Ironi Negeri Agraris, Petani Padi Mengantre Beras Murah
Cadangan gabah petani mulai menipis, sementara panen masih berbulan-bulan lagi. Sebagian petani harus antre beras murah.
Lonjakan harga beras belum sepenuhnya menguntungkan petani. Alih-alih menikmati cuan, mereka malah terancam kehabisan beras. Cadangan gabah petani mulai menipis, sedangkan masa panen masih berbulan-bulan lagi. Bahkan, sebagian petani harus mengantre beras murah.
Rumsi (47) melangkahkan kakinya pelan saat antrean panjang mulai bergerak di halaman Balai Desa Lurah, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (26/2/2024). Di bawah terik mentari, puluhan warga menanti giliran membeli beras medium dalam operasi pasar murah.
Kegiatan yang digelar Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon itu menjajakan beras medium seharga Rp 52.000 per kemasan ukuran 5 kilogram (kg). Angka itu jauh lebih murah dibandingkan dengan harga beras di pasaran dengan jumlah dan kualitas yang sama yang mencapai lebih dari Rp 75.000.
Baca juga: Lonjakan Harga Beras yang Berulang, Ujian Perdana Calon Presiden Terpilih
”Harga beras (di pasaran) sekarang Rp 15.000-Rp 16.000 per kg. Kalau di sini murah, Rp 10.400 per kg,” ucap Rumsi yang datang bersama suaminya. Ia berniat membeli dua karung beras, sesuai batas maksimal pembelian yang ditetapkan dalam operasi pasar tersebut.
Sayangnya, keinginannya belum terwujud. Beras di truk terus menipis, sedangkan antrean masih panjang. Petugas pun membatasi pembelian hanya satu karung per orang. Setidaknya, ibu satu anak ini masih berharap membawa pulang satu karung berisi 5 kg.
Namun, ketika mendekati meja pembayaran, Rumsi yang berkeringat karena kepanasan lagi-lagi kecewa. ”Berasnya sudah habis, Ibu-ibu. Ada juga satu karung, tapi kemasannya sobek,” kata seorang petugas yang meminta warga membubarkan barisan.
Sebenarnya, ia tidak perlu antre demi membeli beras murah jika masih menanam padi. ”Parie (padinya) enggak ada. Cuma (tanam) singkong karo (dengan) kacang panjang dan kangkung. Sudah lama enggak ada padi,” ucap Rumsi yang bertahun-tahun tak lagi memproduksi padi.
Lahan keluarganya yang seluas 140 meter persegi itu tidak ditanami padi karena beragam masalah. ”Angel banyue (susah airnya). Kudu di-diesel (harus pakai pompa). Pupuk juga belinya Rp 10.000 per kg. Kalau (beli) kuintalan, susah,” tutur istri dari penjual papeda keliling ini.
Sawahnya di Blok Lebak, Desa Lurah, juga jauh dari saluran irigasi. Lahan di daerah itu memang didominasi perumahan dan pabrik. Padahal, jika masih menanam padi, sawahnya berpotensi menghasilkan hingga 80 kilogram gabah kering panen. Ia pun tak perlu antre beras.
Kuwu (Kepala Desa) Lurah Urip mengakui, daerahnya bukan lagi sentra padi. Sejak tahun 1990-an, pabrik rotan dan perumahan menjamur di desanya. ”Di sini, ada 30 pabrik. Dulunya, (lahan pabrik) itu sawah semua. Bisa dikatakan luasnya satu banding lima dengan sawah,” ujarnya.
Luas sawah di sana 35 hektar, sedangkan kawasan pabrik bisa 175 hektar. Sawah bengkokmilik desa yang luasnya 8,5 bahu (5,9 hektar) saja berada di Kaliwedi, kecamatan tetangga. Itu sebabnya, saat harga beras naik, warganya terdampak. ”Ada juga petani antre (beras),” ucapnya.
Gabah menipis
Sekitar 26 kilometer arah barat dari Rumsi mengantre, sebagian petani di Desa Jagapura Wetan, Kecamatan Gegesik, galau. Mereka belum bisa menanam karena minimnya pasokan air. Sudut saluran irigasi berisi sampah plastik, bukan air. Sawah seluas 200 hektar pun belum diolah.
Padahal, petani biasanya sudah menanam pada Januari seiring datangnya musim hujan. Namun, hingga akhir Februari ini, hujan masih jarang turun. Ma’ani (40), petani setempat, mengatakan, mesin pompa menjadi solusi agar petani tetap bisa memproduksi padi meski harus mengeluarkan uang lebih.
”Paling saya bisa nanam satu minggu (lagi). Kalau musim rendeng (tanam pertama) butuh empat bulan. Jadi, panennya bisa Mei atau Juni,” ujarnya. Di sisi lainnya, bapak tiga anak ini khawatir cadangan gabah hasil panen musim gadu (kedua) tidak bertahan hingga empat bulan ke depan.
Akhir tahun lalu, Ma’ani memanen sekitar 7 ton gabah kering giling (GKG). Hampir seluruh padinya dijual karena harganya bagus, yakni Rp 8.800 per kg. Angka itu jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP), yakni Rp 6.200 per kg (untuk GKG). Gabahnya bahkan pernah dibeli di bawah Rp 5.000 per kg.
”Kalau harga (gabah) ke sananya (setelah panen) biasanya turun. Makanya, dijual semua. Eh, ternyata, harganya tetap tinggi. Saya masih nyimpen dua karung (gabah) untuk (konsumsi) keluarga,” ujarnya.
Gabah sebanyak sekitar 1 kuintal itu, kata dia, bisa memenuhi kebutuhan beras dirinya dan empat anggota keluarganya selama sekitar tiga bulan. Belum lagi jika ada tetangga yang hajatan, ia harus memberikan gabah. Padahal, masa panen masih sekitar empat bulan lagi.
Ia khawatir membeli beras medium yang harganya Rp 16.000 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) beras medium untuk wilayah Jawa adalah Rp 10.900 per kg. ”Saya dapat beras 10 kg dari pemerintah setiap bulan. Jadi, belum beli beras. Enggak tahu nanti,” ujarnya.
Berbeda dengan Ma’ani, Aksan Maulana (52) tidak menerima bantuan sosial berupa beras. Sementara hampir semua hasil panennya yang sebanyak 5 ton gabah kering panen sudah dijual. Alasannya, harga gabah sedang tinggi.
”Cuma empat karung (gabah) disimpan di rumah. Sekarang sudah banyak berkurang, tetapi itu cukup untuk puasa dan zakat fitrah,” kata bapak tiga anak ini.
Artinya, cadangan gabahnya saat ini bisa bertahan dua bulan lagi atau sampai April 2024. Namun, setelah itu, Aksan khawatir harus membeli beras yang harganya masih tinggi. Sebab, seperti petani lainnya di Jagapura Wetan, sawahya seluas 0,7 hektar diperkirakan baru panen lagi pada Mei atau Juni.
Aksan pun mencari peruntungan lain dengan berkeliling menjual buah-buahan. Buah itu dibeli dari pasar di Jatibarang, Indramayu. ”Anak saya masih sekolah. Ada yang SMA, SMP, dan SD. Butuh jajan, minimal Rp 50.000 habis sehari. Makanya, saya mider jual buah,” ujarnya.
Rokhman (52), petani lainnya, juga menjual hampir semua panennya akhir tahun lalu. Dari 7 ton gabah kering panen, sebanyak 6,5 ton sudah ludes. Saat itu, harganya Rp 7.000 per kg. ”Kalau jual kering Rp 8.000 per kg, tetapi saya enggak ada lahan untuk menjemur gabah,” ujarnya.
Selain harga bagus, bapak dua anak ini juga menjual gabahnya untuk membayar utang dan menyiapkan modal tanam Rp 10 juta per hektar. Itu belum termasuk biaya sewa lahan hingga Rp 20 juta per hektar untuk dua musim tanam. Ia pun hanya menyimpan 5 karung gabah.
”Masih ada dua karung gabah (100 kg gabah) di rumah. Alhamdulillah, saya belum beli beras,” ucapnya. Namun, Rokhman belum bisa menjamin cadangan gabahnya bisa bertahan hingga empat bulan ke depan saat masa panen.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Cirebon Kuryadi mengatakan, petani menjual hampir semua gabahnya karena harganya tinggi. ”Petani juga tidak punya lahan untuk menjemur padi. Menggiling padi susah karena pabrik kecil banyak yang tutup,” ujarnya.
Pabrik penggilingan itu di ujung tanduk karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar yang membeli gabah dengan harga tinggi. Di sisi lain, harga itu menguntungkan petani. Kondisi ini turut melambungkan harga beras. Namun, tidak semua petani menikmatinya.
Pabrik penggilingan itu di ujung tanduk karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar yang membeli gabah dengan harga tinggi.
Sebab, musim tanam kali ini mundur. Petani malah bisa kehabisan cadangan gabah dan terancam membeli beras. ”Bahkan, ada petani yang harus beli beras. Padahal, dia produsen. Kalau begini, petani kenapa enggak dapat diskon saat beli beras?” tutur Kuryadi.
Pihaknya usul agar Pemerintah Kabupaten Cirebon menyiapkan lahan pangan abadi sekitar 5 hektar di setiap desa dengan infrastruktur pengairan yang optimal. ”Selain menjadi sumber pangan desa, lahan itu juga tempat anak muda belajar pertanian dengan bantuan teknologi,” ujarnya.
Ia mencontohkan, jika 300 desa memiliki lahan pangan abadi masing-masing 5 hektar, ada potensi 1.500 hektar sawah. Jika produktivitasnya 7 ton padi per hektar, produksinya bisa mencapai 2.100 ton. Jumlah itu, lanjut dia, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan di desa.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Samsina mengatakan, produksi beras di Cirebon sebenarnya surplus. Pada 2023, misalnya, daerah berpenduduk 2,3 juta orang itu menghasilkan 342.846 ton beras. Adapun kebutuhan beras mencapai 248.400 ton per tahun.
Artinya, ada surplus 94.446 ton beras di Cirebon. Namun, beras dari Cirebon kerap keluar daerah karena dibeli pedagang luar. Sebaliknya, pedagang Cirebon juga biasa mengambil beras dari luar. ”Itu bukan wilayah (kerja) kami. Kami fokus meningkatkan produksi,” ujarnya.
Bagaimana pun, fenomena kenaikan harga beras di sentra padi, seperti Cirebon, menunjukkan anomali. Apalagi, kini sebagian petani khawatir cadangan gabahnya menipis dan habis, lalu harus mengantre beras murah. Inilah potret ironi negeri agraris yang belum selesai.
Baca juga: Mundurnya Masa Tanam Padi Picu Kenaikan Harga Beras