Pangan lokal di berbagai daerah menghadapi banyak tekanan. Selain masuknya beras, tekanan juga berupa alih fungsi lahan dan deforestasi serta pembangunan ekonomi industri.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi pangan lokal yang diolah secara tradisional dan turun-temurun. Namun, pangan lokal tersebut, khususnya di Papua, kini menghadapi banyak tekanan dari berbagai aspek, seperti masuknya beras, alih fungsi lahan dan deforestasi, serta pembangunan ekonomi industri.
Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL)Emil Kleden mengemukakan, kejadian kelaparan di sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya Papua, umumnya berhubungan dengan gagal panen. Sementara sagu di dataran rendah dan pesisir Papua juga sudah banyak yang dikonversi menjadi perkebunan kayu dan sawit.
”Secara umum ada banyak tekanan terhadap pangan lokal dari berbagai aspek,” ujarnya dalam diskusi media secara daring terkait ”Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino” di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Menurut Emil, tekanan pangan lokal orang asli Papua dari aspek sosial terjadi saat masuknya beras dan makanan instan. Sejak dahulu sampai sekarang, beras masuk ke Papua melalui orang yang memiliki relasi dengan gereja dan pemerintah. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kelas sosial yang tinggi bagi masyarakat Papua yang memakan beras atau nasi.
Posisi pangan dari beras di Papua menguat ketika terjadi arus migrasi dengan efek lanjutan berupa dibangunnya pusat ekonomi industri seperti kios, toko, dan mal. Akibatnya, tradisi penyimpanan sagu kering ataupun di dalam tanah basah oleh orang asli Papua makin kurang dipraktikkan dan teknik penyimpanannya tak berkembang.
Dari aspek lingkungan, Emil menilai tekanan terhadap pangan lokal terjadi akibat menyusutnya hutan sagu seiring dengan pembangunan industri kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Deforestasi akibat pembangunan ini juga mengakibatkan berkurangnya sumber protein yang bisa diperoleh secara tradisional dari alam.
Sementara dari aspek ekonomi, lanjut Emil, pangan lokal seperti sagu, ubi jalar, dan keladi yang diolah secara tradisional umumnya tidak masuk dalam perhitungan ekonomi negara. Berbagai pangan lokal yang diambil dari alam ini juga belum memenuhi kriteria komoditas karena tidak ada investasi dan tidak melalui proses produksi secara modern.
Sebagai upaya melindungi pangan lokal, Emil memandang perlu pengumpulan data terkait tradisi pangan lokal di seluruh desa atau kampung di Indonesia. Pengumpulan data ini harus melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, NGO, hingga akademisi.
Dampak El Nino saat ini juga akan membuat ketersediaan air dan produktivitas menurun. Artinya, ketahanan pangan juga terancam.
Selain itu, pihak-pihak terkait tersebut perlu membantu pengembangan teknik peningkatan produksi dan penyimpanan hasil panen sagu, ubi jalar, dan keladi. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim seperti cuaca ekstrem.
”Selama ini ada beberapa kampung di Papua yang masih bisa memperoleh dan menyimpan sagu di tanah. Syarat penyimpanan sagu ini harus di tanah basah dengan kedalaman satu meter. Namun, kondisi kemarau saat ini membuat tanah juga cepat kering,” tuturnya.
Penurunan produksi
Dosen dan peneliti pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB),Angga Dwiartama, mengutarakan, banyak hasil riset yang menunjukkan perubahan iklim berdampak terhadap penurunan produksi tanaman serealia seperti padi, jagung, dan gandum. Bahkan, penurunan produksi padi diperkirakan bisa mencapai 6 persen.
”Kenaikan suhu juga berefek terhadap komoditas singkong dan sagu, tetapi tidak sebesar komoditas nonserealia. Dampak El Nino saat ini juga akan membuat ketersediaan air dan produktivitas menurun. Artinya, ketahanan pangan juga terancam,” tuturnya.
Guna melepaskan diri dari ancaman ini, Angga menyebut pentingnya semua pihak, termasuk masyarakat, terus mendorong produksi pangan lokal. Hal ini juga sudah dilakukan beberapa kelompok atau komunitas masyarakat adat di desa-desa dengan membuat lumbung pangan lokal secara mandiri.
Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional Budi Waryanto mengatakan, ancaman terhadap ketahanan pangan tidak hanya datang dari faktor perubahan iklim, tetapi juga kenaikan harga global dan pembatasan ekspor pangan. Dalam menyikapi hal ini, Badan Pangan Nasional telah mengoordinasikan sejumlah lembaga seperti Bulog dan kementerian terkait lainnya untuk mengamankan stok pangan.
”Salah satu fungsi Badan Pangan Nasional adalah sebagai lembaga yang bertugas menjaga ketersediaan serta stabilisasi pasokan dan harga. Jadi, kami berupaya untuk mendapatkan semua barang agar terdistribusi secepatnya ke daerah-daerah,” ucapnya.