Finlandia: Alam dan Egalitarisme
Banyak bangunan mengaplikasikan lampu secukupnya dan digerakkan sensor, mencegah tamu lupa mematikan lampu.
Saya beruntung ada ajakan melancong di tengah letusan petasan politik pasca-pilpres lalu. Bersama grup yang pernah bersama menjelajahi sebuah negara Skandinavia, kali ini kami loncat ke negara Nordik lainnya; Finlandia.
Bagi yang masih kisruh, Skandinavia terdiri dari Denmark, Swedia, dan Norwegia. Kategori Nordik adalah ketiga negara Skandinavia ditambah Finlandia, Islandia, Faroe, dan Greenland. Nun di utara Eropa, sepelemparan salju dari Kutub Utara.
Dingin? Pastinya. Apalagi karena kami pergi di Februari dan ke Rovaniemi, ”kampung” Sinterklas di Lingkar Arktik, lingkar lintang ter-utara di Bumi. Suhu sekitar -3 C, menggigit bagi turis Indonesia walau relatif hangat untuk warga setempat yang terpapar -30 C bulan sebelumnya.
Geografi yang sebagian iklim boreal ini membuat Finlandia berhadapan langsung dengan kekuatan alam ekstrem yang membawa kepahitan seperti suhu beku, juga keindahan seperti laut penuh ikan salem pink, langit warna-warni (aurora borealis), dan air bersih. Dipampang di keran air minum di toilet bandara Rovaniemi adalah statistika 1% dari air dunia yang aman langsung diminum, dan bahwa air di Finlandia salah satu yang termurni.
Arktikum, sebuah museum di Rovaniemi, dalam dua lantai menyajikan sejarah peradaban Finlandia, mulai dari suku asli seperti Saami dan pendatang menghadapi iklim sampai ke pasca-industrialisasi yang tetap memperhitungkan alam. Peraga rusa besar dan beruang kutub dalam ukuran riil, sebagaimana ruangan insulasi yang meniru gua es, dihadirkan untuk sensasi alam liar Finlandia—mengingatkan saya akan serial TV Alone di kanal History tentang kompetisi hidup mandiri di ujung Alaska. Di sebelah, Pilke Science Center memamerkan konservasi hutan dan biologi.
Baca juga: Bangsa dan Pemimpin yang Layak Baginya
Senimannya pun berjangkar pada alam. Di Korundi Cultural Center, Simi dan Johanna Ruotsalainen menyajikan instalasi troli supermarket berisi bongkahan es raksasa yang terus mengucurkan air di hadapan video yang menyiratkan pemanasan Bumi. Pesan kuat tentang industrialisasi konsumsi modern, di mana publik tak lagi memanen atau berburu sendiri, yang bertahap menggerogoti Bumi.
Bukan hanya letak geografi, di mana tiap lembar es mencair di Kutub Utara Finlandia akan melihatnya sebelum negara tropis merasakan lautnya meluap, juga tingginya pendidikan yang saya duga membuat rakyatnya peduli pada konservasi alam melalui metode ilmiah. Universitas pertama berdiri 1640 saat masih bagian kerajaan Swedia, kualitas pendidikan tinggi Finlandia tertinggi di dunia (World Economic Forum 2013-2014), 38 persen dari hampir 6 juta populasi lulus S-1 dan lebih sepertiganya berjurusan sains.
Dari perjalanan ke mayoritas negara Nordik sejak 2018, saya mengamati penerapan manajemen lampu dan sampah. Banyak bangunan mengaplikasikan lampu secukupnya dan digerakkan sensor, mencegah tamu lupa mematikan lampu saat tak perlu. Semua hotel mengimbau tamu tak minta seprai dan handuk diganti tiap hari, beberapa menyediakan tong sampah kamar yang terbagi sesuai status daur ulang, bahkan ada yang tak lagi menyediakan plastik kecuali untuk tim pembersih. Mayoritas pemilik properti pribadi cukup detail meminta tamu memisahkan sampah organik dan yang bisa didaur ulang.
Di dunia ritel, lebih dari meminta pembeli membawa tas sendiri, tas belanja yang masih diberikan pun umumnya dari bahan sudah atau bisa didaur ulang. Dari sekian toko suvenir di Santa Claus Village, tujuan wisata top di Rovaniemi, tinggal 1-2 yang masih memberikan kantong plastik.
Belantika ritelnya didominasi jenama lokal, kebutuhan petualangan alam, dan toko barang bekas. Jumlah butik mewah internasional di pusat komersial Helsinki hanya seujung kuku Jakarta, padahal tahun lalu PDB per kapitanya senilai 58.000 dollar AS, sebelas kali lipat PDB per kapita Indonesia. Tampaknya rakyatnya lebih tertarik sepatu mendaki dan pakaian ski, ketimbang Vuitton dan Gucci.
Sedang toko preloved, sesuai istilah kekinian, mudah ditemui di jalan raya Rovaniemi, pusat kota Helsinki, dan bahkan bandara internasional Vantaa. Dalam penerbangan menuju Helsinki, saat saya tanya soal jenama top Marimekko, pramugari Finnair menganjurkan mengunjungi toko baju bekas Relove di bandara sebelum ke butik. Penasaran, sarannya saya ikuti. Di sana saya lihat penumpang dan kru pesawat santai berbelanja seperti ke toko baju baru. Saya sudah melewati bandara di lima benua, baru di Vantaa saya menemukan toko barang bekas.
Lebih terpana lagi saat saya ke salah satu butik Marimekko di pusat Helsinki. Bagi yang belum mafhum, Marimekko adalah jenama Finlandia yang sudah dipamerkan di Milan akhir 1950-an oleh Giorgio Armani yang saat itu baru manajer department store, dikenal di Amerika melalui Jackie Kennedy, lalu mendunia pada 1960-an karena motif polkadot dan bunga poppy khas estetika dekade itu. Di butik ini saya menemukan jualan pakaian preloved yang Marimekko beli balik dari konsumen dengan kriteria tertentu.
Baca juga: 2024: Naga yang Mana untuk Indonesia?
Menurut staf toko, inisiatif yang dimulai 2023 ini bentuk komitmen jenama terhadap siklus ekonomi berkelangsungan dan disambut baik publik sehingga akan dilebarkan ke kategori produk dekornya. Bahwa jenama sebesar Marimekko, yang dinilai eksklusif di semua negara penjualnya, yang koleksi Imleknya ludes di Hong Kong dan Singapura, yang kolaborasinya dengan Uniqlo sampai dijual-ulang konsumen di media sosial, mau menjual kembali barang bekas bersebelahan dengan barang baru berharga penuh, baru di Finlandia saya temui. Lebih soal peduli lingkungan, ada egalitarisme di sana—bahwa individu tak lagi mematut nilainya pada apa yang disandang, namun esensi di balik tindakan.
Saya menduga egalitarisme ini juga didorong iklimnya, di mana manusia hanya bisa melewatinya bila semua setara dan mau bersatu. Tak heran Finlandia negara Eropa pertama yang menjamin hak pilih universal dan negara pertama di dunia yang membolehkan tiap warga negara masuk politik (1906), pun saat ini masih menerima imigran walau tak lantas memberikan kewarganegaraan. Mantan presidennya, Martti Ahtisaari, kunci mediasi konflik Aceh dan Kosovo.
Mungkin egalitarisme juga yang membuat pramusiwi efisien tanpa royal senyum walau negaranya tercatat terbahagia di dunia, seperti dikeluhkan kawan seperjalanan saya, karena jaminan kesejahteraan tak tergantung kemurahan hati pengunjung.
Kapan Indonesia sampai sini? Yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah masih disibukkan perut, yang berilmu dan berduit acap menukas, ”Nggak mau mikir yang berat, ah!” bila diajak diskusi sedikit serius. Bila Anda percaya kita penentu nasib sendiri, maka saat ini nasib kita baru menonton dalam kagum.
Konsultan Bisnis dan Penulis