Indonesia Emas dari Borobudur
Visi Indonesia Emas yang telah hadir sejak Candi Borobudur dibangun tak mudah dicapai tanpa menyadari permasalahannya.
Setelah gagasan revolusi mental diperkenalkan pada 2014, kini diwacanakan visi Indonesia Emas 2045 di usia ke-100. Indonesia Emas yang terkait dengan kematangan berdemokrasi oleh Andi Widjajanto di Lemhannas diperkirakan membutuhkan perjalanan waktu tujuh kali pemilu.
Namun, Amerika Serikat yang menjadi model demokrasi menunjuk pada sejarah kekerasan dan peperangan di seluruh penjuru dunia sehingga formula demokrasi dipertanyakan. Sementara demokrasi Pancasila di Indonesia pun perlu diperjelas wujudnya.
Kini pemilu bagi pendewasaan demokrasi bangsa telah dilaksanakan. Namun, jalannya pemilu yang memprihatinkan mengancam perjalanan bangsa menuju puncak keemasannya.
Indonesia sebelum era penjajahan pernah mengalami zaman keemasan. Bahkan, Raja Syailendra telah menunjukkan jalan menuju puncak keemasan bangsa melalui Candi Borobudur yang berdiri megah hingga hari ini.
Namun, orang-orang bersikap pragmatis memandang Borobudur lebih sebagai bangunan batu yang berharga bagi pariwisata dan peribadahan umat Buddha. Hal ini membuat revolusi mental yang mengatasi pragmatisme itu pun belum mampu diwujudkan walau Borobudur telah hadir hampir 12 abad. Mental yang dicekam oleh perkembangan global membuat pendidikan nasional yang mahapenting karena menyangkut kesadaran bangsa pun lebih dikelola secara pragmatis.
Baca juga: Cerita Relief Borobudur Perlu Didekonstruksi
Candi Borobudur diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan dunia. Namun, rasa kagum dan segala penghargaan bukanlah misi wangsa Syailendra.
Misi Borobudur berada pada arah pengembangan kesadaran, yang sejatinya merupakan pembangunan jati diri bangsa yang harus dicapai.
Bermula dari fase kesadaran Kamadhatu yang didominasi segala nafsu emosional dengan karakter egosentris-primordialistik, menuju fase kesadaran Rupadhatu yang fungsional rasional dengan karakter pragmatis.
Lalu, mencapai puncaknya pada fase kesadaran Arupadhatu di tataran esensial yang spiritual dengan karakter pencipta sejati sebagai keterpaduan diri dengan ke-Mahabesar-an di puncak kehidupan.
Keterpaduan dengan ke-Mahabesar-an yang sejatinya keesaan dari ke-Mahabesar-an itu sendiri. Bukan aku yang sendiri dalam ke-Mahabesar-an, tetapi aku telah menjadi ”semua” yang berjati diri ke-Mahabesar-an. Bhinneka Tunggal Ika, frasa esensial yang sangat tepat diangkat oleh PBB.
Kesadaran Kamadhatu
Telah banyak ilmuwan yang melakukan penelitian di Borobudur, mungkin telah melahirkan banyak gelar doktor. Namun, hingga hari ini, pembicaraan belum juga diramaikan oleh cara-cara dan upaya meningkatkan kesadaran dari fase Kamadhatu ke Rupadhatu, dan dari Rupadhatu ke Arupadhatu.
Dua belas abad pun berlalu sejak Borobudur berdiri, Indonesia masih juga bergelut di kesadaran Kamadhatu dengan nafsu akan kekuasaan, keserakahan, korupsi, dan hedonisme. Revolusi mental dan Indonesia Emas bisa saja diwacanakan, tetapi pasti tidak ada yang dapat mewujudkan sesuatu yang belum hadir dalam kesadarannya.
Peningkatan kesadaran hanya dimungkinkan oleh kemampuan mengenali nilai-nilai ke-Mahabesar-an-Nya dalam keseharian hidup (keagungan, keindahan, keluwesan, kebaikan, kesempurnaan, kebijaksanaan, dan lain-lain), yang dihayati di dalam kebudayaan.
Pengenalan ini membuat manusia tumbuh semakin memanusia, semakin berbudaya, dengan menjadikan kemuliaan nilai-nilai-Nya dalam tata cara berelasi, cara bersyukur, berkesenian, bersikap dalam kehidupan. Seiring dengan itu, batin terus mengakrabi dan berpadu dengan ke-Mahabesar-an hingga melimpahkan kreativitas penciptaan sebagai kebangkitan budaya yang menghadirkan keemasan Nusantara.
Dua belas abad pun berlalu sejak Borobudur berdiri, Indonesia masih juga bergelut di kesadaran Kamadhatu dengan nafsu akan kekuasaan, keserakahan, korupsi, dan hedonisme.
Kebangkitan budaya tentu tidak hanya dengan pelestarian pencapaian budaya masa lalu, tetapi memiliki kembali spirit pencipta untuk menuju puncak kebudayaan. Bukan cuma pelestarian tari pendet, kecak, pola batik, atau keris-keris masyhur, tetapi spirit penciptaan tari-tarian baru, pola-pola batik baru, keris kamardikan, berbagai perkembangan budaya, hingga penciptaan pola baru pertanian-perikanan, bahkan pola baru perkembangan teknologi dalam kehidupan yang semakin mengekspresikan tingginya nilai ke-Mahabesar-an dalam jati diri manusia Indonesia.
Keemasan masa depan tidak dicerminkan oleh kuantitas, seperti berapa juta penghasilan minimal setiap warga atau berapa banyak pencakar langit dan kecanggihan kota-kota kelas dunia. Puncak keemasan dicerminkan oleh kesadaran akan nilai-nilai dalam jati diri manusia atau bangsa, kesadaran akan kesejatian demokrasi bagi utuhnya kehidupan sinergis (nilai keesaan) yang acap kali terabaikan oleh egosentrisitas dan primordialitas ekstrem hingga mengakibatkan berbagai kesenjangan dan penderitaan yang semakin besar.
Demokrasi bukan sekadar kebebasan bersuara, tetapi tidak ditujukan bagi keutuhan sinergis bangsa karena semua berawal dari ”bisikan” batin atas rusaknya keutuhan sinergis kehidupan akibat tidak dihargainya bagian masyarakat yang terpinggirkan. Kondisi ini bermuara pada demokrasi, sebuah rumusan yang tidak sepenuhnya tepat sehingga dapat melahirkan kondisi demokrasi yang kebablasan.
Apalagi, demokrasi yang menetapkan satu orang satu suara dalam pemilu, yang membuka peluang manipulasi kuantitas suara bagi nafsu kekuasaan. Dalam demokrasi, seorang tukang sapu sama dihargainya seperti seorang profesor, bukan sebagai kuantitas anonim, melainkan kesadaran putra-putri bangsa yang merindukan kemajuan bersama yang tidak memberikan tempat bagi keserakahan, kebodohan, ketidaksejahteraan, ketidakadilan, bagi segala ketiadaan nilai.
Di era keemasan, apabila seseorang ditanya presiden pilihannya, maka ia segera menjawab terbuka tanpa rahasia karena tahu teman bicaranya pun terbuka. Dalam spirit kebangsaan, mereka dapat mendiskusikannya bersama siapa yang paling sesuai dengan kebutuhan bangsanya, sama sekali tanpa itikad untuk saling berkampanye karena ini bukan kebutuhan partai, kelompok, ataupun agamanya, hingga didapatkan presiden terpilih yang pasti akan mengukuhkan spirit kebangsaan, bukan merusak.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Diskusi berlangsung seperti diskusi para bapak bangsa saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Diskusi yang tidak mungkin dilakukan di era Kamadhatu atau Rupadhatu saat keterbukaan dapat membuat sesama saudara pun bermusuhan. Padahal, musyawarah mufakat dengan jelas memperlihatkan sila keempat Pancasila; demokrasi Pancasila milik Indonesia Emas, bukan milik partai emas–agama emas–dinasti emas–oligarki emas.
Keterbukaan diskusi merupakan ekspresi kualitas relasi antarmanusia yang hanya dimungkinkan oleh kebesaran jiwa bangsa. Kebesaran jiwa bangsa dari integritas diri yang diperlihatkan oleh kemampuan untuk hadir sebagai seluruh putra bangsa, baik putra pemenang dalam sejarah kejayaan bangsa yang kini hidup layak bahkan berlebihan maupun putra yang kalah dan tersingkir dalam sejarah kekelaman yang membuatnya hidup tersisih dan terabaikan.
Kebesaran jiwa bangsa yang lahir sesuai arahan Borobudur setelah melewati fase Kamadhatu dengan mendewasakan primordialitas diri sehingga membangun spirit bangsa, dan melewati fase Rupadhatu dengan mendewasakan kotak rasionalitas pragmatisnya hingga menemukan kesejatian diri dalam spirit Pencipta yang tanpa batas di fase Arupadhatu, spiritualitas bangsa sebagai kepenuhan sila pertama Pancasila yang mampu menghadirkan keemasan Nusantara.
Djohan PC, Arsitek Lulusan Universitas Katolik Parahyangan Bandung