Persoalan demokrasi kita hari ini berakar dari persoalan kualitas pendidikan. Di sisi lain, peran "influencer" menguat.
Oleh
UBAIDILLAH
·3 menit baca
Di balik semakin menguatnya peran pemengaruh (influencer) dalam politik Indonesia, ada kesenjangan literasi dasar yang perlu ditanggapi secara serius untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Kesenjangan literasi dasar itu mencakup literasi membaca dan menulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta literasi budaya dan kewargaan.
Meski internet memungkinkan tiap orang untuk mengakses informasi dari sumber-sumber otoritatif, tetapi kemampuan untuk mengolah semua informasi tersebut tidaklah merata. Pada titik ini, kesenjangan digital hanya memperdalam kesenjangan pendidikan di Indonesia dalam berbagai ranah dan level.
Kita bisa melihat data stagnasi hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (Programme for International Student Assessment/PISA) selama dua dekade meski ada peningkatan akses belajar siswa Indonesia (Kompas, 5/12/2023). Untuk literasi membaca saja pada 2000 Indonesia berada di angka 317 dan 2022 skornya masih berada di angka 359. Untuk penilaian 2022 ini, Indonesia menduduki peringkat 68 dari 81 negara yang disurvei.
Berangkat dari trajektori skor literasi tersebut, kita bisa membayangkan bagaimana pemilih-pemilih pada Pemilu 2024 ini mengolah kompleksitas adu gagasan para calon presiden dan wakil presiden di berbagai bidang kenegaraan dan analisis para ilmuwan dan pakar yang harus diakui merupakan kelompok elite dalam struktur masyarakat. Dari langgam bahasa yang digunakan saja, masyarakat akar rumput dan kelompok elite memiliki karakteristik yang memerlukan jembatan baru, yang akhirnya dijembatani oleh para pemengaruh melalui berbagai kanal digital.
Pemengaruh ini mengisi kesenjangan epistemologi dari dua kelompok tersebut dengan menawarkan penyederhanaan informasi atau bahkan mengubah informasi menjadi persuasi emosional. Oleh karena itu, kita dapat melihat masing-masing tim pemenangan capres-cawapres memiliki orang-orang popular yang memiliki kemampuan artikulasi yang baik di depan kamera. Peningkatan podcast atau endorsement politik yang belakangan terjadi pun sebenarnya dapat dilihat sebagai upaya mengisi kesenjangan tersebut.
Kompetensi berdemokrasi
Internet pernah dirayakan karena dianggap dapat mendeliberasi demokrasi di dunia sesuai yang diidamkan Jürgen Habermas. Pola-pola mediasi membuat Hindmann (2009) memandang secara pesimis bahwa demokrasi digital itu terasa seperti mitos selalu didominasi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan deliberative yang tinggi.
Pandangan Hindmann ini seperti mengulangi pertanyaan Gayatri Chakravorty Spivak, can the subaltern speak, di era digital? Perubahan hanya terjadi pada titik pergantian aktor seturut perkembangan mutakhir dari internet itu sendiri. Hindman menuliskan pernyataan itu dalam ulasan mengenai blogger-blogger politik di Amerika Serikat. Indonesia baru mengalami siginifikansi peran kelompok tengah ini pada era influencer.
Prospek peningkatan kualitas politik Indonesia menuju demokrasi deliberatif perlu menengok kembali landasan teoretik yang digunakan Habermas (1984) dalam mengajukan proposisi itu agar terlihat relevansinya dengan kondisi literasi dasar kita sekarang. Habermas membangun prospek politik tersebut di atas teori tindakan komunikasi yang mengandaikan posisi setara antar-partisipan dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu melakukan uji validitas secara intersubyektif.
Personalisasi politik mengubah relasi masyarakat dan pemimpin politik tidak berada dalam spektrum kewarganegaraan yang kritis dan dialektik.
Penarikan simpulan dalam diskursus ini dilakukan dengan dasar kesadaran dan kemampuan melampaui subyektivitas diri dan mempertimbangkan orang lain. Kompetensi komunikasi demikian yang menyanggah kehidupan demokrasi mampu mewujudkan kebaikan publik dan terhindar dari godaan dari totaliterianisme.
Pada konfigurasi teoretik demikian, kita memahami bahwa mengapa personalisasi politik, baik terjadi di tingkat elite maupun akar rumput, disebut dapat merusak demokrasi. Personalisasi politik mengubah relasi masyarakat dan pemimpin politik tidak berada dalam spektrum kewarganegaraan yang kritis dan dialektik. Masyarakat berubah menjadi pengikut yang memahami realitas bernegara dalam rasionalitas pemujaan.
Pengkultusan sosok politik ini yang akhirnya menimbulkan polarisasi di tubuh masyarakat. Masyarakat yang terpolarisasi hanya akan menciptakan ruang gema (echo chamber) di ruang-ruang daring dan hal ini menandakan internet secara kontra-produktif dari kemungkinan deliberatif yang dimilikinya.
Kembali ke dasar masalah
Konfigurasi teoretik Habermasian juga mengandaikan bahwa demokrasi dapat berlangsung dialogis tatkala para pihak dalam struktur masyarakat itu telah mampu mengakses dan menginterpretasi informasi dari sumber pertama. Kompetensi tersebut yang membuat kelompok subaltern dapat mengargumentasikan diri mereka sendiri atau kelompok-kelompok elite memiliki integritas moral untuk mendengarkan kelompok subaltern dalam bahasa mereka sendiri.
Singkat kata, kedua belah pihak memiliki kemauan dan kemampuan intersubyektif. Upaya mengembangkan kultur politik intersubyektif ini memerlukan “memenangkan Indonesia” sebagai sebuah norma bersama sebagaimana disampaikan KH Mustofa Bisri pada Konferensi Besar Nahdatul Ulama 2024.
Persoalan kemampuan berpikir, menginterpretasi pesan, komunikasi, sampai norma kewargaan ‘memenangkan Indonesia’ adalah masalah literasi dasar. Persoalan demokrasi kita hari ini berakar dari persoalan kualitas pendidikan.
Perbaikan tata kelola politik elektoral, hukum, maupun pemerintahan memang harus terus dilakukan. Namun, kita harus mulai melihat peningkatan kualitas substansi pendidikan sebagai investasi berharga untuk meningkatkan demokrasi Indonesia. Terlebih, Indonesia menganut one man one vote, yang sama saja memandang tiap warga negara berhak atas pencapaian rasionalitas yang optimal dalam menjalankan tanggung jawabnya menentukan arah bernegara.
Apabila direfleksikan dengan pendapat Mohammad Hatta dalam ‘Demokrasi Kita’ yang menyebut syarat utama untuk menjalankan demokrasi adalah keinsafan tentang tanggung jawab dan kesediaan hati untuk melaksanakan prinsip the right man in the right place, berarti demokrasi kita menganut meritokrasi radikal. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Indonesia menyiapkan tiap warga negara menjadi the right man bagi demokrasi melalui pendidikan.
Ubaidillah, Koordinator Tim Riset Keterlibatan Politik Digital Generasi Z, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)