Sesuatu yang diakui sebagai kejutan, bahkan oleh kubu paslon nomor urut 2 dalam beberapa acara publik setelah pilpres.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·5 menit baca
Awal milenia ini, saat sedang mengambil Amerika Latin sebagai fokus studi bisnis internasional di benua seberang, kelas saya sering dipanaskan debat tentang Hugo Chavez, politisi dan mantan perwira militer yang baru terpilih sebagai Presiden Venezuela. Tak cuma antara dosen dan murid, debat bahkan terjadi antara sesama murid dari Venezuela. Chavez, yang pernah dipenjara karena percobaan kudeta, populer sebagai politisi karena retorika melawan oligarki dan kekuatan asing. Sebagai presiden, Chavez hanya sesaat ramah pada investasi asing sebelum membatu dalam jargon nasionalismenya yang perlahan menghancurkan perekonomian.
Namun, saat itu, cukup banyak murid asal Venezuela yang masih membela Chavez. Saat perdebatan meruncing, pembela Chavez kadang terpancing menuduh murid Venezuela yang mengkritisi Chavez sebagai antinasionalis yang terlalu lama hidup di luar negeri. Salah satu murid pengkritik Chavez akhirnya hilang sabar juga. ”C*&$! We did deserve the leader we got, after all!”
Di luar kata pertama, makian berbahasa Spanyol yang tak bisa saya tulis di sini, kalimat kedua merujuk pada opini Joseph de Maistre, filsuf Perancis-Sardinia abad ke-18, bahwa tiap bangsa mendapatkan pemerintah/pemimpin sebatas yang layak didapatkan. Every nation gets the government it deserves.
Kalimat itu saya dengar lagi dari seorang kawan berkebangsaan Inggris yang bekerja di Asia, yang bela-belain mudik demi mencoblos pilihan tetap di Uni Eropa (UE), setelah terbukti bangsanya memilih keluar (Brexit). Makin saya dengar dari teman-teman di Inggris saat Boris Johnson naik sebagai perdana menteri (PM).
Setelah Rishi Sunak naik sebagai PM dan bersama Menteri Dalam Negeri Suella Braverman menelurkan kebijakan anti-imigran, yang mungkin tertajam dalam sejarah Inggris modern, padahal mereka sendiri anak imigran, seorang sahabat orang Inggris syok. Lama merenung, ia akhirnya berkesimpulan sistem kelas Inggris yang ketat terkotak membuat anak-anak imigran, terutama dari kulit berwarna, berjuang amat keras untuk naik kelas sejajar keturunan Inggris berkulit putih sampai menjadi ”lebih putih dari kulit putih”. Teman ini sendiri pria berkulit putih menengah atas, demografi yang hanya kalah privilese dari keluarga bangsawan di Inggris. ”Inilah pemerintahan yang kami layak dapatkan,” tuturnya pilu.
Pada bulan-bulan yang sama, mayoritas teman-teman Filipina saya, yang relatif progresif, mencetus serupa karena putra eks diktator Ferdinand Marcos dan putri Rodrigo Duterte, Presiden Filipina yang masih berkuasa, terpilih menjadi penguasa baru di sana.
Pertengahan minggu ini, bangsa Indonesia berkesempatan menggunakan hak pilihnya. Walau KPU belum selesai menghitung, mekanisme penghitungan cepat (quick count), yang sejauh ini secara statistik cukup realistis, menunjukkan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menang merata di berbagai daerah pemilihan dan demografi pemilih. Survei terakhir menjelang pilpres memang menunjukkan kecenderungan pasangan itu melampaui 50 persen walau tak sebesar angka quick count sejauh ini, sesuatu yang diakui sebagai kejutan bahkan oleh kubu mereka dalam beberapa acara publik setelah pilpres.
Cukup banyak juga yang kaget untuk alasan yang berbeda. Kritik dari jajaran guru besar, kelompok pembela isu sosial, pejuang hak sipil, pun sederet badan mahasiswa atas proses menuju pilpres tampaknya tak memengaruhi publik. Sore itu juga, saat mengantre diskon belanja untuk pencoblos berjari ungu di mal, saya mendengar sesama pengantre, yang memantau quick count melalui ponsel, meributkannya dengan kawan di sebelahnya.
Di luar berbagai manuver menjelang pilpres, termasuk akrobat Mahkamah Konstitusi (MK), yang dibahas terbuka masyarakat sipil dan juga dijahit sebagai dokumenter Dirty Vote, di luar anomali hasil pilpres dan pileg yang diangkat kubu lawan pasangan calon (paslon) nomor urut 2, saya cenderung realistis melihat hasil pilpres ini. Saya bisa lihat suara datang dari yang merasa terbantu kerja Jokowi yang dijanjikan akan diteruskan oleh pasangan Prabowo-Gibran; yang cinta sosok Jokowi dan memproyeksikannya kepada Gibran; yang merasa Indonesia harus dipimpin strongman dan menganggap Prabowo jawabannya; yang terbuai joget Tiktok di atas segalanya, atau bahkan, dari yang diam-diam merindukan sosok elite pra-1998 yang mereka yakini akan kembali bersama paslon Prabowo-Gibran.
Demografi terakhir mungkin mengejutkan, terutama apabila Anda hidup di gelembung homogen, tetapi mereka ada. Dari pengamatan dan obrolan, saat mereka tak merasa akan saya hakimi, keluar cetusan bahwa gaya hidup pra-1998 yang ”dipelopori” kalangan elite saat itu lebih terbuka, moderat, dan berwarna, bahkan dalam berangus kebebasan berpendapat di publik. Bahwa elite pra-1998 beririsan dengan tangan-tangan Orde Baru, dan bertentangan dengannya punya taruhan kehidupan, tampaknya tidak mengganggu mereka. ”Di Singapura aja tidak gampang mengkritik pemerintah, tetapi ekonomi maju dan lebih cihuy hidupnya,” cetus seorang kawan sambil menyebut, salah satunya konser Lady Gaga yang dibatalkan di Jakarta karena desakan kelompok tertentu yang sebelum 1998 tak akan mampu menekan pemerintah.
Saya tidak punya pendidikan sosiologi untuk mengurai demografi di atas dan hitung besarannya secara elektoral, tetapi memang intinya bukan itu. Poin saya, jika ternyata ada demografi dengan bias seperti itu di sekeliling, entah demografi dengan bias lain apa lagi di masyarakat yang membuat mereka ramai memilih paslon nomor urut 2? Ceruk-ceruk demografi yang selama ini tenang mengarungi hidup tanpa mendiskusikan biasnya secara publik sehingga terluput studi sosial canggih lalu mencoblos dengan sepenuh hati begitu biasnya menemukan tempat berlabuh? Bagaimana apabila itu orang yang selama ini makan, kerja, dan main di samping Anda?
Apabila reaksi pertama Anda adalah menertawakan rasionalitas bias ini, seperti kebiasaan anak X/Twitter menanggapi kaum Instagram dan Tiktok, ingat bahwa pada buku legendarisnya yang terbit pada 2007, ekonom Bryan Caplan sudah menjelaskan betapa pemilih pada dasarnya tidak rasional.
Anda yang membaca buku itu akan ingat bahwa Caplan menunjukkan perilaku tidak rasional pemilih ini lalu mendorong penguasa, yang ingin terpilih kembali, membuat kebijakan yang tidak menguntungkan negara dalam jangka panjang. Jika melihat apa yang baru bisa dibenahi Venezuela pada 2022 walau Chavez wafat sembilan tahun sebelumnya, Inggris pasca-Brexit, atau cakar-cakaran antara klan Marcos dan Duterte saat ini, postulat Caplan ada benarnya.
Saya berharap Indonesia bernasib lebih mujur. Secara politis pun, koalisi mungkin teranyam sebelum pelantikan pada Oktober nanti. Apa pun pemerintahan yang akan terbentuk kelak, bisa jadi sebatas yang bangsa ini layak dapatkan.