Antrean Pembeli Beras yang Memanjang
Antrean pembeli beras tambah panjang, membuat wajah pemerintah tercoreng.
Antrean pembeli beras berlangsung di banyak tempat, puncaknya terjadi setelah Pemilu 2024. Masyarakat berebut membeli beras murah Bulog.
Mengapa harga beras terus naik dan tinggi? Jawabannya tentu tidak hanya karena gangguan produksi padi, tetapi juga stok Bulog relatif kecil, dan ini berpengaruh terhadap rendahnya intervensi pasar serta impor yang terlambat. Intervensi baru dilakukan besar-besaran setelah harga melonjak tinggi sehingga semakin sulit dan lama untuk ”memadamkannya”.
Pada saat yang sama, stok beras yang dikuasai penggilingan padi (PP) dan pedagang juga merosot jumlahnya sejak 2019. Kalau stok rendah, rendah pula kekuatan penetrasi pasar. Akibatnya, gejolak harga beras di pasar akan sulit dikendalikan.
Produksi padi turun cukup tajam di 2023, sebesar 2,05 persen, atau berkurang 1,1 juta ton gabah kering giling (GKG). Rata-rata produksi padi lima tahun terakhir turun 1,91 persen per tahun, sebagian besar berasal dari penurunan luas panen.
Luas panen berkurang 2,13 persen per tahun atau sekitar 226.000 hektar. Sementara pertumbuhan produktivitas stagnan pada angka 0,22 persen.
Gangguan iklim El Nino menyebabkan panen raya 2024 mundur 2-3 bulan. Biasanya panen raya pada bulan Februari, tetapi mundur menjadi April dan Mei. Ini memperparah kenaikan harga gabah dan beras.
Semakin tinggi selisih harga pasar dengan harga jual Bulog, semakin berjubel masyarakat memperebutkannya, apalagi kualitas beras Bulog bagus dan lebih murah Rp 5.000 per kg atau lebih.
Pemerintah telah mengantisipasinya dengan menambah suplai beras dari impor agar Bulog dapat ”mengebom” pasar dalam negeri. Pada 2023, impor beras Bulog mencapai 1,8 juta ton. Pada 2024, realisasi impor beras Bulog (Januari hingga 20 Februari) mencapai 3,5 juta ton, suatu angka impor tinggi untuk menghadapi pemilu.
Pada saat sekarang, stok cadangan beras pemerintah (CBP) mencapai 1,46 juta ton, hampir seluruhnya berasal dari impor. Penyaluran CBP ditingkatkan, baik melalui pasar—terutama lewat program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP)—maupun nonpasar lewat program bantuan sosial (bansos) beras.
Pada tahun 2024 ini (hingga 20 Februari), penyaluran beras SPHP mencapai 275.000 ton dan bansos beras sebanyak 203.000 ton. Tahun lalu, intervensi melalui dua program ini mencapai 1,3 juta ton.
Namun, upaya pemerintah belum berhasil membendung sepenuhnya laju kenaikan harga beras. Kenaikan harga sudah terjadi sejak Juli/Agustus 2021. Bulog kurang berdaya dalam mengelola pasar karena rendahnya stok yang dimiliki.
Misalnya, di 2022, stok akhir beras kurang dari 400.000 ton. Keputusan impor terlambat, baru bisa direalisasikan di tahun 2023. Pada saat sekarang, harga beras kualitas medium telah mencapai Rp 13.000-Rp 14.000 per kilogram dan beras kualitas premium Rp 15.000-Rp 18.000 per kg.
Bulog menjual beras dalam kemasan 5 kg setara dengan Rp 10.600 per kg. Sebagian besar beras Bulog berkualitas premium, dengan broken 5 persen, berasal dari impor.
Semakin tinggi selisih harga pasar dengan harga jual Bulog, semakin berjubel masyarakat memperebutkannya, apalagi kualitas beras Bulog bagus dan lebih murah Rp 5.000 per kg atau lebih. Antrean pembeli beras tambah panjang, membuat wajah pemerintah tercoreng.
Dampak negatif HET
Pemerintah telah menetapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras sejak akhir 2017. Sifatnya mandatori. Pelaku usaha perdagangan wajib mencantumkan label kualitas beras dan harga HET di kemasannya. Sanksinya, pencabutan izin usaha dan pidana.
Ketentuan itu berlaku pada pasar beras ritel modern, seperti hipermarket dan minimarket. Satgas Pangan Polri ditugaskan untuk mengawasi implementasinya. Satgas Polri kerap mengontrol stok beras di penggilingan padi atau pedagang, dan memberi sanksi apabila mereka tak mematuhi.
Dalam penerapan HET, muncul dua dampak negatif. Pertama, saat produksi turun dan harga gabah tinggi, beras menghilang dari pasar ritel modern. Sejak September/Oktober 2023, harga gabah terus naik.
Pada saat harga GKP (gabah kering panen) tinggi, di atas Rp 7.5000 per kg, harga pokok beras menjadi tinggi di atas Rp 14.000 per kg, plus 20-30 persen untuk biaya kemasan, pengangkutan, dan margin keuntungan. Pada tingkat harga tersebut, beras tidak bisa dijual pada harga sesuai ketentuan HET yang kurang realistis.
Pada 2024, realisasi impor beras Bulog (Januari hingga 20 Februari) mencapai 3,5 juta ton, suatu angka impor tinggi untuk menghadapi pemilu.
Pemerintah menetapkan HET untuk beras premium berkisar Rp 13.900-Rp 14.800 per kg, tergantung wilayahnya. Tak heran, ritel modern tidak memperoleh suplai beras dari pelaku usaha penggilingan padi atau pedagang. Dalam situasi demikian, pelaku usaha ritel modern lebih memilih tidak menjual beras di atas ketentuan HET daripada berisiko kena sanksi.
Kekosongan beras kualitas premium membuat konsumen di kota panik sehingga menyerbu pasar tradisional.
Kedua, pada saat produksi bagus/normal, kejatuhan harga gabah petani meluas dan berlangsung lama. Pada periode 2018 hingga pertengahan 2021, harga beras sangat stabil. Perbedaan harga beras antarmusim nyaris hilang.
Daya serap gabah petani lesu, stok beras yang dimiliki PP/pedagang tipis guna mencegah mengalami kerugian. Di samping itu, para PP/pedagang kerap menekan harga beli GKP untuk mempertahankan margin pemasarannya yang melorot karena penerapan HET.
Dampaknya, kejatuhan harga GKP petani meluas, terjadi sepanjang tahun, pada awal 2020-akhir 2022.
Baca juga: Ironi Negeri Agraris, Petani Padi Mengantre Beras Murah
Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah meninjau ulang penerapan HET secara mandatori. Upaya peningkatan produksi padi via peningkatan produktivitas haruslah dilakukan sembari mengatasi kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan padi. Pada saat yang sama, areal sawah harus diperluas.
Tanpa upaya itu, hampir tidak mungkin Indonesia mampu menghindari impor beras.
M Husein Sawit, Anggota Dewan Penasihat PP Perhepi