Alangkah elok apabila apa yang sudah dikerjakan pendahulunya dapat dituntaskan terutama kasus pelanggaran HAM.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·3 menit baca
Setelah Prof Mahfud MD mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukam, sebagai gantinya dilantik Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto pada 21 Februari 2024. Tinggal delapan bulan masa jabatannya.
Namun, dalam waktu singkat itu, alangkah eloknya apabila apa yang sudah dikerjakan pendahulunya dapat dituntaskan, terutama yang menyangkut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Atas prakarsa Mahfud MD, penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial diproses. Dibentuk tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PP HAM) yang diketuai Makarim Wibisono dengan anggota, antara lain, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dan As’ad Said Ali.
Tim ini telah menyampaikan rekomendasinya kepada Presiden. Di Istana Negara, 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui telah terjadi 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Untuk pertama kali setelah Reformasi, kejahatan HAM berat masa lalu diakui negara.
Tujuan penulisan buku itu dalam rangka mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat di Indonesia di masa depan, siapa pun presidennya nanti.
Kasus-kasus itu mencakup pelanggaran HAM berat yang terjadi di daerah (Aceh, Papua, dan Lampung), penembakan misterius tahun 1982-1985, peristiwa 1965-1966, dan peristiwa yang terjadi seputar tahun 1998 (Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, pembunuhan dukun santet, dan penghilangan orang secara paksa).
Telah dilakukan tindak lanjut terhadap eksil, yakni mereka yang dicabut kewarganegaraannya tahun 1965/1966. Bahkan, sekarang sedang beredar di bioskop film Eksil yang disutradarai Lola Amaria.
Dalam rekomendasi Tim PP HAM secara eksplisit disebut penulisan ulang sejarah dan pembangunan memorabila (monumen/museum terkait pelanggaran HAM). Dalam pertemuan dengan masyarakat sipil, Mahfud setuju penulisan ulang sejarah, terutama tentang pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia.
Direncanakan pertemuan antara Menkopolhukam Mahfud MD dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang diwakili Dirjen Kebudayaan, untuk merealisasikan buku tersebut.
Rencana penulisan ulang sejarah ini belum terlaksana, sebab Mahfud MD keburu mengundurkan diri karena mengikuti pemilihan presiden-wakil presiden.
Tujuan penulisan buku itu dalam rangka mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat di Indonesia di masa depan, siapa pun presidennya nanti. Apabila bisa direalisasikan, ini akan menjadi warisan yang berharga dari Presiden Joko Widodo di bidang hukum (penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu).
Direktorat Kepahlawanan
Di Kabinet Indonesia Maju, Menkopolhukam juga merangkap ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan beranggotakan tujuh orang itu yang mengusulkan nama-nama pahlawan nasional kepada Presiden.
Sebelumnya, pada level kementerian, seleksi nama pahlawan dilakukan oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP).
Selama ini, urusan kepahlawanan dikelola oleh Direktorat Kepahlawanan pada Kementerian Sosial. Namun, dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial, tidak ada lagi Direktorat Kepahlawanan.
Pengusulan pahlawan nasional seyogianya tidak (lagi) dikaitkan dengan lumbung suara daerah pemilihan calon presiden.
Bahkan, tata kerja itu tidak menyinggung sedikit pun tentang kepahlawanan. Ternyata kini urusan kepahlawanan diurus oleh sebuah tim kelompok kerja yang bukan struktural pada Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Sosial.
Tentu ini berdampak pada merosotnya secara drastis tenaga dan anggaran untuk keperluan pengurusan pahlawan nasional tersebut. Apakah karena hal ini pengusulan tokoh nasional Frans Seda dan Mochtar Kusumaatmaja, yang sudah masuk ke Kementerian Sosial, tidak dibahas oleh TP2GP pada 2023?
Pengusulan pahlawan nasional seyogianya tidak (lagi) dikaitkan dengan lumbung suara daerah pemilihan calon presiden, tetapi berdasarkan pula kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan tokoh panutan dan paling relevan sekarang ini terkait dengan pemberantasan korupsi.
Dalam kaitan pemberantasan korupsi ini, sudah diajukan usulan nama Jenderal Polisi Hoegeng dan Jaksa Agung R Soeprapto. Soeprapto telah menyeret ke pengadilan belasan menteri tanpa bisa diintervensi, bahkan oleh Presiden sekalipun.
Ilustrasi/Heryunanto
Selain kedua orang itu, tentu layak pula memperoleh penghargaan atas jasanya mendirikan Angkatan Udara dan memimpinnya mulai tahun 1945 sampai 1962, ”Bapak Angkatan Udara” Suryadi Suryadarma yang sampai sekarang belum jadi pahlawan nasional.
Direktorat Kepahlawanan perlu dihidupkan kembali, bahkan sebaiknya ditempatkan pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) agar lebih mudah menyosialisasikan Pancasila dengan mengacu pada tokoh konkret yang dalam sejarahnya telah berjuang dan mengamalkan Pancasila dalam berbagai sektor kehidupan.