Nyepi Bukan Soal Kesepian
Berhenti berlari adalah pilihan terbaik untuk memberi kesempatan diri mengambil napas dan segar kembali.
Nyepi tidak bersangkut-paut langsung dengan soal-soal kesepian. Kendati berasal dari satu akar kata yang sama, yakni sepi, kesepian lebih menjurus kepada kondisi emosional, mental, sosial, dan bahkan spiritual seseorang atau sekelompok orang yang ”merasa” tersisihkan. Oleh sebab itu, ia memiliki landasan emosional yang goyah, mudah terguncang secara mental, dan sensitif dalam pergaulan sosial.
Para peneliti psikologi sosial mendefinisikan kondisi kesepian sebagai ”rasa sakit sosial”, sebuah keadaan di mana seseorang tidak memiliki relasi yang hangat dengan orang-orang di sekitarnya. Aku bahkan menduga, kerangkeng besi penjara diciptakan justru untuk membuat seseorang tersisihkan, baik secara fisik maupun mental. Penyekapan terhadap fisik menjadi sebuah metode penghukuman agar ”terhukum” merasa kesepian dan teralienasi dari pergaulan sosial, termasuk dibuat tidak mampu mengakses keintiman keluarga.
Jika begitu, apakah kesepian juga sebuah penjara?
Pada aspek behavior, seseorang yang terhukum dan dipenjarakan memiliki perilaku yang cenderung tertekan. Kesepian sesungguhnya juga asosiasi diri terhadap keterpenjaraan, baik secara fisik maupun psikologis.
Umumnya, kesepian menjadi benar-benar terasa menyiksa ketika seluruh kemampuan sosialisasi diri manusia sebagai zoon politicon, istilah Aristoteles, tidak tercapai. Zoon politicon sebagaimana dijelaskan bersifat kodrati, ia sesungguhnya given, bahkan sebelum sosok makhluk bernama manusia dilahirkan.
Seorang calon bayi sejak dalam kandungan sudah membutuhkan ”sosialisasi”, misalnya, sapaan atau obrolan dari kedua orangtuanya. Bayi-bayi yang diajak mengobrol itu, menurut penelitian, akan memiliki perkembangan organ seperti pendengaran, bahasa, kecerdasan, serta sensitivitas yang jauh lebih baik ketimbang calon bayi yang ”dicuekin”.
Begitulah kesepian perlahan-lahan bisa menjadi ”racun” yang membuat seseorang mengambil tindakan di luar batas-batas nalar. Sebab, pada saat kesepian, terjadi ”penumpulan” terhadap kemampuan manusia dalam ”menalarisasi” setiap fenomena dan perilaku mengenai dirinya dan orang lain.
Baca juga: Sebatang Pohon Pisang di Jendela
Nyepi justru berada di ujung lainnya dari sebuah bejana berisi cairan sepi. Meski juga merupakan tafsir manusia atas fenomena semesta, Nyepi memiliki dimensi ritual yang dirayakan. Tepat di saat perjalanan Bulan memasuki bulan kesembilan atau Sasih Kesanga dalam perhitungan kalender Hindu-Bali, akan menjadi titik tergelap dalam perjalanan Bumi. Itulah akhir dari perjalanan Bulan sebelum memasuki tahun baru berikutnya.
Tahun ini Sasih Kesanga itu berakhir saat Tilem (bulan mati) pada Minggu, 10 Maret 2024, atau sehari setelah umat Hindu merayakan Hari Raya Kuningan 2024. Meski tidak setiap tahun memiliki perayaan yang berdekatan, Kuningan dan Nyepi tahun 2024, boleh jadi merupakan ”kerja kosmik”, yang menyodorkan simpul kesadaran, tentang kondisi Bumi yang tidak baik-baik saja.
Kuningan dirayakan dengan melakukan persembahyangan ke berbagai pura untuk memanjatkan doa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas karunia yang telah dilimpahkan kepada manusia. Biasanya para pemedek (pemuja) mengucapkan doa sebagai berikut:
Om Giripati Maha Wiryam Maha Dewa
Pratista Linggam Sarwa Dewa Pranayam Nam
Sarwa Jagat Pratisnam
Om Giripati Dipata ya Namah
(Om Sang Hyang Widhi yang bergelar Giripati
Yang Maha Agung, Maha Dewa dengan Lingga
yang kokoh, semua Dewa sembah-Mu,
Om Giripati, hamba memuja-Mu)
Ciri khas paling menonjol pada saat Kuningan, semua sesaji persembahan berisi nasi kuning, perlambang dari kemakmuran. Bukan kebetulan di dalam kata kuning tersirat makna uning, artinya ’mengetahui’. Uning mengingatkan manusia kepada keberlimpahan yang telah dinikmatinya selama ini berasal dari kemurahan semesta. Oleh sebab itu, pemanjatan doa syukur atas keberlimpahan itu dilakukan umat pada setiap pura yang memiliki kaitan spiritual terhadap dirinya.
Kuningan selalu jatuh enam bulan sekali, tepat pada Saniscara (Sabtu), Kliwon, Kuningan atau 10 hari setelah perayaan Galungan pada Buda (Rabu), Kliwon, Dungulan. Secara populer dimaknakan pada rentang waktu antara Galungan dan Kuningan, umat Hindu berkesempatan memetik berkah. Selalu pula dikaitkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma, kebaikan melawan kejahatan. Semboyan yang selalu bergema pada saat-saat itu berbunyi: Satyam eva jayate, hanya kebenaran yang pada akhirnya berjaya (Mundaka Upanishad).
Itu sebabnya, dalam ranah tradisi persembahyangan saat Kuningan pertama-tama dilakukan di Pura Merajan (Pura Keluarga) sebelum matahari terbit. Sering kali disarankan menggunakan damar kurung (lampu minyak kelapa) sebagai simbolisasi dari suluh keberkatan. Para orang tua, termasuk Bapak yang menjadi Pemangku Pura Merajan (pemimpin upacara), berkata: ”Sebelum para dewa balik ke Kahyangan, ucapkanlah puja syukur.”
Sesudahnya, umat biasanya melakukan Tirtayatra, bersembahyangan bersama keluarga di pura-pura di sekitar lingkungan hidupnya. Tak jarang Tirtayatra juga dilakukan di pura-pura bersejarah seperti Pura Sakenan di Pulau Serangan untuk wilayah Denpasar atau Pura Mandhara Giri Semeru, Lumajang, Jawa Timur.
Baca juga: Suara dari Dalam Kotak
Sesungguhnya hakikat Tirtayatra tak hanya soal bersembahyang, tetapi melakukan perjalanan suci, mengelola kesabaran, memfokuskan diri pada kebaikan dan kebajikan, serta menekan segala indriya, segala keinginan, sehingga benar-benar konsentrasi untuk memuja Tuhan.
Sehari sebelum Nyepi, dikenal dengan pangrupukan, seluruh umat melakukan penyucian terhadap lingkungan diri dan semesta raya. Ritual dilakukan mulai dari perempatan jalan dengan macaru (upacara bumi) dan lingkungan rumah. Umat kemudian melakukan persembahyangan di pura Kahyangan Jagat seperti Pura Jagatnatha di tiap-tiap lingkungan kecamatan atau kabupaten.
Pada saat pangrupukan biasanya diisi dengan ritual nyomya, seperti arak-arakan ogoh-ogoh di jalanan kota. Nyomya berasal dari somya, sebuah ritual tawur bumi untuk mencapai harmonisasi antara manusia dan alam semesta. Secara populer alam semesta diberi tafsir serupa ogoh-ogoh, dia berwajah seram dan menakutkan apabila manusia keliru memperlakukannya.
Ketika seluruh tatanan kehidupan telah terharmonikan, manusia diasosiasikan telah siap menjalani Catur Brata Panyepian. Isinya berupa kewajiban yang harus dijalankan untuk melakukan penyucian diri dan semesta. Umat mulai melakukan mati geni (mematikan api), mati karya (tidak bekerja), mati lelungaan (tidak bepergian), dan mati lelanguan (berpuasa), selama 24 jam, dimulai dari pukul 06.00 sampai pukul 06.00 keesokan harinya.
Dalam banyak tafsir, Nyepi selalu ditarik-tarik pada persoalan politik bernegara, seperti memberantas korupsi, meredam perselisihan politik, menurunkan harga beras, atau hal-hal pragmatis lainnya.
Dalam sejarahnya, kira-kira 78 Masehi di masa pemerintahan Raja Kaniskha I di India, Nyepi adalah waktu jeda dan pengakuan. Raja Kaniskha I mengakui bahwa pencapaian kebudayaan Suku Saka yang mereka taklukkan patut diberi penghormatan.
Raja kemudian mengakui Kalender Saka, yang dimulai pada 78 Masehi, sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, termasuk perhitungan hari-hari suci. Kalender inilah yang kemudian disempurnakan oleh para intelektual Bali menjadi kalender Bali, yang sangat komprehensif.
Saat itu, waktu jeda dimaksudkan sebagai penghentian segala bentuk peperangan yang telah berkecamuk selama ratusan tahun. Sesudahnya, waktu jeda adalah memberikan kesempatan kepada diri sendiri dan diri semesta untuk mulatsarira (instrospeksi).
Manusia, segala makhluk, dan alam semesta, secara bersama-sama memasuki ”diri sendiri” secara lebih dalam, dengan maksud menemukan hakikat kesadaran. Kesadaran tertinggi dalam ajaran Hindu disebut dengan moksa, atau kebahagiaan lahir dan batin.
Nyepi adalah langkah nyata untuk memperoleh kesadaran. Selama 24 jam, mulai Senin (11/3/2024) pukul 06.00 sampai Selasa (12/3/2024) pukul 06.00, umat melakukan mulatsarira di tempat masing-masing. Apa yang dirumuskan sebagai Catur Brata Panyepian adalah realitas ritual untuk mendekatkan umat menuju langkah-langkah konkret berupa kesadaran perilaku. Sesudahnya, dalam kehidupan sehari-hari, umat diharapkan selalu melakukan mulatsasira, sebagai kontrol diri dan sosial dalam upaya memelihara kesadaran itu sendiri.
Jika disederhanakan, kesadaran dalam Nyepi adalah mengharmonisasi antara dinamika kehidupan diri dan diri lainnya serta alam semesta. Dalam ajaran Hindu Bali disebut dengan Tri Hita Karana, sebuah ajaran harmoni universal. Ajaran ini menyarankan keseimbangan hidup antara manusia dan manusia lainnya; manusia dengan lingkungan dan makhluk lainnya; dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengembali.
Baca juga: Penindasan Pelajaran ”Ini Budi…”
Oleh sebab itu, Nyepi adalah permenungan untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki tahun baru Saka. Sebenarnya lembar pertama tahun baru Saka jatuh sesudah akhir Sasih Kesanga atau sehari sesudah Tilem. Dengan demikian, lembar pertama tahun baru Saka 1946 atau 2024 Masehi diisi dengan menepikan diri dari segala hiruk-pikuk duniawi. Manusia diharapkan mampu menyepikan diri dari keriuhan hidup sehari-hari.
Sepi dan menepi yang dihasratkan atas dasar meraih kesadaran tentu berbeda dengan kesepian. Sesungguhnya kesepian bisa ”disembuhkan” dengan mulatsarira, kesempatan untuk meraih alam meditasi. Kondisi sepi dan kesepian adalah prasyarat untuk melakukan introspeksi. Keterpenjaraan dalam makna positif bisa diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada seseorang untuk melakukan introspeksi. Sangat diharapkan ketika nanti bebas, seorang terhukum akan berubah menjadi manusia yang lebih sempurna.
Nyepi memang bukan soal kesepian itu sendiri, tetapi bergayut secara erat dengan kondisi sepi. Pada saat umat masuk ke dalam diri dan menanggalkan kemelekatan kepada duniawi, pada akhirnya harus didukung oleh keterlibatan negara. Negara tentu saja berkepentingan mendukung Nyepi dalam rangka menjalankan politik kerukunan antar-umat beragama, mengefisiensi sumber-sumber energi, serta menegakkan asas keadilan dalam keberagamaan.
Oleh sebab itulah, sejak puluhan tahun lalu, pintu-pintu keluar masuk Pulau Bali ditutup sepenuhnya selama 24 jam oleh pemerintah. Hotel-hotel tidak boleh menerima tamu pada saat Nyepi serta mematikan lampu-lampu di halaman, perusahaan penerbangan tidak mendaratkan pesawatnya di Bali, dan pusat-pusat perbelanjaan, termasuk mal, ditutup sementara.
Semuanya dalam rangka mendukung dan menciptakan suasana sepi saat umat Hindu menjalankan ibadah. Jadi sesungguhnya Nyepi mengajak kita secara sengaja memasuki sepi untuk sejenak menepi dari keriuhan hidup. Berhenti berlari adalah pilihan terbaik untuk memberi kesempatan diri mengambil napas dan segar kembali. Berhenti berlari adalah kontribusi terbaik untuk memelihara kesadaran ketergantungan hidup manusia pada alam semesta.
Pada akhirnya Nyepi memang bukan soal kesepian, tetapi keduanya bisa bersama-sama berjalan seiring untuk menciptakan hakikat kesadaran diri mencapai: Moksa.
Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022, Sastrawan, Sutradara, Dosen Creative Writing LSPR Jakarta