 2016)—untuk melegitimasi gaya pemerintahan yang merakyat sambil berperilaku otoriter untuk membunuh demokrasi.
Di tengah gelombang populisme otoriter yang memprioritaskan keamanan dan ketertiban di satu sisi dan pelbagai kebijakan populis di sisi lain, kita harus melibatkan diri secara aktif untuk mewaspadai bahaya populisme otoriter bagi keberlangsungan republik ini sambil menghidupkan dan menumbuhkan kembali kepercayaan publik pada terwujudnya republik demokratis yang bersendikan supremasi hukum.