Akar kejahatan yang merusak sendi dan tatanan republik berasal bukan dari luar, melainkan dari dalam diri bangsa.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
”Yang Mulia Tuan-tuan Hakim! Sekarang aku sedang siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku: Hanya ada satu tanah air yang disebut Tanah Airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”
Pleidoi Indonesia Merdeka yang diucapkan pada 22 Maret 1928 oleh Mohammad Hatta, seorang mahasiswa berusia 26 tahun di Rotterdam, Belanda, dan akhirnya terbebas dari hukuman Tuan-tuan Hakim, mewariskan inspirasi dan harapan kepada kita untuk mencintai dan menjaga tanah air Indonesia dengan usaha dan amal, jerih payah dan perbuatan, agar republik ini terselamatkan bukan hanya dari cabang-cabang kejahatan (the branches of evil), melainkan juga dari akar kejahatan (the root of evil).
Dari Concord, Massachusetts, Henry D Thoreau, yang menjalani hidup sederhana di Walden Pond selama dua tahun, dua bulan, dua hari—4 Juli 1845 dan 6 September 1847—mengingatkan bahwa ”ada seribu orang yang memangkas cabang-cabang kejahatan, sementara hanya satu yang menyerang akarnya”.
Republik ini memanggil kita untuk berkiprah sebagai penyerang akar kejahatan—rootstrikers, karena pelbagai cabang kejahatan itu bersumber dari akarnya. Akar kejahatan yang merusak sendi dan tatanan republik berasal bukan dari luar, melainkan dari dalam diri bangsa.
Tirani adalah akar kejahatan yang bersemayam dalam diri bangsa, yang dipertunjukkan selama bertahun-tahun dan berulang kali oleh penguasa melalui praktik akumulasi kekuasaan secara tiranik.
”Akumulasi seluruh kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—berada di tangan yang sama, baik di tangan satu, beberapa, atau banyak, dan baik yang bersifat turun-temurun, yang ditunjuk sendiri, atau yang dipilih secara elektif,” kata pendiri Amerika, James Madison, dalam The Federalist Papers No 47, ”dapat dinyatakan secara tepat sebagai definisi tirani.”
Dengan akumulasi kekuasaan pada diri sendiri yang ditopang sepenuhnya dengan kekuatan elite politik dan oligarki, tiran merobek-robek jiwa dan tatanan republik demokratis yang diwariskan oleh ibu dan bapak pendiri bangsa. Tirani kekuasaan bekerja secara halus di hampir semua penyelenggaraan negara. Mandat konstitusi untuk penyelenggaraan pemilihan umum secara jujur, adil, dan demokratis telah dibajak secara sembunyi dan terbuka untuk melanggengkan kekuasaan.
Situasi inilah yang dipotret secara tepat oleh Profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di Universitas Harvard dalam karyanya, How Democracies Die (2018): ”The tragic paradox of the electoral route to authoritarianism is that democracy’s assassins use the very institutions of democracy—gradually, subtly, and even legally—to kill it”.
Pekerja menyiapkan proyek pembangunan Monumen Soekarno-Hatta di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (12/12/2023). Agung Sedayu Group membangun monumen Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia Soekarno-Hatta di kawasan PIK 2. Monumen ini memiliki tinggi 12 meter dengan pedestal setinggi 5 meter.
Terinspirasi atas usaha dan amal Hatta pada tanah air Indonesia, bukan pada anak, keluarga, dan kepentingan oligarki, setiap warga bertanggung jawab untuk menyelamatkan dan menjaga republik dari tirani.
Usaha pertama ditempuh dengan menegakkan supremasi hukum sebagai fondasi utama bagi tegaknya republik. Tidak ada republik demokratis tanpa aturan hukum. Di tengah meluasnya penyalahgunaan hukum sebagai senjata politik (political weapon) untuk menekan pesaing politik di satu sisi dan untuk menahan sekelompok elite sebagai ”tahanan politik” di sisi lain, republik ini harus disandarkan kembali pada aturan hukum yang independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan.
Usaha lanjutan untuk menjaga republik dari tirani adalah dengan mengajak setiap warga untuk percaya kembali pada kebenaran di tengah gelombang post-truth. ”Jika tak ada yang benar,” kata Timothy Snyder dalam On Tyranny (2017), ”maka tak seorang pun dapat mengkritik kekuasaan karena tak ada basis untuk melakukan kritik pada kekuasaan. Jika tak ada yang benar, semuanya hanyalah tontonan.”
Saatnya kita terpanggil untuk memercayai kebenaran dan menyuarakan kebenaran secara tegas pada kekuasaan—speaking truth to power, kata Edward W Said dalam pidatonya—Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures (1994).
Usaha terakhir untuk menjaga republik dari tirani adalah dengan memperjuangkan kebebasan sebagai hak natural setiap manusia. Sebab, ”jika tak satu pun di antara kita yang siap mati demi kebebasan,” pesan Timothy Snyder (2017), ”maka kita semua akan hidup di bawah tirani.” Hidup di bawah tirani sarat dengan politik ketakutan, intimidasi, dan teror.
Setiap warga memiliki kebebasan penuh untuk memperkaya usaha dan amal guna menjaga republik dari bahaya tirani. Setiap usaha dan amal menjadi setitik sumbangsih bagi tegaknya republik demokratis.