Setelah Pesta Demokrasi
Pesta demokrasi sejatinya refleksi mendalam tenunan kultur, pengalaman, keyakinan, nilai dan jiwa demokrasi.
Pesta demokrasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 sudah hampir usai. Anak bangsa sudah menggunakan hak suaranya, dengan memilih calon presiden dan calon wakil presiden sesuai dengan aspirasi mereka. Kini, semua harap-harap cemas menunggu hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum dan pemenangnya.
Di pikiran mereka tergambar sosok pemimpin baru yang mampu membawa kemajuan dan perubahan bangsa ke depan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tentu, pesta demokrasi tak sekadar proses elektoral memilih calon pemimpin di bilik suara sebagai artikulasi daulat rakyat. Lebih dari itu, pesta demokrasi sejatinya adalah refleksi mendalam tenunan kultur, pengalaman, keyakinan, nilai dan jiwa demokrasi yang tengah dirajut.
Pertanyaannya, apakah pesta demokrasi yang telah digelar merupakan artikulasi dari jiwa demokratis kebebasan, keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, dan akuntabilitas, atau sebaliknya?
Gelombang penolakan, protes, keluhan, keberatan, dan demonstrasi terkait penyelenggaraan Pilpres 2024 menjadi penanda dari pesta demokrasi yang jauh dari jiwa demokrasi.
Dalam hal ini, tak ada sistem manajemen konflik yang diinisiasi negara karena negara justru menjadi bagian dari polarisasi ini.
Tuduhan terhadap Presiden yang partisan, merekayasa aturan hukum dan menyalahgunakan otoritas demi memenangkan salah satu pasangan calon; tuduhan terhadap KPU yang tak terbuka, tak kompeten, diskriminatif, dan manipulatif; menandai rendahnya kualitas demokrasi. A theatre of democracy.
Demokrasi abad tontonan
Kualitas pemilu cermin kualitas demokrasi yang menentukan masa depan bangsa. Untuk itu, sebuah refleksi diperlukan: apakah pemilu mampu membentuk kultur demokrasi, memperkaya kualitas demokrasi, dan mengangkat nilai-nilai demokrasi, atau sebaliknya?
Ibarat gunung es, pemilu sejatinya tak hanya perkara tampak permukaan demokrasi—prosedur dan proses elektoral—tetapi juga tampak dalam: jiwa, roh, karakter, ideologi, norma, nilai, dan makna demokrasi.
Pemilu langsung sejak 2004 sebagai amanah reformasi telah mengubah tidak saja prosedur demokrasi, tetapi juga ”jiwa” demokrasi. Tidak saja sistem demokrasi perwakilan ditukar dengan sistem pemilihan langsung, tetapi jiwa ”permusyawaratan” yang berakar Pancasila diganti dengan jiwa ”individualisme” berakar liberalisme.
Sistem pemilihan langsung adalah pengkhianatan terhadap Pancasila dengan meminggirkan permusyawaratan dan merayakan ”individualisme”—individual vis-à-vis individual.
Akibatnya adalah ”individualisasi” institusi, partai, gagasan, perilaku, proses, atau masyarakat politik, dengan merayakan hak, kebebasan, dan kepentingan ”individu” di atas kepentingan masyarakat bangsa.
Padahal, Pancasila mengajarkan keseimbangan antara nilai individu (kebebasan, kemanusiaan) dan nilai komunitas (keadilan, keadaban, kerakyatan, permusyawaratan). Artinya, nilai individu ”mengalahkan” nilai sosial, jiwa individualitas mengalahkan jiwa komunalitas (Sandel, 1984).
Jika dulu kita mencoblos representasi komunitas (lambang partai), kini kita mencoblos representasi individu (foto pasangan calon), dengan akibat terkikisnya nilai komunitas oleh nilai individu. Ini yang mendorong cara-cara budaya populer dalam politik: merayakan citra permukaan (simbol, pakaian, gestur, bahasa tubuh, gimmick) dengan meminggirkan jiwa demokrasi (pengetahuan, kapasitas, kapabilitas, kepemimpinan).
Citra individu calon pemimpin dipercaya sebagai ”kebenaran” ketimbang realitas dirinya: inilah ”hiper-realitas politik” (Baudrillard, 1981).
Penggunaan cara-cara budaya populer dalam politik menggiring pendangkalan ideologi. Gagasan ideologis substansial kemanusiaan, kebebasan, keadaban, keadilan, kesejahteraan, digantikan gagasan-gagasan banal demi popularitas.
Lebih dari itu, pesta demokrasi sejatinya adalah refleksi mendalam tenunan kultur, pengalaman, keyakinan, nilai dan jiwa demokrasi yang tengah dirajut.
Maka, pemimpin atau calon pemimpin blusukan di gorong-gorong, got atau selokan, diliput televisi demi citra sederhana, merakyat, ndeso dan bersahaja. Atau, presiden bagi-bagi sembako atau makan siang gratis demi citra dermawan, solider, dan murah hati (Adorno, 1991; Fiske, 1989).
Angka tak saja ukuran kebenaran, tetapi juga memiliki kekuatan psikologis mengarahkan persepsi: jajak pendapat, survei, hitung cepat (quick count). Inilah ”tirani angka”: kita dibuat percaya bahwa angka cermin realitas. Karena itu, angka rentan dimanipulasi demi citra.
Hasil penghitungan cepat pemilu yang intensif ditampilkan KPU di layar televisi memberi efek instan citra ”kemenangan”, untuk menggiring opini publik dengan menyembunyikan fakta sesungguhnya di balik angka-angka itu (Badiou, 2005).
Akibatnya, panggung politik menjelma panggung teater, yang di atasnya dipertunjukkan teater-teater pencitraan, dengan aktor-aktor politik dipoles melalui kemasan citra permukaan untuk mendongkrak popularitas.
Masyarakat politik—yang di dalamnya dibangun kesadaran politik, dengan mengangkat dan mendiskusikan aneka isu politik—kini menjelma ”masyarakat tontonan”. Di dalamnya, segala dimensi dan isu politik substansial diganti kemasan citra, dan menggiring massa untuk menerima citra itu sebagai kebenaran (Debord, 1981).
Merawat demokrasi
Merefleksikan penyelenggaraan Pilpres 2024, tak ada pelajaran berharga apa pun yang dapat ditarik darinya, selain tergerusnya jiwa demokrasi oleh panggung tontonan manipulasi angka, citra, tampilan: jajak pendapat, hitung cepat, bantuan sosial, makan gratis.
Layaknya gunung es, tampak permukaan Pilpres 2024 terlihat jernih, aman, lancar, dan damai, tetapi tampak dalamnya sangat gelap karena dicurigai menyimpan tumpukan kotoran, sampah, dan racun keadaban politik—the dirty vote.
Pilpres 2024 tak menyumbang apa pun bagi peningkatan kualitas demokrasi, penghayatan nilai-nilai demokrasi, dan pengayaan pengalaman berdemokrasi. Yang tersisa hanyalah penurunan kualitas, penggerusan nilai, dan pemiskinan jiwa demokrasi. Kini, proses demokratisasi yang dibangun di atas darah para pejuang reformasi tanpa rasa malu dan rasa berdosa telah dikhianati.
Ada banyak tembok penghalang proses demokratisasi pascajatuhnya rezim Orde Baru yang mengarah ke kemunduran demokrasi menuju dedemokratisasi (Cunningham, 2002; Dahl, 2000; Tilly, 2007).
Pertama, hilangnya otonomi, kemandirian, dan kedaulatan negara dalam pelaksanaan proses demokrasi. Di sini, segala sumber daya, dokumen, data, dan informasi strategis dan rahasia negara tidak boleh diakses oleh kekuatan-kekuatan asing, serta harus dikelola mandiri oleh negara. Pada Pilpres 2024, KPU—atas restu presiden— justru membuka akses strategis dan rahasia itu kepada kekuatan asing. Ini pengkhianatan terhadap kedaulatan negara.
Kedua, munculnya ”kekuasaan terpusat”, tanpa diimbangi oposisi yang kuat, dan diperparah oleh pelemahan sistematis masyarakat sipil sebagai kekuatan kontrol akar rumput.
Kini, proses demokratisasi yang dibangun di atas darah para pejuang reformasi tanpa rasa malu dan rasa berdosa telah dikhianati.
Dengan demikian, kekuasaan cenderung memaksa dan represif, disertai ancaman, intimidasi, pengerahan preman, dan kekerasan. Kekuatan terpusat ini cenderung berwatak otoriter karena dilindungi kekuatan militer dan kepolisian yang rela melanggar sumpah prajurit demi keuntungan sesaat.
Ketiga, belum tumbuhnya budaya politik demokratis karena tingkat pendidikan mayoritas masyarakat yang rendah dan buruknya pendidikan politik. Kondisi ini menggiring pada ”irasionalitas demokratis”, di mana pemilihan langsung menghasilkan ”tirani mayoritas”. Akan tetapi, golongan mayoritas ini justru pemilih berpendidikan rendah, minim informasi, dan kurang daya kritis sehingga rentan menjadi sasaran manipulasi pencitraan politik.
Keempat, tidak terintegrasinya jaringan kepercayaan interpersonal ke dalam politik, khususnya kepercayaan rakyat terhadap penguasa dan aparat-aparat negara. Celakanya, tingkat kepercayaan terhadap pemerintah sering dimanipulasi melalui permainan survei dan angka statistik.
Tergerusnya kepercayaan ini tampak setidaknya pada penyelenggaraan Pilpres 2014, 2019, dan 2024 yang dinilai tidak terbuka, transparan, dan akuntabel.
Baca juga: Ambruknya Keadaban Publik Kita
Kelima, mengerasnya konflik-konflik budaya, agama, dan etnis yang tak bisa dikendalikan, yang melebar menjadi bagian dari konflik politik.
Sistem pemilu langsung—yang mengondisikan mengerucutnya pasangan capres-cawapres pada dua atau tiga pasangan—mengeraskan pertarungan bahkan permusuhan antarkonstituen, berujung polarisasi masyarakat. Dalam hal ini, tak ada sistem manajemen konflik yang diinisiasi negara karena negara justru menjadi bagian polarisasi ini.
Keenam, pemerintahan yang tak efektif karena dipimpin oleh pemimpin ”kualitas rendah”, sebagai produk dari proses demokrasi tontonan yang merayakan kemasan citra ketimbang kapasitas, kapabilitas, dan kepemimpinan.
Merawat demokrasi ke depan adalah dengan meruntuhkan tembok-tembok penghalang: menegakkan kembali kedaulatan negara, mengendalikan kekuasaan terpusat, meredam polarisasi bangsa, meningkatkan rasionalitas dan melek-politik, mengembangkan sistem pemilu berbasis kapasitas, merajut kembali jaringan kepercayaan interpersonal.
Ketidakmampuan merobohkan tembok-tembok penghalang akan membawa bangsa ”terpeleset di kulit pisang yang sama”: panggung teater demokrasi yang menghasilkan pemimpin abal-abal!
Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB