Pemerintah harus bekerja keras menyejahterakan rakyatnya sehingga mereka tak perlu bertaruh nyawa di negeri asing.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Migrasi atau merantau merupakan sifat dasar manusia modern (Homo sapiens). Dulu nenek moyang kita meninggalkan Afrika timur menuju berbagai penjuru dunia.
Dalam teori ekonomi pembangunan, fenomena migrasi yang di dalamnya, termasuk urbanisasi, mendapat perhatian besar. Orang bermigrasi karena mengharapkan penghasilan atau hidup lebih baik di tempat anyar. Warga desa pindah ke kota berharap mendapat upah lebih besar di sektor manufaktur di perkotaan ketimbang bertahan sebagai petani di kampungnya. Meski lowongan di sektor manufaktur terbatas dan lebih banyak perantau yang akhirnya bekerja di sektor informal (pedagang kecil, buruh bangunan, dan lain-lain), urbanisasi terus terjadi. Warga desa melihat masih lebih baik bekerja di sektor informal di kota ketimbang tetap menjadi petani.
Harapan akan hidup lebih baik turut memicu kejahatan perdagangan orang. Berduyun-duyun warga Indonesia pergi ke Malaysia dan negara lain untuk bekerja. Mereka merasa kesulitan mencari pekerjaan di Tanah Air sehingga berangkat ke negeri orang. Tak sedikit yang terjebak dalam jeratan mafia perdagangan orang. Perempuan dari Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur yang bekerja secara ilegal di negara lain pulang dalam kondisi tak bernyawa. Hak mereka diabaikan, tersiksa di negeri asing. Rantai perdagangan orang ini melibatkan berbagai pihak.
Perdagangan orang dipicu kebutuhan akan kehidupan yang lebih baik dan kebutuhan akan tenaga kerja di negara tujuan. Seperti ditulis Kompas.id pada Rabu (20/3/2024), Pemerintah Indonesia mendapati ”magang” yang janggal di Jerman. Mahasiswa Indonesia diiming-imingi magang, tetapi ternyata bekerja betulan. Pekerjaan yang dijalani bersifat fisik, seperti menangani bagasi di bandara dan mengantar paket. Ada dugaan, penipuan dilakukan selama perekrutan di Tanah Air.
Masih tentang harapan akan hidup lebih baik, kita tak boleh melupakan pengungsiRohingya. Kemarin, kapal berisi puluhan warga Rohingya tenggelam di perairan Aceh. Sebelumnya, rangkaian perahu berisi pengungsi Rohingya telah datang ke Aceh.
Warga Rohingya ”terusir” dari Myanmar terutama setelah tahun 2017. Saat itu, Pemerintah Myanmar berupaya mengakhiri perlawanan milisi, tetapi berdampak pada warga sipil Rohingya. Lebih dari 700.000 warga etnis ini mengungsi ke Bangladesh. Setelah itu, berkali-kali warga Rohingya berusaha masuk ke negara lain, seperti Malaysia dan Indonesia.
Kenyataan tetap tak mudah. Penolakan dihadapi warga Rohingya di negara tujuan. Sejauh ini, hanya spontanitas kemanusiaan yang menyelamatkan warga Rohingya.
Dari semua itu, tampak jelas betapa penting pemerintah sebuah negara bekerja keras menyejahterakan rakyatnya sehingga mereka tak perlu pergi ke negeri asing untuk mencari nafkah atau sekadar mempertahankan hidup, seperti pengungsi Rohingya. Di sisi lain, tak usah ragu memberi bantuan kemanusiaan meski kita tetap harus mencari jalan keluar permanen dalam isu migran Rohingya yang pelik itu.