Mahkamah Konstitusi, Pemutus Perselisihan Hasil Pemilu
Kegiatan penyelenggaraan pemilu sesungguhnya tidak dan bukan sekadar hasil penghitungan suara dan pemenang terpilih.
Di hari-hari mendatang, dalam waktu dekat ini, banyak perhatian dan pandangan akan segera beralih ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena hanya di situlah penyelesaian perselisihan terkait pemilihan umum akan berujung.
Di lembaga itulah penyelesaian atas semua penilaian dan ketidakpuasan terkait dengan penyelenggaraan pemilu bermuara: diadukan dan mesti berakhir di situ. Mengapa di MK? Hal itu sesuai dengan amanat konstitusi.
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengatur: ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Mengapa soal ini sebaiknya disimak? Memang tersurat sederhana dan ringkas di situ, tetapi soal ini akan berkaitan dengan rentang dan spektrum tafsir, terutama dalam kaitan dengan frasa ”perselisihan hasil pemilihan umum”.
Kalau kata ”hasil” mengacu pada pengertian atau dimaknai sebagai akhir dari rangkaian pemilu, bukankah itu berarti sekadar akhir dari penghitungan/perolehan suara dan soal siapa yang keluar sebagai pemenang terpilih?
Kegiatan penyelenggaraan pemilu sesungguhnya tidak dan bukan sekadar hasil penghitungan suara dan pemenang terpilih, melainkan lebih luas dari itu.
Kalaupun nanti MK berpendapat demikian dan tak menerima atau menolak pengajuan perselisihan di luar koridor pemahaman di atas—artinya yang tidak/bukan berkaitan dengan soal sekitar penghitungan/perolehan suara, dan tidak/bukan berkenaan dengan pemenang terpilih—tidakkah MK boleh, benar, dan tidak melakukan kekeliruan apa pun?
Dengan berkukuh pada tafsir tersebut, para hakim MK bisa menyatakan kepada khalayak bahwa mereka kini memegang teguh ketentuan dan telah berjalan dalam koridor UUD.
Para hakim MK ini sebelumnya banyak dicibir terkait moralitas dan integritas mereka, pascaputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan/atau wakil presiden.
Ketegasan mereka dalam melaksanakan Pasal 24C UUD 1945 akan benar-benar menjadi pembuktian integritas mereka, sebagaimana langkah mereka ketika terakhir MK memutuskan melakukan pengujian terhadap UU Pemilu dalam kaitan dengan ambang batas parlemen. Suatu keputusan yang disambut baik oleh para pegiat demokrasi.
Rentang kegiatan pemilu
Jika MK dengan cepat dan ringkas menyatakan tidak menerima, menolak, dan menyatakan perselisihan di luar soal penghitungan dan pemenang ”case closed”, bagaimana kita menyelesaikan kehebohan yang melanda sendi-sendi penting atau bahkan utama dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan seperti terjadi akhir-akhir ini?
Kegiatan penyelenggaraan pemilu sesungguhnya tidak dan bukan sekadar hasil penghitungan suara dan pemenang terpilih, melainkan lebih luas dari itu. Pengaturan, persiapan, tata cara, hingga kegiatan pelaksanaannya adalah bagian dari proses penyelenggaraan pemilu.
Seperti pada kegiatan lain, apa pun, sering terdengar ungkapan (dan dibenarkan) bahwa tidaklah baik dan tidak pantas apabila hasil dibiarkan menghalalkan cara.
Bilamana hal itu diterima, lantas bagaimana keriuhan di sekitar kecurangan penghitungan dan rekapitulasi, soal intimidasi/campur tangan aparat pemerintah/penegak hukum, politik uang, dan pembagian bansos, yang semuanya terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum dan dinilai merusak prinsip ”bebas, rahasia, jujur, dan adil” (Bab VIIB Pasal 22E UUD) disikapi?
Mungkin tidak mudah atau bahkan sulit untuk menghadirkan yang namanya bukti atau saksi, dalam kondisi yang bernuansa penyalahgunaan kekuasaan, tetapi semua itu hidup dalam perasaan dan memori masyarakat.
Tidak ’fair’ membiarkan para hakim MK dianggap pongah seakan mereka dewa penentu tafsir UUD.
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan laku kekuasaan tadi, pernyataan begitu banyak sivitas akademika yang diikuti oleh mahasiswa sangat layak pula untuk disimak. Penilaian mereka, yang berkisar pada segi moral dan etika yang ditinggalkan dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam pembinaan kehidupan berdemokrasi, menunjukkan sesuatu yang tidak pas dalam penyelenggaraan pemilu.
Ada yang kurang pas dalam kehidupan bangsa ini. Penilaian para akademisi tersebut terlalu berlebihan jika dianggap artifisial. Mereka bereaksi pasti karena sesuatu sebab yang mereka pandang nyata dan merisaukan.
Pertanyaan yang melingkupi: apa dan ke mana jejak imbauan dan pernyataan tadi, yang kini mereka rasakan bagai hilang tanpa jejak dan menguap di ruang hampa? Persoalan yang mereka nilai telah menimbulkan kerisauan yang luas dan mendalam di kalangan akademisi. Jika itu dianggap sekadar sebagai hak berdemokrasi yang harus dihormati, bagaimana dan di mana masalah mendasar ini memperoleh penyelesaian?
Dalam kaitan dengan permasalahan penyelenggaraan pemilu, tidak berlebihan apabila frasa ”perselisihan hasil pemilihan umum” juga dimaknai hingga menjangkau aspek-aspek yang lebih luas dari sekadar penghitungan suara dan penentuan pemenang terpilih berdasar penghitungan suara itu saja.
Pembinaan kebersamaan, kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa yang sangat majemuk ini mesti diutamakan dari sekadar soal teknis penghitungan suara dan keterpilihan pemenang sebagai hasil pemilihan umum.
Ilustrasi/Supriyanto
Perlu kearifan
UUD pasti mesti dihormati. Itu kewajiban seluruh bangsa dan organ negara, berikut seluruh perangkatnya.
Tak perlu pula lantas melompat dengan pemikiran memperbaiki (Pasal 24C Ayat 1 ) UUD. Terlalu jauh dan tak perlu. Namun, yang juga dibutuhkan adalah keterbukaan pikir dan hati yang dingin untuk menakar bahwa bagian dari rumusan Pasal 24C UUD yang menyangkut ”perselisihan tentang hasil pemilihan umum” sebenarnya mengandung isi dan lingkup yang lebih lebar.
Jika makna kata ”hasil” tidak selalu dianggap ujung akhir, apalagi melegalkan setiap laku penyelenggara kekuasaan, sebaiknya kita menyikapinya dengan arif. Bahwa meluaskan jangkauan bukanlah memberi makna ataupun tafsir yang menyimpang.
Sederhana ungkapannya dan mudah dituturkan. Namun, untuk mewujudkan memang sangat memerlukan keberanian. Siapa pun tahu, pendekatan tersebut akan menjadi beban intelektual, moral, dan kenegarawanan para hakim MK.
Pastilah trauma masih melekat di kalbu para hakim MK ini, menyusul sangkaan miring yang muncul pascaputusan nomor 90 yang seakan masih saja dilekatkan pada integritas intelektual para hakim MK atau MK sebagai institusi. Bukankah begitu kenyataannya?
Baca juga: Tak Cukup 14 Hari Tangani Sengketa Pilpres, Hakim Perlu Buat Terobosan
Menjawab dan menyelesaikan gejala, ganjalan, atau bahkan stigma sosial dan kejiwaan yang negatif dalam masyarakat, apalagi dalam kehidupan politik, pada akhirnya jauh dan lebih penting dari sekadar keahlian dalam menyusun narasi dengan argumen berdasar teori keilmuan apa pun terhadap tafsir apa adanya (as is) rumusan Pasal 24C tadi.
Mencegah terkikisnya kepercayaan sosial yang menjadi fundamen utama kehidupan kebangsaan lebih penting daripada sekadar bersikap, berargumentasi, dan berlaku formal dalam menafsir ketentuan tentang hasil pemilu.
Namun, pada saat yang sama, juga tidak adil sama sekali meninggalkan para hakim MK sendirian dalam memberi tafsir yang komprehensif terhadap rumusan tersebut. Tidak fair membiarkan para hakim MK dianggap pongah, seakan mereka dewa penentu tafsir UUD.
Masyarakat akademik, para cendekiawan, para budayawan, para politisi, dan para sesepuh bangsa ini sepantasnya memberi dukungan dan sumbangan pikir, yang bukan saja benar dan baik dari sisi keilmuan, melainkan juga bermanfaat, dalam penyelenggaraan dan pembinaan kehidupan bernegara dan berbangsa yang maju, bermartabat, dan sejahtera.
Bambang Kesowo, Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet 2001-2004; Pengajar Sekolah Pascasarjana FH UGM 2006-2020