Politik lebih banyak dipahami hanya sebagai cara mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Salah satu isu politik saat ini terkait posisi Presiden Joko Widodo setelah 20 Oktober 2024. Setelah memimpin Golkar, kini ada wacana memimpin koalisi.
Wacana memimpin koalisi ini diawali pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. Ia mengatakan, semestinya Jokowi berada di atas semua partai politik (parpol). Untuk itu, ia mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi parpol yang memiliki kesamaan visi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Terlepas dari berbagai pendapat yang kemudian muncul, wacana pentingnya koalisi besar di pemerintahan bukanlah hal baru. Tahun 2010, Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono membentuk sekretariat gabungan partai politik pendukung pemerintahannya. Yudhoyono menjadi ketua sekretariat gabungan, Ketua Umum Golkar (saat itu) Aburizal Bakrie menjabat ketua harian, dan fungsionaris Partai Demokrat Syarif Hasan menjadi sekretarisnya.
Parpol anggota sekretariat gabungan menguasai 423 dari 560 kursi di DPR atau sekitar 75,5 persen kursi DPR RI. Sekretariat gabungan dimaksudkan sebagai wadah parpol anggota koalisi untuk membicarakan sejumlah isu. Dengan cara ini, koalisi pemerintahan diharapkan lebih efektif.
Istilah sekretariat gabungan tak ada dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, Jokowi juga membentuk koalisi parpol pendukung pemerintahannya. Sebelum Pemilu 2024, dari sembilan parpol pemilik kursi di DPR RI, hanya dua parpol, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, tak masuk dalam parpol anggota koalisi pemerintahan Presiden Jokowi. Kini, Partai Demokrat masuk dalam koalisi.
Jokowi juga membentuk koalisi parpol pendukung pemerintahannya.
Khususnya selama periode kedua pemerintahan Jokowi, besarnya koalisi pendukung pemerintahan ini berperan besar dalam mendukung lancarnya pembahasan sejumlah UU, seperti UU Cipta Kerja, UU KUHP, dan UU Ibu Kota Negara.
Dalam sistem presidensial, agar dapat menjalankan pemerintahannya secara efektif, presiden memang membutuhkan dukungan yang kuat dari parlemen. Untuk itulah, koalisi parpol pendukung pemerintahan dibutuhkan.
Namun, selain untuk lancarnya pemerintahan, pembentukan koalisi juga patut diduga dihiasi kepentingan pribadi para elite politik yang ada di dalamnya. Akibatnya, koalisi yang terbangun cenderung tak permanen, tak ideologis, dan mudah terombang-ambing kepentingan politik.
Dengan pertimbangan itu, sulit membayangkan misalnya wujud koalisi seperti yang disebut Grace Natalie. Pasalnya, masih sulit memastikan kekuatan politik Jokowi setelah tak lagi menjabat presiden dan kepentingan praktis para elite politik saat itu.
Namun, hal yang pasti, sejumlah wacana politik belakangan ini menunjukkan politik Indonesia belum banyak berubah. Politik lebih banyak dipahami hanya sebagai cara mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan.
Di tengah kondisi seperti ini, rakyat mesti lebih aktif menjaga hak-haknya sebagai warga negara. Caranya, antara lain, dengan mengawal rekapitulasi suara Pemilu 2024.