Lonjakan harga beras di dalam negeri jelas tidak semata-mata soal cuaca, tetapi lebih karena buruknya tata kelola.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Harga beras di Indonesia melonjak tinggi, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kuota impor beras pada 2024 telah ditambah 1,6 juta ton menjadi 3,6 juta ton, tetapi belum bisa meredam gejolak harga. Seperti dilaporkan Kompas pada Senin (4/3/2024), petani di Kecamatan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, terpaksa antre beras murah.
Presiden Joko Widodo menyalahkan cuaca sebagai penyebab kenaikan harga beras ini. ”Kenapa harga beras naik? Karena ada perubahan musim, ada El Nino, dan itu dialami bukan hanya negara kita, melainkan juga negara lain mengalami hal yang sama,” katanya saat menyerahkan bantuan beras di Gudang Bulog Batangase, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (22/2/2024).
El Nino merupakan fenomena iklim regional, yang dipicu oleh anomali suhu Samudra Pasifik tropis yang lebih panas dari biasanya. Pemanasan permukaan air ini meningkatkan pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah barat, termasuk Indonesia.
Fenomena ini telah berulang kali terjadi dan umumnya berdampak pada penurunan produksi padi. Laporan Siswanto, dan tim di jurnal Plos One pada 3 Juni 2023, menunjukkan turunnya produksi padi di lumbung-lumbung pangan di Jawa selama terjadinya El Nino. Misalnya, El Nino kuat pada 1997/1998 menurunkan produksi padi tahun 1998 di Indonesia sebesar 3,6 persen dibandingkan dengan panen tahun 1997 dan 6 persen dibandingkan dengan panen tahun 1996.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (1/3/2024) telah menghitung, potensi produksi beras dalam negeri pada Januari-April 2024 hanya 10,71 juta ton, berkurang 2,28 juta ton. Angka ini menunjukkan penurunan 17,52 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
El Nino kali ini juga berdampak pada negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Vietnam, yang merupakan produsen beras utama dunia. Pemerintah Thailand pada bulan lalu melaporkan, produksi beras mereka pada 2024 diperkirakan menurun 5,87 persen karena faktor cuaca. Fenomena serupa terjadi di Vietnam.
Sekalipun demikian, Vietnam dan Thailand masih surplus beras dan justru mendapat banyak untung dari ekspor. Ekspor beras Vietnam melonjak menyusul pembatasan di India, pemasok beras terbesar di dunia. Vietnam mengekspor beras senilai 4,6 miliar dollar AS pada 2023, naik 35 persen dibandingkan dengan tahun lalu, menurut data bea cukai. Ekspor ke Indonesia meningkat lebih dari 10 kali lipat.
Dilaporkan Vietnam News pada 27 Februari 2024, Vietnam telah memperoleh 466,6 juta dollar AS dari mengekspor 663.209 ton beras sejak awal tahun hingga pertengahan Februari 2024. Mereka menargetkan mengekspor setidaknya 8 juta ton beras pada 2024.
Ketika padi dan jagung gagal panen, aneka umbi-umbian, baik budidaya maupun yang tumbuh liar di hutan, masih berlimpah.
Fenomena serupa terjadi dengan Thailand. Volume ekspor, antara 6 juta ton dan 7 juta ton per tahun dalam beberapa tahun terakhir, justru meningkat menjadi 8 juta ton pada 2023. Kenaikan ekspor beras Thailand ini lebih dari 10 persen dari tahun sebelumnya dan merupakan tingkat tertinggi sejak tahun 2018.
Indonesia menjadi pasar utama ekspor beras Thailand. Akhir tahun lalu, Joko Widodo menemui Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin agar menjual 2 juta ton beras ke Indonesia.
Dari data-data ini, kita bisa melihat bahwa El Nino memang jelas berdampak pada penurunan produksi padi di Indonesia dan negara tetangga. Meski demikian, lonjakan harga beras di dalam negeri jelas tidak semata-mata soal cuaca.
Vietnam dan Thailand yang juga terdampak El Nino justru mendapatkan pemasukan tambahan dari tingginya ekspor beras. Jadi, masalah beras di Indonesia saat ini jelas lebih ke buruknya tata kelola dan lemahnya sistem pangan kita.
Keberagaman pangan lokal
Di tengah menguatnya krisis iklim, yang meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, kita membutuhkan sistem pangan yang berdaya tahan. Mengandalkan beras saja sebagai pangan pokok, selain gandum yang 100 persen impor, membuat sistem pangan kita menjadi rapuh, baik oleh gejolak cuaca maupun krisis geopolitik.
Banyak studi menunjukkan, tanaman pangan berbasis biji-bijian paling terancam pemanasan global. Misalnya, laporan Zhao di jurnal PNAS (2017) menyebutkan, setiap kenaikan suhu global 1 derajat celsius bakal menurunkan produksi gandum 6 persen, padi 3,2 persen, jagung 7,4 persen, dan kedelai 3,1 persen.
Krisis pasokan dan harga beras saat ini seharusnya menjadi pertobatan untuk kembali ke ragam pangan lokal, sagu-saguan, umbi-umbian, hingga sukun dan pisang plantain. Seperti ditemui di Flores Timur, ketika padi dan jagung gagal panen, aneka umbi-umbian, baik budidaya maupun yang tumbuh liar di hutan, masih berlimpah.
Laporan Hadijah A Karim di Earth and Environmental Science (2021) menunjukkan, tanaman sagu (Metroxylon sagu) memiliki daya tahan yang baik terhadap perubahan iklim karena sistem perakarannya yang kuat. Produksi tanaman endemik Indonesia ini tidak terganggu El Nino ataupun La Nina dengan produktivitas bisa lebih dari 10 ton pati per hektar.
Banyak laporan lain menunjukkan, beragam pangan lokal kita memiliki daya tahan yang kuat terhadap iklim ekstrem. Studi Manuel Boissiere (Asia Pacific Viewpoint, 2002) menemukan, saat El Nino hebat melanda pada 1997 sehingga memicu kekeringan dan kelaparan di berbagai daerah di Papua, masyarakat Yali masih memiliki 21 jenis pangan lokal yang masih bertahan. Beberapa tanaman lokal itu di antaranya kerak (bahasa Yali yang berarti pisang hutan) dan bingga atau sejenis uwi hutan (Dioscorea sp).
Laporan di jurnal PLOS Climate pada 17 Agustus 2022 menunjukkan, tanaman sukun (Artocarpus communis First) sangat cocok tumbuh di daerah yang kering sehingga bisa menjadi bagian dari solusi untuk krisis pangan global.
Tak hanya memiliki daya tahan yang baik terhadap iklim, aneka pangan lokal ini juga cenderung tidak membutuhkan input pertanian, seperti pupuk kimia dan pestisida, yang selama ini menjadi sumber masalah lingkungan dan kesehatan. Berbagai tanaman lokal ini juga bisa beradaptasi dengan sistem pertanian campuran atau wanatani, yang bisa mencegah deforestasi dan hilangnya keragaman hayati.
Meski demikian, keberagaman sumber pangan dan budaya pangan ini semakin terpinggirkan oleh kebijakan pangan yang bias beras dan gandum. Tanpa ada perubahan sistem pangan dan tata kelola, masa depan pemenuhan pangan kita akan suram seiring dengan menguatnya krisis iklim.